Puisi: Ketika Bendera Berdetak

Ketika Bendera Berdetak (1)

Ada bau mesiu menembus pagi,
suara takbir bersahut dengan dentum meriam.
Seorang ibu menutup telinga anaknya
dan membuka dadanya pada kemerdekaan.

Langit tak sempat menangis,
terlalu sibuk mencatat nama-nama yang gugur.
Sebuah kota terbakar,
tapi yang menyala bukan rumah
melainkan iman.

Di antara reruntuhan,
ada sehelai bendera yang masih berdetak.
Ia berkibar dari tangan gemetar
yang belum tahu arti menang.

Dan kita menyebut mereka pahlawan
padahal mereka hanya ingin pulang
ke tanah yang tak lagi dijajah
oleh siapa pun, bahkan oleh takut.

Besuki, 8 November 2025


Ketika Bendera Berdetak (2)

Waktu berjalan, menyejukkan abu.
Tugu-tugu berdiri tegak
seperti doa yang diawetkan
dalam upacara tahunan.

Anak-anak belajar kata “merdeka”
tanpa tahu bagaimana rasanya kehilangan ayah.
Bendera dikibarkan, tapi angin tak sama lagi
lebih pelan
lebih sopan
tapi kurang jujur.

Kita membangun monumen,
menyembunyikan kesedihan di balik prasasti.
Sementara tanah di bawahnya
masih mengingat darah yang belum kering.

Negeri ini pernah menyala karena cinta,
tapi kini ia hidup
dari rerata dan berita.

Besuki, 8 November 2025

Ketika Bendera Berdetak (3)

Kini mereka berperang dengan dasi,
ukan dengan bambu runcing.
Senjatanya adalah tanda tangan,
dan korbannya berupa kepercayaan.

Rakyat berdiri di luar gedung,
menyaksikan janji berubah jadi proyek.
Negeri ini kembali dijajah
oleh angka,
oleh rekening,
oleh senyum palsu.


Tak ada peluru,
tapi banyak luka.
Tak ada penjajah,
tapi banyak penguasa.
Dan bendera yang dulu berdarah
kini hanya menjadi latar konferensi.

Barangkali inilah bentuk baru kemerdekaan
menjadi bebas untuk melupakan
siapa yang mati agar kita hidup.

Besuki, 8 November 2025


Ketika Bendera Berdetak (4)

Setiap tahun, kita berdiri diam
menunduk selama satu menit,
padahal dosa kita jauh lebih panjang
dari yang bisa ditebus oleh hening.

Ada arwah yang menatap dari kabut,
mungkin mereka tersenyum getir
melihat negeri yang dulu diperjuangkan
menjadi pasar tanpa harga diri.

Namun di dada seorang anak kecil
yang melafal “Indonesia” dengan gagap,
mungkin masih ada bara yang sama
sekecil doa, tapi tak padam.

Mereka yang mati dulu
tak menuntut dikenang,
mereka hanya ingin
kita tak hidup sia-sia.

Besuki, 8 November 2025

Puisi adalah cermin tempat kita menatap arwah para pahlawan dengan mata nurani. Di dalam bait-baitnya, keberanian masa lalu berbisik agar kita tidak hanya mengenang, tetapi juga melanjutkan. Sebab kemerdekaan sejati bukan sekadar peringatan, melainkan kesediaan untuk berjuang kembali dalam cara yang paling manusiawi hari ini.

Penulis

  • Galih P Widodo lahir di Jombang empat puluh tahun silam. Saat ini berdomisili di Desa Kalimas, Kecamatan Besuki, Kabupaten Situbondo. Ia berprofesi sebagai guru di SD Negeri 2 Plalangan. Dalam kesehariannya, aktif dalam kegiatan literasi, menulis, dan membaca, serta memiliki minat besar pada bidang seni dan budaya. Selain mengabdi sebagai pendidik, ia juga dipercaya sebagai Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Situbondo (DKS) dan merupakan Founder Rumah Pena Sastra (RPS).


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Buku Ulas

Para Bajingan Yang Menyenangkan: Benar-benar Bajingan!

Advertorial

Memiliki Banyak Rekening Bank, Memangnya Perlu?

Apacapa Bayu Dewo Ismadevi

Menyiapkan Generasi yang Hebat

Ahmad Sufiatur Rahman Cerpen

Cerpen : Ketika Tubuh Bicara

Apacapa Musik Nafisah Misgiarti Situbondo Ulas

Ghu To Ghu dan Makna Perjalanan

Cerpen Ken Hanggara

Cerpen – Dunia Silver

Ahmad Zaidi Apacapa Esai

Puthut Ea, Komunitas dan Hutang yang Dilunasi

Apacapa

Situbondo Dik, Bukan Jalan Situbondo

Apacapa Esai Latif Pungkasniar

Plakat, Kongko, dan Sekawanan Penulis

Buku Ulas

Ulas Buku: Jalan Ini Rindu Karya K.H.R. Ahmad Azaim Ibrahimy

Apacapa fulitik

Kenapa Kaos Orens Tidak Dibagikan Gratis? Malah Dijual. Ini alasannya.

Buku Putri Setyowati Resensi Ulas

Resensi: Memulai Kembali Hidup

Buku M Ivan Aulia Rokhman Ulas

Review Buku Orang-Orang Bloomington

Cerpen Nanda Insadani

Cerpen : Ganti Bapak Karya Nanda Insadani

Cerpen Sainur Rasyid

Surat dari Akhirat

Apacapa MA Marzuqin

Apacapa: Ngobrolin Gus Dur: “Gus Dur, Sastra dan Wanita”

Cerbung Ipul Lestari

Cerbung : Raisha Karya Ipul Lestari

Prosa Mini

Cerita: Ikan Asap

M. Suhdi Rasid Mored Moret

Puisi Mored: Ibu dan Puisi Lainnya

Apacapa

Museum Balumbung: Para Pendekar Masa Lalu