Situbondo Makin Dingin Akhir-Akhir Ini, Tapi Tidak Bagi Imron

Setiap
kali saya berbincang dengan beberapa orang. Selalu terselip pembicaraan tentang
cuaca yang makin dingin akhir-akhir ini. Padahal orang-orang di Situbondo,
biasanya sudah mengerti. Saat masuk musim kemarau selalu ditandai dengan musim
giling/panen tebu. Malamnya terasa lebih dingin dan siangnya lebih panas.
Tapi
sekarang ini berbeda, dinginnya, tak seperti biasanya. Sejak sore, angin sudah
mulai menghembuskan hawa dingin, semakin malam semakin memuncak sampai pagi.
Saya
yang biasa kerja malam, sampai harus menyiapkan jaket, kaos kaki, segelas jahe
hangat, dan kretek yang agak berat. Itupun, kadang saya masih mengeluh sendiri.
Dinginnya seperti teror. Memaksa saya untuk menyudahi pekerjaan, masuk kamar,
dan bergumul dengan selimut tebal.
Ketika
saya menyampaikan yang saya rasakan pada beberapa orang, mereka juga sama.
Bahkan ada seorang teman, yang beberapa tahun belakangan lebih suka minum kopi.
Terpaksa harus nyetok minuman yang lebih menghangatkan, selain kopi.
Untung
istri saya masih sedia jahe. Pertahanan saya melawan dingin.
Menurut
perkiraan BMKG, cuaca dingin ini masih akan berlanjut sampai Agustus, sekitar
dua bulan ke depan. Puncak terdinginnya sudah terjadi semalam pada pukul 23.48,
Kamis, 6 Juli 2018.
BMKG
menyebut fenomena ini Aphelion, dimana posisi matahari berada di titik terjauh
dari bumi. Kata Aphelion diambil dari bahasa Yunani, yaitu “helios”
berarti matahari dan “apo” berarti menjauh dari.
Dari
adanya fenomena Aphelion, matahari menjauh dari bumi, terbersit dalam pikiran
saya. Bagaimana kalau matahari enggan mendekat kembali ke bumi. Nasib bumi dan
segenap penghuninya, bisa-bisa kacau-balau.
Wah,
Berat…
Tapi,
bagaimana dengan Imron. Karena hanya dia satu-satunya teman saya yang selalu
berkelakar pada setiap orang yang dijumpai. Kalau dialah satu-satunya anak muda
Situbondo yang anti-dingin. Bukan karena berdarah panas, tapi karena saking
terbiasanya menantang dingin, sendirian.
Lalu,
saya mikir lagi, jangan-jangan, Imron ini, diam-diam, ia adalah matahari. Tentu
saja, meskipun sendiri, ia tak pernah khawatir.
Pikiran
saya semakin tak menentu.
Kalau
Imron matahari. Ia memang bisa dan memiliki haknya untuk sendiri. Menjauh
sejauh-jauhnya.
Tapi,
bagaimana nasib bumi. Mantan yang selama ini sudah merasakan pancaran
kehangatan Imron. Bukankah, ia akan menderita kedinginan, seperti yang banyak
orang alami akhir-akhir ini.
Apeli
Ron, kamu bukan matahari.
Mantanmu
sudah menunggu di rumahnya. Ia sudah buatin asem hangat, minuman yang lebih
menghangatkan, selain kopi. []

Biodata Penulis
Marlutfi Yoandinas, Rumah Baca Damar Aksara.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cerpen Yuditeha

Cerpen: Bo

Anwarfi Miftah Zururi Puisi

Puisi-puisi Miftah Zururi: Kamar Mandi Sekolah

Apacapa Esai Syaif Zhibond

Serrona Rèng Situbende è Bulân Rèaje

Apacapa Nur Husna

Simalakama Pemanasan Global

Ahmad Zaidi Apacapa Esai

Puthut Ea, Komunitas dan Hutang yang Dilunasi

Apacapa Mored Vania Callista Artanti

Curhat: Pak Menteri, Kami Jenuh!

Apacapa Nur Husna

Refleksi Hari Kesaktian Pancasila

Uncategorized

Resume Buku Amba Kisah Dibalik Perang Besar Baratayudha

AF. Qomarudin Puisi

Secangkir Kopi dan Puisi Lainnya Karya AF. Qomarudin

Ahmad Zaidi Cerpen

Cerpen : Seorang Perempuan dan Tengkorak di Pelukannya

Prasetyan Ramadhan Puisi

Puisi: Malam Kota Stabat

Anwarfi Kurliyadi Puisi

Puisi-puisi Kurliyadi: Yang Kita Ingat

Apacapa Syaif Zhibond

Tentang Kegagalan Usaha dan Keberanian Memulai Lagi

Cerpen Fahrul Rozi

Cerpen: Marsinah

Cerpen M Firdaus Rahmatullah

Cerpen: Enam Cerita tentang Kenangan

Buku M Ivan Aulia Rokhman Ulas

Resensi Buku Ramadan Undercover

Pantun Papparekan Madura Sastra Situbondo

Pantun Madura Situbondo (Edisi 2)

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Posisi Komunitas Muda Kreatif Situbondo dalam Revolusi Industri 4.0

Nahiar Mohammad Puisi

Puisi : Di Sepanjang Jalan Ini

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Terima Kasih Situbondo