Memaknai Situbondo “Naik Kelas”

 

Penulis: Ahmad Zainul Khofi*

Saat
saya pulang dari perantauan,
sering kali saya melihat slogan “Naik Kelas” berseliweran di
baliho-baliho pinggir jalan. Bagi masyarakat Situbondo, slogan ini adalah
sebuah harapan
. Sebagian
yang lain mungkin saja melihatnya
sekadar tujuan
administratif dari sebuah program besar Pemerintah Situbondo saat ini. Namun
apakah betul
maknya
demikian?

Slogan
“Naik Kelas” adalah kata besar. Kita seringkali menerima kata-kata besar macam
itu dalam keseharian, baik berupa isyarat, kata, maupun simbol. Lantas, apakah
kita benar-benar sudah menyadari bobot makna yang dikandungnya?

Dalam
banyak hal, makna adalah sesuatu yang esensial namun justru paling sering kita
lupakan.  Ketika kita mengatakan sesuatu
“bermakna”, misalnya, seolah kita sepakat bahwa terdapat sesuatu yang
tersembunyi di balik bentuk luar itu
. Sesuatu
yang lebih dalam daripada sekadar tanda – kata.

Namun,
ironisnya, kita jarang bertanya: Apa itu makna? Di manakah letaknya? Apakah ia
hadir bersama bahasa, atau justru melampaui bahasa? Pertanyaan-pertanyaan ini
jarang muncul, sebab kita telah terbiasa berada di dalam arus kata-kata tanpa
pernah menyelaminya. Kita menerima begitu saja apa yang disebut “makna”,
padahal mungkin makna itu telah tertimbun oleh rutinitas, persepsi sosial, dan
arus pergeseran hidup.

Maka,
ketika
Mas Rio bersama Kabupaten
Situbondo mengangkat slogan “Naik Kelas”, pertanyaan yang patut diajukan bukan
hanya apa tujuannya secara administratif, melainkan juga apa maknanya secara
eksistensial. Apa yang sesungguhnya dimaksud dengan “
Naik Kelas”? Dan
bagaimana masyarakat bisa benar-benar mengalami makna dari proses itu?

Jika
makna adalah sesuatu yang sering tersembunyi, maka “Naik Kelas” seharusnya
tidak dilihat semata-mata sebagai slogan yang sekadar menghias baliho. Ia harus
menjadi panggilan yang menggerakkan kesadaran dan semangat perubahan kolektif.
Saya lihat Mas Rio menuju ke sana
dan sudah ia tunjukkan.

Lalu saya teringat
ungkapan Heidegger, filsuf fenomenologi, bahwa makna hanya bisa diungkap
melalui keterlibatan langsung dengan realitas – melalui pengalaman, bukan
sekadar konsep. Dengan demikian, Situbondo
Naik Kelas ketika
rakyatnya tidak hanya menerima program, tapi merasa ikut terlibat dalam
perjalanan ke arah perubahan. Saat warga tidak merasa diatur, melainkan
dihargai. Ketika petani merasa bahwa jerih payahnya tak hanya bernilai ekonomi,
tapi juga dimuliakan secara sosial. Ketika anak-anak desa merasa bahwa
pendidikan bukan hanya kewajiban, tapi juga jembatan bagi mimpi-mimpi yang
layak diperjuangkan.

Naik
kelas juga berarti melampaui sekadar perubahan administratif. Ia berarti
bertumbuh sebagai manusia—menjadi masyarakat yang lebih kritis, lebih peduli,
dan lebih terbuka. Maka, yang naik kelas bukan hanya institusi, tetapi juga
kesadaran bersama. Kita bertanya: apa makna pemerintahan yang baik? Apa makna
menjadi warga Situbondo? Apa makna dari bekerja, belajar, dan hidup bersama
dalam satu wilayah yang sedang berjuang memperbaiki dirinya?

Dengan
demikian, “naik kelas” tidak lagi berhenti sebagai proyek dari atas ke bawah,
melainkan menjadi gerakan dari rahim Situbondo sendiri. Ia menjadi kesadaran
kolektif yang berangkat dari pengalaman-pengalaman kecil namun bermakna,
seperti seorang guru yang setia mendampingi murid-muridnya di pelosok desa;
sekelompok pemuda yang menginisiasi gerakan literasi; petani yang mengelola
lahan secara berkelanjutan.
Atau secara politik, “Naik Kelas” adalah pertunjukan kebersamaan dua
kutub itu.
Dalam pengalaman-pengalaman inilah makna “Naik Kelas” yang
sejati mengendap dan mengakar.

Maka
jika hari ini pemerintah Kabupaten Situbondo mengusung
Naik Kelas sebagai slogan,
semoga itu bukan sekadar tanda, melainkan benar-benar peristiwa. Peristiwa
keterlibatan bersama dalam menyusun masa depan. Peristiwa transformasi yang tak
hanya mengubah struktur, tapi juga menyalakan kesadaran dan semangat
berani berubah. Dan di atas
segalanya, semoga “
Naik Kelas” berarti
bahwa makna—yang selama ini tersembunyi—akhirnya kita temukan, hayati, dan
dihidupkan
bersama.

Mari
Naik Kelas!

 ____

*) Perantau yang
selalu rindu dengan kota asalnya, Situbondo. Sesekali menekuni kajian filsafat
dan sastra di Komunitas Al Mutafakkirun.

Editor: Hans.

Penulis

  • Ahmad Zainul Khofi

    Lahir di Situbondo, sedang belajar di Paiton. Dari membaca dan menulis, jadi suka jalan-jalan serius.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prosa Mini

Cerita: Ikan Asap

Ahmad Maghroby Rahman Apacapa

Sebuah Refleksi Pengalaman: Pagi Bening dan Engko’ Reng Madhurâ

Apacapa fulitik kenalmasrio

Tebarkan Politik Baik, Mas Rio Traktir Ratusan Emak-Emak Makan Bakso

Apacapa Indra Nasution

Pengaduan Orang-Orang Pinggiran

Buku M Ivan Aulia Rokhman Ulas

Perjalanan Tiga Pendaki untuk Memaknai Kehidupan

Buku M Ivan Aulia Rokhman Ulas

Ulas Buku – Memaknai Segitiga Cinta

Apresiasi Musikalisasi Puisi

Musikalisasi Puisi – Apa Kabar?

Puisi

Puisi-puisi Faris Al Faisal: Merah Putih

Apacapa matrais

Jangan Gagal Paham Soal Kecamatan Baluran

Buku Resensi Thomas Utomo Ulas

Resensi: Menyemai Empati kepada Kaum Papa

apokpak Esai N. Fata

Apa Kabar Situbondo?

Madura Raden Ajeng Afifah Maharani Totor

Manisan Cupcup: Manis Rassana Ate

Apacapa Setiya Eka Puspitasari

Potret Kemiskinan Di Balik Gemerlap Ibu kota

Apacapa Esai kim

Operasi Carthago: Mengenal Sejarah Pertempuran di Asembagus

Apacapa

Mara Marda Institute Gandeng Bank Indonesia Gelar Pelatihan Inkubator Industri Kreatif

Uncategorized

Ulas Buku: Cegah Stunting Sedini Mungkin

Baiq Cynthia Cerpen

Kau dan Kehilangan

Advertorial

Aturan Pemasangan Panel Surya

Banang Merah Cerpen

Prosa Mini : Monolog Seorang Kekasih Karya Banang Merah

Apacapa Fadhel Fikri

Gus Miftah dan Dakwah yang Merendahkan: Sebuah Kritik dari Perspektif Teologi Antroposentris