Tajhin Sora

Oleh: Shaniyahtull Fitri
Menjelang
sore, sehabis pulang bermain, iseng saja saya membuka kurung makanan di ruang
makan. Saya mencicipi makanan itu. Makanan berupa tajhin, rasanya
enak  sekali. Kata ibu namanya tajhin
sora.
Tajhin
dalam  bahasa madura ialah bubur,
sedangakan Sora dalam kalender hijriyah ialah Muharam. Jadi, Tajhin
Sora
merupakan sebuah tradisi. Membuat Tajhin yang disajikan pada
bulan sora atau muharam.
Kata
mbah, di balik tradisi tajhin sora, terdapat sebuah peristiwa seorang
nabi. Bermula ketika Nabi Nuh a.s. berada di tengah lautan, di sebuah kapal
yang amat besar. Penumpangnya komplit, tidak hanya manusia, hewan pun ada di
dalam kapal itu.  Sudah kesekian harinya
Nabi Nuh mengeraungi lautan.
Suatu
ketika musim peceklik pun terjadi di dalam kapal, beras yang biasa ditanak dan
dihidangkan bersama, tidak lagi mencukupi. Salah satu penghuni kapal mengadu
kepada Nabi Nuh a.s., setelah Nabi Nuh a.s. berdoa, beliau mengambil sedikit
dari beras yang ada kemudian dimasak dengan cara yang tidak biasanya. Beliau
memasak beras itu menjadi tajhin, ditambahi beberapa lauk pauk dan
akhirnya dari tajhin itu mencukupi untuk mengisi perut dari setiap penumpangnya.
Peristiwa ini terjadi di bulan Asyura dan kebanyakan orang menyebutnya dengan
Muharam.
Dari
cerita itulah terjadi sebuah tradisi, dimana ketika setiap masuk bulan muharam
rata-rata penduduk di desa kami membuat tajhin, dengan harapan kita
semua mendapat barokahnya dari nabi Nuh a.s., sekaligus sebagai bentuk rasa
syukur.
Komposisi
tajhin sora cukup sedehana, yaitu tajhin seperti biasanya, lauk-pauknya
beraneka ragam. Kalau di desa kami biasanya terdiri dari telur goreng di
gulung-gulung, bisa juga ditambahi telur rebus dibelah menjadi beberapa bagian,
tempe orek. Kuah ini menggunakan santan kuning seperti opor, biasanya
orang-orang menggunakan ikan tongkol atau ayam sesuai dengan selera.
Bentuk
Tajhin sora ini terkadang tidak hanya disajikan di awal bulan Muharam , bisa
juga dihidangkan ketika hajatan seperti seperti arisan, tahlilan, syukuran,
sunnatan dan acara-acara keluarga lainnya. Disajikan dengan ragam yang
berbeda-beda sesuai dengan adat di daerah tersebut.
Misanya
seperti di daerah kami, tajhin sora diracik dengan sederhana, cukup
dengan kuah opor ayam, di atasnya ditambahi tempe orek dan telur gulung.
Tradisi
tajhin sora di daerah kami yaitu dengan membagikannya kepada tetangga sekitar,
misalnya satu rumah dua mangkok tajhin atau tiga mangkok sesuai berapa
banyak porsi yang dibuat.
Selain
mengharap barokah dari Nabi Nuh a.s. dan para guru serta wali-wali Allah Swt.,
tajhin sora juga dibuat dengan harapan dapat mempererat tali
persaudaran, saling berbagi dengan cara mengunjungi rumah- rumah tetangga. []

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Wisata Situbondo

Wisata Situbondo Lengkap

Apacapa Fadhel Fikri

Gus Miftah dan Dakwah yang Merendahkan: Sebuah Kritik dari Perspektif Teologi Antroposentris

Cerpen M Ivan Aulia Rokhman

Cerpen : Kehilangan Tas di Kota Pasundan Karya M Ivan Aulia Rokhman

takanta

Setahun Takanta ID

Agus Hiplunudin Cerpen

Cerpen : Kesucian Karya Agus Hiplunudin

Pantun Papparekan Madura Sastra Situbondo

Pantun Madura Situbondo (Edisi 3)

Curhat

Selimut Air Mata

Cerpen Lia Fega

Cerpen : Perselisihan untuk Sang Tuan Karya Lia Fega

Apacapa Madura Syaif Zhibond

Rèng Lakè’ Pernah Alebhele

Cerpen Sainur Rasyid

Surat dari Akhirat

Moh. Imron Ngaleleng

Kendit Harmoni : Ketika Seni Menemani

Apacapa Firdaus Al Faqih

Pecandu Buku tetapi Berkantong Tipis? Tenanglah!

dinda ayu lestari Mored Moret

Cerpen Mored: Prahara Ojung

Anwarfi Puisi Saiful Bahri

Puisi-puisi Saiful Bahri: Tubuh Ramadan

apokpak Esai N. Fata

Timpangnya Demokrasi Tanpa Oposisi

Imam Suwandi Puisi

Puisi – Subuh yang Terjarah

Ahmad Zaidi Cerpen

Cerpen: Peristiwa Menjelang Pemilu Karya Ahmad Zaidi

Apacapa Nafisah Misgiarti

Ali Gardy, Jefri Bagus, dan Kritik Sosial dalam Karyanya

Cerpen Haryo Pamungkas

Cerpen : Kota dan Hujan di Pagi Hari Karya Haryo Pamungkas

Firman Fadilah Puisi takanta

Puisi: Hikayat Keabadian