Yang Muda Juga Bisa Berkuasa, Tapi Harus Merdeka Dulu

Beberapa waktu lalu, adik-adik tingkat saya mendekat dan berkata begini. “Mas, kita berhasil menunjukkan bahwa anak-anak muda yang dulu tidak dianggap, sekarang mereka berada di pusaran arah kebijakan daerah,” ungkapnya dengan nada yang terdengar sedikit bergetar.

Saya tersenyum saja. Lalu menjawab begini.

“Dan, kamu harus percaya diri. Bahwa itu bukan berkat siapa-siapa. Itu karena usahamu sendiri.”

Belum selesai saya melanjutkan kata-kata, ia buru-buru menimpali pernyataan saya. “Ini karena bimbinganmu kak,” kali ini nadanya terdengar lebih tegas.

Saya kaget dan sedikit geli mendengarnya. 

“Kamu salah. Kamu berada di posisi ini karena kamu memilih jalan ini. Aku cuma cameo dalam lakon yang kamu bintangi sendiri,” begitu pungkas saya.

***

Cerita kecil itu menggambarkan satu hal besar yang sedang terjadi hari ini di Situbondo. Anak-anak muda mulai muncul di permukaan. Mereka menampakkan diri dalam arena kekuasaan. Mereka tak lagi hanya jadi gincu. Mereka hadir, duduk di ruang-ruang penting, dan ikut ambil keputusan.

Anak-anak muda yang dulunya hanya “pengembira”, kini bisa berdiskusi langsung dengan Bupati dan Wakil Bupati serta jajaran pejabat-pejabat daerah, untuk ikut menentukan arah kebijakan.

Di satu sisi ini tentu membawa angin segar, tapi juga gesekan di sisi yang lain. Nah di sisi yang lain ini, sebagian golongan tua—yang selama ini merasa sebagai “kelas elit” dalam lingkar kekuasaan—tiba-tiba merasa kehilangan orbit. Mulai muncul tanda-tanya, rasa cemas, bahkan kecemburuan. Mereka tampak gelisah entah gerangan.

Saya membacanya wajar jika muncul kegelisahan. Begini, siapapun harus harus ingat ini: kekuasaan itu bukan hak milik. Ia tidak diwariskan, dan tidak bisa diklaim atas dasar senioritas. Kekuasaan adalah soal kesiapan dan kemampuan. Siapa pun yang punya kapasitas, punya ruang untuk tampil—termasuk yang muda.

Masalahnya, dalam banyak ruang politik kita, masih sering ada anggapan bahwa yang muda harus menunggu giliran. Harus sabar di belakang. Harus “sopan” dengan tidak mendahului. Padahal siapa yang bisa menjamin giliran itu akan datang? Bisa saja ketika giliran itu tiba, justru kita sudah tidak relevan lagi atau bukan kita lagi yang dibutuhkan. Zonk, dong!

Di sinilah letak pentingnya menjadi manusia merdeka. Manusia merdeka yang saya maksud adalah merdeka dari rasa takut. Merdeka dari rasa tidak percaya diri. Dan merdeka dari bayang-bayang senior. Bukan apa-apa, Karena kalau soal itu tidak diambil, anak-anak muda hanya akan jadi bumbu-bumbu yang mudah digeser dan dilupakan. Dan kalau terlalu bergantung pada senior, begitu tali itu putus, ia akan jatuh dan hilang arah.

Jadi, buat yang muda, dekat dengan kekuasaan itu bukan segalanya. Tapi kalau memang sudah dekat, jangan cuma ikut-ikutan. Jangan cuma jadi pelengkap. Bangun dirimu sendiri. Gantungkan hidupmu bukan pada relasi atau basa-basi, tapi pada attitude, knowledge, dan skill.

Tiga hal itu yang akan membawa anda semua berjalan lebih jauh. Bukan pujian senior. Bukan jabatan hadiah. Itu yang sering aku sampaikan kepada adik-adik tingkatku. Camkan itu!

Dan buat yang senior. Begini, Kak. Kalau memang ingin dihormati, ajarkan sesuatu. Kalau pernah memegang tangan si muda saat ia bingung, ia pasti akan hormat tanpa diminta. Tapi kalau tak pernah berbagi apa-apa, lalu menuntut tunduk—itu bukan minta dihormati, itu sedang minta dipatuhi. Dan itu bukan saya banget. 

Bagi saya, hormat itu urusan etika dan berpikir itu wilayah logika. Dalam argumentasi, semua setara. Tak ada senioritas dalam berpikir. Mungkin kalimat ini sudah familiar, apalagi bagi senior-senior. Betul, kan?

Nah yang muda juga harus belajar, jangan simpan dendam. Jangan ganti kesombongan lama dengan kesombongan baru. Karena kekuasaan juga berputar. Berganti. Hari ini bisa milikmu. Lima tahun lagi bisa jadi milik mereka lagi.

Kalau kita sama-sama tahu diri—yang muda tak merasa paling tahu, yang tua tak merasa paling benar—politik bisa jadi tempat belajar bersama. Bukan ajang saling menyingkirkan. Ngeri, Bos.

Karena pada akhirnya, politik bukan soal siapa yang lebih dulu. Tapi siapa yang benar-benar siap.

Saya tentu tak ingin menggurui kalian adik-adikku, apalagi berlagak paling bijak. Tentu tidak. Ini hanya catatan kecil sebagai pengingat—untuk saya sendiri juga. Tapi kalau kalian menganggap saya keren, ya anggap aja itu hanya kebetulan saja. Karena saya sendiri tidak merasa keren, tapi keren banget, dong.

Akhirukkalam. Ingat baik-baik pesan senior kalian ini, ya: “ixgdtfab nhxkxo ndhsfsuskx mcisosbsbaf nhccosgsut bv dryojsksn msjsspldjdndhsn.” Demikian.

Penulis

  • Penulis merupakan konsultan politik. Anak muda Situbondo yang tinggal di Jakarta.


Comments

Satu tanggapan untuk “Yang Muda Juga Bisa Berkuasa, Tapi Harus Merdeka Dulu”

  1. Avatar Anonim
    Anonim

    Kelazz👏🏼

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa Imam Sofyan

Pak Kepala Desa, Belajarlah dari Film Dunia Terbalik!

Prosa Mini Zainul Anshori

Pertemuan dengan Seorang Gadis Desa

Penerbit

Buku: Kesiur Perjumpaan

Advertorial

Cara Praktis Daftar Akun M-Banking BRI Lewat Mesin ATM serta Manfaat Menggunakannya

Apacapa Arsip Situbondo Sastra Situbondo Totor

Zikiran Madura Situbondo Setelah Azan (Bagian 1)

Puisi T. Rahman Al Habsyi

Puisi: Merakit Tidur

Apacapa Esai Rahman Kamal

Dik, Mengapa Kau Tak Mau Menemaniku ke Kampung Langai Malam Itu?

Buku Thomas Utomo Ulas

Ulas Buku: Perlawanan Terhadap Eksploitasi Anak

Buku Thomas Utomo Ulas

Teka-Teki Tenis, Sosok Misterius, dan Cinta Berlarat

Alifa Faradis Cerpen

Cerpen: Pisau Takdir

Cerpen Syarif Nurullah

Cerpen: Bagaimana Cara Kita Berkenalan?

Apacapa Muhammad Lutfi

Tiga Dekade Upaya Liverpool Melepas Jerat Kutukan

Buku Penerbit Ulas

Buku: Saudade dan Cerita Lainnya

Polanco S. Achri Prosa Mini

Di Salah Satu Kamar Mayat dan Prosa Mini Lainnya Karya Polanco S. Achri

Cerpen Eko Setyawan

Cerpen: Carlina dan Dangdut yang Mencelakainya

Cerpen Fahrul Rozi

Cerpen: Marsinah

Fani Haryadi Puisi

Puisi : Pesona Keheningan Karya Fani Haryadi

Apacapa Curhat

Menjadi Bapack2: Catatan Sepulang dari Kelas Ayah

fulitik

1.100 Kaos Patennang Ludes Terjual, Efek Jalan Santai Bareng Mas Rio

Apacapa

Merayakan Lebaran: Ada yang Hilang