Langai: Bersuara Ataukah Dibungkam?

Oleh : Dedi Andrianto Kurniawan
Festival Kampung Langai muncul sebagai ekspresi kegelisahan seniman-seniman lokal. Mereka berupaya menyodorkan wahana pembanding antara muatan estetik yang diusung oleh rezim kuasa dengan kegigihan swadaya kelas bawah yang murni berangkat dari kemurnian berpikir sebagai bentuk kritis dan eksistensi bahwa masyarakat masih bisa menggeliatkan ruang-ruang kreatif dengan atau tanpa dukungan kuasa. Kemudian dalam perkembangannya Festival Kampung Langai mendapat banyak sekali masukan. Lebih-lebih dalam kiprah setengah windu ini Festival Kampung Langai terus digulirkan dan kenyataannya dari tahun ke tahun perhelatan yang digadang-gadang jadi penyeimbang kiri tersebut semakin megah dan gempita, penuh sorak-sorai dan decak kagum para penikmatnya. Ditambah lagi komitmen masyarakat yang getol untuk memajukan dusun semakin santer.
Sementara di sisi lain apabila kita mengintip lagi lebih jauh mengenai latar belakang yang paling mendasar digulirkannya perhelatan semacam ini adalah salah satunya untuk mendorong kesadaran kreatif masyarakat untuk menumbuhkan kemampuan inisiasi dalam mengangkat khazanah lokal yang diharapkan juga mampu mendongkrak kesejahteraan masyarakat khususnya warga dusun Langai yang dalam kenyataannya masih banyak yang hidup di bawah standar kesejahteraan. Festival semacam ini memiliki fungsi strategis disamping sebagai medium eksistensi warga dalam meraih perhatian masyarakat luas khususnya masyarakat Kabupaten Situbondo, selain itu juga sebagai salah satu upaya warga dibantu aktivis budaya di Situbondo untuk membangun dan memajukan kampung.
Pada prinsipnya visi seperti demikian sangat bisa diterima, namun pada kenyataannya tidak kongruen dengan fakta di lapangan. Wacana untuk memompa semangat kemandirian kreatif masyarakat semata mata hanyalah klise untuk semakin melesakkan watak inferior terhadap masyarakat. Senyana tipikal masyarakat lokal adalah masyarakat dengan tipologi rendah diri dan menganggap semua yang berbau modernitas dan dibumbui dengan atmosfir aktual merupakan kemajuan yang meniscaya. Padahal tanpa disadari bahwa kearifan lokal yang dimiliki masyarakat merupakan objek yang lebih punya nilai ketimbang sajian budaya hedon yang ditampilkan.
Parahnya lagi generasi muda dalam masyarakat terlanjur hidup bergelimang hedonisme sehingga membuat mereka merasa enggan menjadi karakternya sendiri, kehilangan kepercayaan diri sebagai kaum yang bermartabat dan setara. Dewasa ini hampir tak ada aspek yang luput dari himpitan inferioritas. Sehingga kita terlanjur klaim bahwa apapun yang datang dan sumbernya dari agenda media adalah hal yang galant, elegan serta meningkatkan kharisma sebagai manusia modern. Kita terlanjur hidup rendah diri dengan memandang modernitas sebagai tatanan luhur, jauh bergeser dari nilai nilai adiluhung turun temurun dari leluhur kita.
Pengalaman tersebut tercermin dari tiga perhelatan Festival Kampug Langai yang mana pada kenyataannya konten budaya yang disajikan masih belum menyentuh karakter sesungguhnya Langai. Sehingga orang masih belum bisa menerka apa dan bagaimana Langai itu. Alih-alih membangun desa dan manusianya, yang terjadi justru membangun di desa mesisan manusianya. Aspek aspek kemanusiaan masih belum mampu terangkul. Perhelatan yang kian kali diselenggarakan ini masih terasa subjektif seolah olah Langai hanya sebagai plot kecil dari agenda terselubung besar invasi budaya.
Dan lebih jauh lagi pengaruh hegemoni tersebut demikian mengakar sehingga kita sulit untuk menyadari bahwa bukan kemanusiaan seperti ini yang hendak kita bangun, bukan ruang budaya seperti ini yang hendak kita dirikan. Kita hanya menerima mentah-mentah dalam metakognisi bahwa apapun yang tersaji dalam keseharian kita melalui media dan drama-drama kehidupan aktual dan menumpahkannya dalam ekspresi berestetika, yang kebetulan saja kali ini objeknya adalah Festival Kampung Langai. Sementara kita abai pada aspek kemanusiaannya. Langai merupakan sebuah dusun yang notabene sebagian warganya masih hidup dalam taraf belum layak. Maka sudah semestinya perhelatan semacam ini bisa mengangkat kesejahteraan warga dalam terma yang lebih efektif minimal dengan konten pertunjukan yang representatif bagi realita warga, dapat dicerna dan direnungkan bersama sama. Bukan semata riuh ramai dan ketumpahan rejeki mendadak sementara di hari-hari kemudian Langai kembali senyap, kesunyian dan ketelantarannya.
Di sisi lain pemerintah sesuai amanat Undang Undang Dasar 1945 pasal 32 ayat 1 mengenai upaya memajukan kebudayaan dalam hal ini tindak lanjutnya telah tertuang dalam Undang Undang Pemajuan Kebudayaan yang telah disahkan 27 april 2017 kemarin menekankan bahwa kebudayaan merupakan aset yang sangat bernilai sebagai investasi masa depan untuk membangun peradaban. Tentu saja peradaban yang bersumber dari kepribadian sejati yakni Pancasila tanpa mengabaikan kemanusiaan, maka hal ini merupakan angin segar sesungguhnya bagi para pelaku budaya dan seniman khususnya pelaku budaya lokal untuk lebih jeli lagi membidik segmen mana yang lebih layak dan konten estetika seperti apa yang sesuai dengan realita keseharian masyarakat kita. Dengan catatan budaya haruslah dapat menyematkan nilai nilai filosofis dan keluhuran tatanan agar dapat menghidupkan kemanusiaan sehingga dapat diterima dalam hal ini kaitannya adalah Festival Kampung Langai yang diharapkan bisa benar benar menyasar masyarakat Langai sebagai upaya mendorong kemandirian kreatif untuk kemajuan kampungnya sendiri bukan semata objek eksploitasi demi eksistensi banal dalam derasnya arus pencitraan global.
Pendek kata, Festival Kampung Langai bagaimanapun juga adalah gelaran yang patut diapresiasi sebagai ekspresi estetik yang merdeka, namun kontennya masih belum mampu mewakili realitas Langai itu sendiri. Sementara kehadiran negara dalam hal ini masih terbendung celah antara estetika dan keadaan faktual warga Langai itu sendiri. Festival Kampung Langai 4 ini semoga bisa menjadi gebrakan baru yang menjembatani kekuatan kuasa dan segmen sosial dengan mengindahkan konten yang representatif bagi estetika, kemanusiaan dan kesejahteraan, dalam jangan waktu yang berkesinambungan. []

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa Ayu Ameliah

Urgensi Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Multikultural

Anwarfi Citta Mandala Puisi

Puisi-puisi Citta Mandala

Apacapa Kuliner Situbondo

Lontong Ceker: Cocok untuk Sarapan dan Makan Siang

A. Warits Rovi Cerpen

Cerpen: Lelaki Yang Bercita-cita Jadi Tukang Sihir

Apacapa

Ngaji Syair: Merawat Sastra Keimanan

Apacapa

Situbondo Dik, Bukan Jalan Situbondo

Mundzir Nadzir Puisi

Puisi: Kembara Rindu

Apacapa Feminis Irham Kahfi Yuniansah

Diskursus Feminisme Jawa: Kekuasaan dan Laku Spiritual

Cerpen Wilda Zakiyah

Cerpen: Siklus Selotirto

Al Azka Apacapa Esai

Uang Panaik Antara Agama dan Budaya

Ahmad Zaidi Cerpen

Lelaki yang Datang Bersama Hujan

Apacapa Musik Supriyadi Ulas

Senandung Kasih dari Ibu

Cerpen Sukartono

Cerpen Gelisah

Apacapa Imam Sofyan

Kabar Duka itu Datang

Buku Thomas Utomo Ulas

Ulas Buku: Novel Anak Bermuatan Nilai-Nilai Kemanusiaan

Puisi

Seorang Santri dan Puisi Lainnya

Apacapa

Setelah Ujung Jalan Daendels: Refleksi Panarukan dalam Serat Darmagandhul

Apacapa fulitik kenalmasrio

Mas Rio Ajak Anak Yatim Bergembira di Navara Waterpark Bondowoso

alif diska Mored Moret Puisi

Puisi Mored: Tarian Hujan

Apacapa Moh. Imron Ngaleleng

Menyimak Pengolahan Kopi Arabika di Kayumas