Identitas Dangdut, Identitas Situbondo

Oleh Marlutfi Yoandinas
Membaca tesis Panakajaya berjudul “Musik dan Identitas: Kajian tentang
Musik Dangdut Madura di Situbondo”, setali tiga uang, kita akan menemu
identitas dangdut, sekaligus identitas Situbondo. Melalui kacamata musik
dangdut, kita digiring untuk menelusur sejarah, bahasa, bunyi, dan sikap kebudayaan
“manusia Situbondo”.
Sesuai suatu adagium, tidak ada sesuatu yang lahir dari ruang kosong, musik
dangdut Situbondo sebagai “musik dangdut daerah” ternyata sudah cukup lama
berkembang dan diminati. Beberapa di antaranya, kelompok seni pertunjukan, Al
Badar Lesbumi yang berdiri sejak 1960-an. Bentuk pertunjukannya berupa drama
musikal yang diperankan oleh para panjhak laki-laki. Mukri,
selaku Ketua Lesbumi NU Situbondo pada masa itu adalah inisiator sekaligus
penanggung jawab program kebudayaan NU yang menaungi seni pertunjukan Al Badar,
Samroh, Hadrah dan Drum Band. Al Badar Lesbumi bersama Mukri cukup
populer di tapal kuda. Salah satu tinggalannya yang bisa dinikmati sampai saat
ini ialah lagu Sello’ Soca Mera dan Tak Aromasa.
Sampai sekira tahun 1966 Al Badar Lesbumi mengalami penurunan tingkat
performanya. Lalu berdiri seni pertunjukan serupa diberi nama Al Badar
Mahajaya, yang didirikan oleh Rasuk (salah satu panjhak Al Badar
Lesbumi). Keberadaan Al Badar Mahajaya semakin mempopulerkan seni pertunjukan
drama musikal karena sudah bisa rekaman dan orientasinya komersil. Panjhak yang
biasanya hanya laki-laki, sudah mulai diisi perempuan. Salah satu karya populer
Al Badar Mahajaya ialah drama musikal berjudul Nabi Yusuf, yang di dalamnya
terdapat salah satu lagu populer Tak Nyangka ciptaan Asmuri Rafi.
Setelah Al Badar Mahajaya ini, kemudian muncul banyak kelompok-kelompok
seni pertunjukan drama musikal di Situbondo, yang kemudian menjadi cikal-bakal
munculnya identitas “dangdut daerah” Situbondo. Muncul nama-nama kelompok Al
Badar Jaya, Al Badar Muda, Al Badar Gaya Baru, Melodi Ria, Sandes, Kelana Indah
dan seterusnya sampai hari ini.
Bahasa Madura sebagai bahasa ibu di Situbondo, juga menjadi bahan
pembahasan, yang lekat dengan perkembangan sejarah musik dangdut Situbondo.
Termasuk pembagian dialek bara’ (Bahasa Madura Bangkalan, Pamekaan,
Sampang) dan temor (Bahasa Madura Sumenep) sebagai diferensiasi
(pembeda). Sebagaimana pembeda antara penutur bahasa di Besuki yang cenderung
menggunakan dialek bara’ dan Situbondo sampai Asembagus yang menggunakan
dialek temor.
Pembeda berupa dialek ini juga menentukan produksi bunyi dalam lirik-lirik
lagu ciptaan. Produksi bunyi dialek bara’ cenderung tegas,
cepat/terburu-buru, kasar, dan kaku. Sedangkan produksi bunyi dialek temor
cenderung ditarik-tarik dan berlagu, lemah lembut, dan halus. 
Terkahir mengenai sikap kebudayaan “manusia Situbondo”, saya akan mengutip
pernyataan Anto, yang ditulis dalam tesis Panakajaya (halaman 188):
“Lagu dangdut Madhurâ rowa khas Situbondo, asalla hâri Al Badar, jhâ’ rowa ngarang-ngarang bâkto è
tangghâ’ân. È Madhurâ dhibhi’ ta
â’ dangdut Madhurâ lambâ’, sé bââ kéjhungan bi’ gambusan. Barometer-nya dangdut
Madhurâ itu ya Situbondo, Madhurâ rowa akaca
hâ’enna’. Arapa saya ngoca’ nga’ itu, Madhura itu kan
banyak macemma ya, logatta kan ta’ sama ya, sé kita itu sé bhâgus. Lagu Madhurâ
itu ta’ en
âk mon terlalu bersastra, ta’
kéra paju, mon é Situbondo itu kodhu apa bâ
âna. Bahasana kodu sé semma’ ka masyarakat. Meskipun
terkesan kasar tapi itulah Situbondo.”
[]
____

Pengantar dalam review
tesis, 20 Februari 2017 di Rumah Kopi Situbondo bersama Gerakan Situbondo
membaca.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Andhy Kh Cerpen

Cerpen : Hujan di Paris Karya Andhy Kh

Agus Yulianto Cerpen

Cerpen : Luka

Apacapa Esai Muhammad Ghufron

Menjadikan Buku sebagai Suluh

Cerpen M Ivan Aulia Rokhman

Cerpen : Kehilangan Tas di Kota Pasundan Karya M Ivan Aulia Rokhman

Apacapa Rahman Kamal

Cerpen: Kunang-kunang di Atas Perahu

Ahmad Radhitya Alam Puisi

Travesti dan Puisi Lainnya Karya Ahmad Radhitya Alam

Puisi

Puisi-puisi Faris Al Faisal: Merah Putih

Advertorial

Perkembangan Tipe-tipe Kamar Mandi

Catatan Perjalanan Ngaleleng Nur Faizah Wisata Situbondo

Gunung Panceng Adventure

Irwant Musik Ulas

Lek Marni dan Interpretasi Perasaan

Apacapa

Literasi Digital Bagi Generasi Z

Apacapa Marlutfi Yoandinas

“CACAT” DI UU CIPTA KERJA

Fikri Mored Moret

Cerbung: Fikri dan Kisah-Kasih di Sekolah (Part 3)

Apacapa Esai Imam Sofyan

Harjakasi: Memaknai Situbondo dari Alun-Alun

Apacapa Esai Fendy Sa’is Nayogi

Jangan Dilupakan, Folklor Sebagai Media Membentuk Karakter Bangsa

Kriselda Dwi Ghisela Resensi

Resensi Ronggeng Dukuh Paruk

Buku H.O.S. Tjokroaminoto Indra Nasution Ulas

Ulas Buku – Islam dan Sosialisme karya H.O.S. Tjokroaminoto

Apacapa Gus Faiz

Gus Fahruddin Faiz Jalan-Jalan ke Baluran Situbondo Jelang Ngaji Literasi

Uncategorized

Tips Terbaik dalam Memilih Kendaraan Niaga

Apacapa mohammad rozi

Tore Maca: Mengisi Situbondo dengan Literasi yang Menyenangkan