Ulas Buku: Menguak Lapis-Lapis Kebohongan

Oleh:
Thomas Utomo

Judul : Mitomania; Sudut Pandang

Pengarang  : Ari Keling

Penerbit
: Indiva Media Kreasi

Cetakan
: Pertama, Januari 2021

Tebal : 256 halaman

ISBN:
978-623-253-028-7

 

Novel
ini dibuka dengan kalimat sugestif yang langsung menabrak perhatian pembaca,
“Mereka bisa saja membunuh saya, Pak,” adu Kefiandira kepada  Pak Joni, guru Bimbingan dan Konseling SMA
Jaya Nusantara (halaman 7).

Dengan
alur maju-mundur, halaman-halaman berikutnya menguakkan kronologi dan
argumentasi kenapa gadis kelas XII SMA itu sampai kepada kesimpulan sebagaimana
tersebut? Dimulai dari pindahnya Kefiandira ke SMA Jaya Nusantara,
keterlibatannya dalam lomba tulis-menulis yang kemudian mengantarkannya ke aras
tertinggi sebagai juara utama, hingga munculnya Amanda, Lisa, serta Morgan
dalam lingkaran pergaulannya—bukan untuk menautkan pertemanan, sebaliknya
justru menghunjamkan permusuhan. Trio sahabat—Amanda, Lisa, Morgan—merisak semata
disulut nyala api dengki. Demikian Kefiandira bertutur.

Cerita
bertambah runyam lagi pelik manakala Pak Beni, kepala sekolah, memanggil tiga
siswa yang diduga secara sengaja dan terencana melakukan perundungan bertubi
kepada si gadis introver. Sisi runyam dan pelik yang dimaksud adalah karena
cerita versi Amanda, Lisa, dan Morgan saling silang satu sama lain. Celakanya,
persilangan cerita tidak hanya membenturkan kubu Kefiandira versus Amanda,
Lisa, Morgan, melainkan dalam internal trio sahabat itu sendiri. Ketiga-tiganya
lalu saling curiga dan berlomba melempar cecar. Rupanya, kebersamaan berbilang
tahun yang terjalin dilatari faktor perkawanan orang tua itu, tidak cukup akrab
dan saling mengerti.

Dalam
lapis-lapis cerita berikutnya, pembaca seperti diombang-ambingkan: menghadapi
cerita yang serba berseberangan, siapa pihak yang jujur? Mana pula yang
mengurai dusta? Sampai kemudian, analisis Pak Joni dan Pak Beni mengerucut pada
satu nama, sosok siswa yang diduga menderita mitomania—penyakit kejiwaan
patologis paling ekstrem, yang menyebabkan penderitanya tidak mampu
memancangkan batas tegas antara alam sejati dan dunia khayali, tetapi selanjutnya
pengarang—Ari Keling—malah membelokkan dugaan sementara pembaca kepada pihak
lain, syukurnya dengan lanjaran meyakinkan.

Secara
umum, novel ini asyik untuk disusuri—jenis bacaan yang memecut rasa penasaran
hingga khatam. Melalui alur yang nonlinear, pembaca diajak ulang-alik dari masa
kini ke masa lalu. Alur flashback ini
pula yang dimanfaatkan pengarang untuk memahamkan sekaligus menarik simpati
pembaca, mengapa seseorang yang sehat lahir-batin secara berangsur dapat
mengidap penyakit kejiwaan ekstrem? Dalam hal ini, terbaca betapa pengarang
mencoba mengajak pembaca untuk peduli perihal gangguan kesehatan mental yang
pada zaman kiwari ini, kian ganas menyerang,
terutama kepada kalangan muda. Lewat novel ini pula, pengarang mencoba
menanamkan kesadaran dan penyadaran bahwa kasih sayang keluarga adalah pondasi
penting bagi kekohohan kondisi mental anak-anak yang lahir serta besar di
dalamnya.

Kritik
yang patut juga dilontarkan pada kesempatan ini adalah, dalam sejumlah bab yang
mengandalkan alur mundur sebagai teknik bercerita, pengarang bertutur terlalu
rinci, demikian detail—sesungguhnya, hal ini dilakukan agar pembaca sampai
kepada suatu pemahaman betapa kondisi mitomania yang mendera para pelaku
memiliki dasar argumentasi yang jelas. Tetapi, karena gaya bahasa yang dipakai
pengarang cenderung lugas, pembeberan latar belakang para tokoh jadi terkesan
bertele-tele.

Kritik
berikutnya mengenai penerimaan Bu Amira—orang tua salah satu tokoh—akan penyakit
yang menggerogoti jiwa anaknya (halaman 249-252). Penerimaan tersebut terasa ujug-ujug alias mendadak dan begitu
mudah, padahal dalam lapis-lapis cerita sebelumnya, Bu Amira justru tersinggung,
tidak percaya, bahkan marah ketika pihak sekolah memberi tahu soal kegawatan
kondisi mental anaknya (halaman 156, 160-161, 163-166). Rasanya, perubahan
tersebut terjadi tanpa lanjaran kuat. Atau mungkin, Bu Amira tiba-tiba percaya
dan mengizinkan anaknya mengikuti terapi penyembuhan karena pada kali terakhir,
dokterlah yang menjabarkan kondisi mental anaknya, bukan guru dan kepala
sekolah seperti tahap-tahap cerita sebelumnya? Allahu a’lam.

 

*Thomas Utomo, guru SD Negeri 1 Karangbanjar,
Purbalingga, Jawa Tengah. Pekerjaan sampingan lainnya adalah penulis serabutan
di banyak media massa, editor perempat waktu, dan pedagang toko kelontong. Dapat
dihubungi lewat nomor 085802460851 dan surel utomothomas@gmail.com.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa

Arèsan Kompolan: Pergumulan yang Bukan Sekedar Rasan-Rasan

apa esa Moh. Imron

Burombu: Sebuah Tema Kampung Langai 6

Agus Hiplunudin Apacapa Esai Feminis

Perempuan dalam Pusaran Konflik Agraria di Indonesia

Amaliya Khamdanah Buku Resensi Ulas

Resensi: Melintasi Zaman di Kudus Melalui Novel Sang Raja

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Posisi Komunitas Muda Kreatif Situbondo dalam Revolusi Industri 4.0

Apacapa Denny Ardiansyah

Menjelajah Selawat Nariyah di Situbondo

Apacapa Imam Sofyan

Olean Bersholawat: Pengajian Ramah Disabilitas

Apacapa Esai Marlutfi Yoandinas

Jika Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan*

Apacapa

Buku dan Perpisahan

Apacapa

Merayakan Lebaran: Ada yang Hilang

M Lubis Cadiawan Mored Moret

Cinta Tak Pernah Ada Batas

Apacapa Uwan Urwan

Cangkaro’ Camilan Murah

Apacapa rizki pristiwanto

Relawan yang Tak Seutuhnya Rela

Cerpen

Cerpen: Kota Air Mata

Buku M Ivan Aulia Rokhman Ulas

Mengembangkan Didik Anak di Era Milenial

Joe Hasan Puisi

Puisi – Bertanya Pada Minggu

Apacapa Nanik Puji Astutik

Lelaki yang Kukenal itu tidak Punya Nama

Uncategorized

MMI Dukung Anak Muda Plalangan Wujudkan Impian

Puisi Wahyu Lebaran

Puisi: Kehilangan Karya Wahyu Lebaran

Apacapa

5 Alasan Kenapa Kalian Harus Ngefans sama Harli