Puisi: Tiga Cangkir Kopi untuk Pacarku

the wallpaper.co

Secangkir Arabika
Kita sedang berselimut
dingin
Hingga aku lupa
memelukmu agar hangat
Namun yang takkan kulupa,
selalu kusajikan secangkir Toraja
Meski yang kau
inginkan secangkir Gayo pagi itu
Entah engkau lupa,
aku yang bersalah pada sakitmu
Karena secangkir itu
yang menusuk lambungmu
Memang arabika
asamnya tak terkira
Meski aromanya lebih
halus dan lembut diujung hidung.
Aku harap ucap
dibalik bibirmu
Tak semasam arabika
yang kusajikan
Menghentak kasih
sayang kita berdua
Yang acapkali hambar.
Secangkir Robusta
Setelah kita melamun
dalam kebersamaan
Kita baru sadar sedang
berupaya menyakiti satu sama lain
Untuk menghargaiku,
kau jamu aku dengan menyeduh secangkir robusta yang kau panen dari kebunmu
sendiri
Robusta yang kau
tanam di pekarangan rumahmu memang terlihat lebih baik dibanding dengan cinta
kita yang sudah kadung terjangkit penyakit
Untuk meredam amarah
diantara kita
Cepat – cepat aku sruput
Satu,
Dua
dan Tiga
Astaga, pahitnya
sampai ke ubun – ubun
Mungkin engkau
sengaja tak memberinya gula
Untuk menampar
kepalaku
Juga sebagai
pengingat kisah cinta kita yang kadung tak bisa ditelan.
Secangkir Liberika
Setelah kita minum dua
cangkir berurutan
Kita tak ingin
meneguk cangkir yang kita buat bersamaan
Liberika yang baunya
merupa lain itu
Hanya akan menggantikan
rasa sementara saja
Karena kita bukan
sedang ingin meninggalkan
Tapi kita sedang
ingin mengajarkan.

__________
Tasikmalaya, 2019

Irman Lukmana. Lelaki penyuka kesendirian. Lahir di
Tasikmalaya dan tumbuh besar di Jember. Mahasiswa aktif Fakultas Pertanian yang
pernah berproses di UKM Kesenian Unej Bidang Teater dan Penulisan Kreatif. Juga
pernah ikut serta dalam Penggarapan Majalah Niskala. Karyanya pernah
diterbitkan dalam Kompilasi Puisi Saat Hujan Menyapa. Bisa disapa di surel :
irmanlukmana@gmail.com

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa fulitik kenalmasrio

Tebarkan Politik Baik, Mas Rio Traktir Ratusan Emak-Emak Makan Bakso

Apacapa

Yang Tidak Dilihat Firdaus soal Honorer Situbondo

Apacapa Fadhel Fikri

Revolusi Digital dan Keterasingan Sosial: Siapa yang Diuntungkan?

Apacapa Dwi Mustika

Mengangkat Adat Istiadat Nenek Moyang: Keunikan Jogo Tonggo di Temanggung

Agus Hiplunudin Apacapa Feminis Opini

Masih Lemahnya Peran Politik Perempuan di Pileg 2019

Cerpen Imam Sofyan

Negeri Kocar-Kacir

Buku M Ivan Aulia Rokhman Ulas

Ulas Buku – Menceritakan tentang Hubungan Manusia dengan Jasad di Kubur

Cahaya Fadillah Puisi

Puisi-puisi Cahaya Fadillah: Setelah Engkau Pergi

Ahmad Zaidi Apacapa Esai

Mapasra: Merayakan Perjalanan Puisi

Moh. Imron Puisi

Langai; Selimut Duri

Aris Setiyanto Puisi

Puisi: Pendaki

Apacapa Esai Yogi Dwi Pradana

Resepsi Sastra: Membandingkan Mundinglaya Di Kusumah dari Ajip Rosidi dan Abah Yoyok

Dhafir Abdullah Puisi Syi’ir

Muharrom sè Moljâ

Yopie EA

Harapan Baru bagi Warner Bros?

Apacapa

Buku dan Perpisahan

Apacapa N. Fata

Bânni Monteng Sakèlan

Agus Hiplunudin Apacapa

Rahasia Hidup Bahagia Ala-Kaum Stoik

Apacapa Sutrisno

KH. A. Wahid Hasyim; Perjuangan dan Pemikiran tentang Pendidikan, Politik dan Agama

Apresiasi

Puisi – Tentang Situbondo

Cerpen Levana Azalika

Langit Biru Cinta Searah