Belajar dari Semesta; Kematian Bangsa Koloni

Hari ini benar-benar sial, aku hampir mati, kemarin adikku mati. Lalu, sejam setelahnya kekasihku juga mati. Entah siapa lagi yang akan mati berikutnya?
Oleh : Yudhianto Mazdean
Sepertinya Tuhan sedang berpihak padaku, ini kedua kali selamat dari kematian. Beruntung sempat meraih sendok dalam gelas panas itu, segera mungkin aku membebaskan diri. Hupp! Lompat, dan selamat.
Kematian seperti begitu akrab bagi kami, bencana terbesar ketika kami sedang menemukan makanan lezat di kuali itu, kemudian seluruh tubuhku panas, ternyata sajian sedang di panggang kembali oleh emak-emak. Sahabatku tewas di sana, di dalam semur jengkol.
Jumlah spesiesku banyak, sekitar 12.000. Sungguh! Eksistensi diri benar-benar terpatri dalam benak jiwa kami. Kami ingin hidup, tidak selamanya, tidak! Cukup 60 hari saja. Itu pun berat jika bukan campur tangan Tuhan.
Aku lebih suka menyebut Tuhan adalah Allah SWT. Entahlah, meski banyak versi Tuhan di muka bumi ini. Allah SWT mengaruniai kami otak yang cukup besar, itu sebabnya kadang antara tubuh dan kepalaku nyaris sama besar. Ya itu tadi, untuk sel otak yang jumlahnya tak kurang dari 25.000, agar kami berpikir keras untuk tetap hidup. Bisa dibayangkan, untuk ukuran tubuh yang mungil ini kami harus bertahan dari; terpaan angin, genangan banjir. Pun dari tangan-tangan manusia yang menggerus kami bersama seduhan teh hangat atau roti-roti yang mereka makan. Mereka lupa, ada kehidupan yang harus dijaga. Begitulah cara kami mencari makan, berdarah-darah. Sakit!
Meski tak lebih dari 1 cm, aku bisa mengangkat  50 kali beban berat dari tubuhku sendiri. Aku pernah ketangkap basah, difoto sama Mas Frenki Jung, ketika aku dan kawan-kawan mengangkat seekor ulat yang cukup besar. Sontak, beberapa hari kemudian bak artis papan atas, nama kami disebut-sebut dan di lansir dalam Daily Mail. Itu ajaib menurut manusia, padahal bagi kami itu biasa saja.
Kami adalah serangga paling tahu diri. Tahu tugas dan peran kami masing-masing, sebagai Pekerja, juga tentara pelindung istana. Pejantan dan pemimpin kami adalah Ratu, pengatur roda pemerintahan kerajaan. Kami tidak bernafsu seperti manusia yang tak tahu diri itu. Kadang nekat jadi pemimpin, padahal basic kepemimpinan saja tidak punya, paling cuma googling di internet. Terus berkoar-koar saat kampanye. Haha … lucu sekali mereka.
Kehidupan yang harmonis, selalu kami ciptakan. Bergotong royong jika tak mampu mengangkat makanan sendiri, misal kami mendapat roti yang tak mampu kami bawa. Teman-teman saling membantu meringankan beban, di istana kami berpesta berhari-hari.
Jangan salah, meski kadang kami mati di tangan para manusia yang tak berbelas kasih. Kami ahli dalam strategi perang. Jika musuh datang kami mampu berhari-hari bertahan diri. Menang adalah tujuan, tapi mati syahid jauh lebih mulia dibanding mati dalam keadaan hina. Bisa dibayangkan jika kami jadi penghianat kerajaan? Maka berbulan-bulan jadi pesakitan bagi musuh, jadi budak dan di-bully setiap saat. Ah! Mengenaskan sekali.
Usia rata-rata kami hanya sekitar 45-60 hari saja, kami bisa mati setiap saat; terpeleset, terbakar, dan terbawa arus hujan, maka tiada yang bisa menolong kami. Terlalu kecil untuk bisa menyangkut di dahan atau akar, sementara tangan kami tak cukup kuat menahan derasnya air. Tapi, Sang Ratu bisa bertahan 20 tahun. Ini luar biasa sekali, bukan?
Kami saling sapa, memadukan sungut jika jumpa teman-teman yang kebetulan satu jalan, saling mengucap salam, atau sekedar bertanya, “Dapat makanan apa untuk istana, kawan?” lalu kami berpisah sambil mengucapkan semoga kamu bahagia. Kadang heran juga sama manusia, sanggup membuang muka jika bertemu saudara seiman. Oh My God, ini pemikiran yang sangat gokil sekali.
Satu lagi kalian harus tahu, ini penting. Kami diabadikan dalam sebuah judul surat dalam Alquran, apalagi kalau bukan An-naml. Perkaranya simpel, ketika jaman dulu para pendahulu kami menginstruksikan kepada teman-teman satu koloni untuk masuk ke sarang. Sebab Nabi Sulaiman dan bala tentaranya melintas di sebuah jalan, kami takut tergilas, mati. Padahal mereka tentara Sulaiman tidak menyadari keberadaan kami.
Siapa yang mau disalahkan? Tidak ada, itu salah kami sendiri, jika pun kemudian kami dipersidangkan di pengadilan, hakim takkan membela bangsa kecil seperti kami, tentu Sulaiman sang Raja kehidupanlah yang menang.
Tapi, Allah SWT Maha Baik, cuma urusan sepele seperti itu saja kemudian kami jadi trending topik, setiap hari mereka baca surat kami, atau paling minimal setahun sekali saat Ramadhan. Keistimewaan tak terbantahkan, kata pendahulu kami memerintah dalam surat semut.
“Masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar tidak diinjak Sulaiman dan bala tentaranya sedang mereka tidak menyadari (An-naml: 18).
MasyaAllah!
____

Yudhianto Mazdea, pengeja kehidupan dan pecinta literasi ini menetap di pulau Natuna.
digimanie.cz

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Buku Monique Clariza Resensi Ulas

Resensi: Jejak Kelahiran Manusia Lewat Adaptasi Grafis

Apacapa Novi Dina

AMDAL dalam Sebuah Percakapan

Apacapa N. Fata Nurul Fatta Sentilan Fatta

Yang Muda Juga Bisa Berkuasa, Tapi Harus Merdeka Dulu

Uncategorized

Ulas Buku: Cegah Stunting Sedini Mungkin

Ahmad Sufiatur Rahman Cerpen

Cerpen : Ketika Tubuh Bicara

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Selamat, Mas Rio dan Mbak Ulfi

Apacapa Baiq Cynthia

Kepingan Kenangan di Kota Santri Situbondo

Advertorial

Tips Memilih Celana Boxer Agar Nyaman Digunakan

Buku M Ivan Aulia Rokhman Ulas

Ulas Buku – Heterogenitas Rasa dan Memandukan Cerita Romance

Apacapa Esai Jamilatul Hasanah

Gemalaguna: Menjaga Alam, Menjaga Manusia

Cerpen Puji M. Arfi

Cerpen: Perjalanan Panjang Mencari Sebuah Angka

Atika Rohmawati Puisi

Puisi: Percaya

Apacapa Iip Supriatna

Tantangan Kaum Buruh di Era Moderenisasi

Fikri Mored Moret

Cerbung: Fikri dan Kisah-Kasih di Sekolah (Part 4)

Aris Setiyanto Puisi

Puisi: Pendaki

Apacapa Esai Khossinah

Dari Secagkir Kopi ke Minuman Instan

Muhammad Lutfi 2 Puisi Puisi Anak

Puisi Anak Karya Muhammad Lutfi

Apacapa Denny Ardiansyah

Menjelajah Selawat Nariyah di Situbondo

Mohammad Cholis Puisi

Puisi: Catatan Malam

Apacapa Mohammad Farhan

Lebaran dan Dua Kepergian