Puisi-Puisi Ramli Q.Z.

 

Mengapa Kau Tanyakan Laut?

                                ; kepada tanya
kala senja

 

Aku
ingat betul saat kau meraba ingatanku

dengan
tanyamu perihal laut. Itulah sebabnya

aku
seperti merasakan doa restu ibunda,

yang
mungkin bisa terlukis di pasir putih—jemari kaki

seorang
putri yang meramal usia karang.

 

Apakah
masih menakutkan laut itu, kekasih?

ketika
kau bercermin pada airnya,

ikan-ikan
akan memujamu dan bebiji pasir

yang
terlselip di tubuh cangkang kerang

segera
mengintip bayang-bayangmu yang lebih halus dari arus.

 

Mari
duduklah sebentar, biar kuceritakan juga perihal angin.

Badai
tenggara bukan lagi petaka,

melainkan
gerai ujung rambutmu mencakar senja:

angin
tak mampu mengubur harapan nelayan

 

tapi
angin segara diam-diam

meniupkan
jejak kita yang sengaja dilupa!

 

Sumenep,
2022

 

 

 

Aku Tidak Benar-Benar Berteduh pada Buaian Ibu

 

Di
hari keramat

sejuta
jagat merayakan arwah moyang yang pulang.

Dulu
aku memujanya:

di
saat getir,

harapan
yang pernah amatir

 

Sekarang
aku menggapnya sebuah panggilan,

terdengar
nyaris seperti jeritan.

Sementara
kota yang ramai adalah jeda

dari
detik yang teramat panjang

 

Apakah
kita mendengarnya?

 

Atau
kita diam, gendang telinga seperti tidak pernah tercipta.

Jeritannya
adalah pertarungan sunyi

yang
kau kabarkan pada telinga sendiri

 

Dharma
Kartika, 2022

 

 

 

Kabar Pagi

 

Betapa
akrab dedaun

pada
desah embun

yang
sesekali menetes di liang luka.

 

Lagi-lagi
kita tak pernah kunjung jenuh,

memupuk
harapan

kala
matahari mampir lagi

dan
bulan menunggu

untuk
bertamu dalam mimpi

:
yang sering kita puja

melebihi
keringat peri

dan
bahkan,

sampai
lupa pada airmata sendiri

tapi
kau berkata, “wajah luka

selalu
pantas pada wanita yang diperindah tawannya.”

 

“sebab
kau lelaki yang pandai

menyirami
bunga dengan darah.

Maka
tidak salah ia pangling pada ranggas kemarau

yang
membuat dedaun hina, seperti nisan tanpa nama.

 

“Airmata
dan darah

adalah
isyarat paling menggetirkan!”

 

Ganding,
2022

 

 

 

Apakah Kau akan Mengetuk Pintu Rumahku Lagi?

 

“Mari
kita duduk. Di meja, kursi, atau lantai

yang
kotor,” tawarku setelah kau mengetuk pintu.

Dia
terdiam. Langkahnya yang pelan terlihat seperti melatih diri

untuk
melangkah tangga yang pernah terbayang.

 

Rumah-rumah
dalam bayangan.

Begitulah
gerak bibirmu terbaca

Betapa
bulan memantul di jendela kamar

Pintu
bisu dan gorden melaimbai lesu

 

Ketuklah
pintuku sekali lagi

Meski
garis jarimu tetap ada di urat kayu

Lambaiannya
seirama dengan daun jatuh

 

Ketuklah…

Meski
angin yang membawa sketsa wajahmu

Dan
aku akan membaca halaman pipimu

 

Sumenep,
2022

 

 

 

Hujan di
Pertigaan Jalan

 

Hujan di pertigaan jalan

telah menguyupkan sketsa
bayang-bayang tubuhmu

 

padahal ia selalu setia mengutitmu

dari belakang,

menghapus jejak kakimu tatkala
telanjang

 

saat bajumu lemas benangnya

dan kepalamu menuntut untuk menepi

sama sekali
ia
takkan pernah pupus

mengejar derap langkah kakimu yang
gigil

 

bayang-bayang sangat mirip mayat;

tidak banyak menuntut

bagaimana dia diam ketika tiba-tiba
kau memesan susu hangat

untuk sedikit menyamarkan dingin

yang membuatmu takut

 

masihkah kau akan mewartakan

pada kesibukan semua orang di
seberang jalan,

saat istiwa jatuh pada tubuhmu di
detik itu

bahwa bayanganmu hilang?

aku yakin betapa erat rahasia di
mulut tiang-tiang

dan, kau putuskan selangkah kakimu
untuk pergi

sementara bayangmu kau tinggal tak
bertuan

 

adakah satu tubuh yang akan mengaku
bayang-bayang itu?

 

Ganding, 2022

 

 

 

BioNARASI

RamliQ.Z. nama pena dari Ramli Qamarus Zaman, santri PP. Annuqayah Latee,
Guluk-Guluk-Sumenep.

Sekarang
ternyata sebagai Mahasiswa Instika prodi Ilmunya al-Quran dan Tafsir semester
V.

Aktif
di Forleste dan menjabat sebagai pustakawan PPA. Latee.

 

 

Ilustrator

@Anwarfi,
alumni DKV Universitas Malang tahun 2017, freelance designer, owner @diniharistudio.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Esai Muhammad Badrul Munir

Zaidi dan Kisah Seorang Wali

Agus Hiplunudin Cerpen

Cerpen : Sepotong Kue Kekuasaan

Apacapa Indra Andrianto

Menjadi Kepala Sekolah yang Inovatif

Mored Moret Puisi Nur Akidahtul Jhannah

Puisi Mored: Jeritan Pantai Peleyan dan Puisi Lainnya

Cerpen

Kepada Yth. Bapak Bupati

Ahmad Sufiatur Rahman Cerpen

Cerpen : Ketika Tubuh Bicara

Apacapa Fendy Sa’is Nayogi

Pertanian 4.0: Mari Bertanam di Internet!

Apacapa Moh. Imron

Ali Gardy Bertiga: Tirakat Bunyi

Puisi Rudi Santoso

Setan Rindu dan Puisi Lainnya Karya Rudi Santoso

Puisi Surya Gemilang

Puisi: Setelah Kau Pergi dari Kamarku

Apacapa Moh. Imron

Pewaris Budaya Desa

Apresiasi Musikalisasi Puisi

Musikalisasi Puisi – Apa Kabar?

Advertorial

Perkembangan Tipe-tipe Kamar Mandi

Imam Suwandi Puisi

Puisi – Subuh yang Terjarah

Choirun Nisa Ulfa Prosa Mini

Prosa Mini – Irama Kematian

Apacapa Randy Hendrawanto

Generasi Z bertanya soal isu PKI

Buku Ulas

TUHAN Tidak Makan Ikan dan Cerita Lainnya: Tertawa Sembari

Apacapa Imam Sofyan

Sastra, Buku dan Tanah Air Yang Hilang

Rusdi Mathari Situbondo

Situbondo Dik, Bukan Jalan Situbondo

Baiq Cynthia Cerpen

Cerpen: Giok