Burdah Keliling Tengah Laut

Malam itu angin sepoi-sepoi berembus bak pelopor, mengiringi setiap gerak langkah kaki menuju perahu-perahu yang siap berlayar. Bukan ingin mencari ikan. Akan tetapi, untuk membaca sebuah syair karya Imam Al-Bushiri, dengan mengelilingi sebagian laut di pesisir Situbondo.

Sabtu, 9 Agustus 2025, tepat pukul 19.00 WIB. Waktu seremonial sedang dimulai. Seketika saya mengingat sebuah ungkapan dari salah seorang di tengah banyaknya orang berlalu-lalang, “Sejarah baru. Dari dulu pemerintah Situbondo belum pernah mengadakan acara seperti ini,” ucap lelaki tua, yang berbincang bersama temannya.

Dalam rangka hari jadi Kabupaten Situbondo. Sebuah panggung tampak sederhana, namun elok dipandang sepasang mata. Acara ini bertajuk “Burdah Keliling Tengah Laut” bersama tokoh ulama muda K.H.R. Ahmad Azaim Ibrahimy dengan istri tercinta Nyai Hj. Nur Sari As’adiyah dan sebagian keluarganya. Hadir juga Bupati kita Mas Rio, Mbak Una (Bunda Baca) Mbak Ulfi (Wakil Bupati).

Acara di malam itu sungguh memberikan antusias masyarakat Situbondo. Dari Banyuglugur sampai Banyuputih. Anak kecil hingga orang dewasa. Bahkan beberapa turis asing pun turut serta. Mereka semua hadir–meramaikan–demi lancarnya acara yang diselenggarakan, demi kecintaannya terhadap Kabupaten Situbondo.

Di tengah-tengah berlangsungnya acara, saya dan semuanya pasti mendengar, mesin dari perahu kecil maupun besar dibunyikan. Pertanda perahu siap berlayar, hendak mengelilingi laut di pesisir Desa Mimbo.

Namun sebelum itu, semuanya mengikuti dan menyimak dengan seksama, dalam dawuh Sang Kiai menyampaikan tausiyah-nya.

“Membaca kasidah burdah pada momentum HUT Kemerdekaan RI yang ke 80 beserta HARJAKASI. Semoga Kabupaten yang kita cintai ini senantiasa mendapatkan nadroh; pandangan ruhani dari baginda Rasulullah saw. dan mendatangkan rahmat kasih sayang Allah Swt. sehingga menjadi negeri yang terawat secara dhahir dan batin, spiritual dan material. Sehingga terbangun jiwa dan raganya menjadi baldatun thayyibatun wa robbun ghafur. Pembacaan kasidah ini sudah dilakukan di beberapa desa atau tempat, di pondok-pondok pesantren, yang dikenal burdah keliling (burling), karena mengitari suatu lokasi untuk pembentengan ruhani. Maka berangkat dari kearifan lokal inilah kami menginisiasi tradisi baik yang kemudian dikenalkan lebih luas lagi. Terima kasih Bapak Bupati telah mengawalnya. Sehingga malam ini, acara bisa diselenggarakan. Jazakumullahu ahsanal jaza.”

Dan tibalah saatnya perahu kecil pertama mendarat guna menjemput Sang Kiai dan istrinya, Mas Rio dan Mbak Una, Mbak Ulfi bersama pendampingnya dan beberapa orang lain yang turut mendampingi beliau-beliau. Setelah itu perahu kecil berlayar ke tengah, di dekat perahu besar, Sang Kiai beserta rombongannya dipindah ke perahu yang lebih besar, demikian pula rombongan perahu yang lain. Barulah pembacaan kasidah burdah dilakukan secara bersama dengan diiringi hadrah, di tengah debur ombak samudera.

Saya yang satu rombongan dengan turis-turis asing, sempat terlintas dalam benak; “Bahasa asing tak hanya digunakan di luar negeri, tapi di dalam negeri seperti malam ini contohnya”. Sedikit penyesalan kian tumbuh kembali, karena saya kurang mampu berbahasa asing. Ingin menyapa si turis yang duduk di sisi depan perahu. Saya malah tertunduk, antara pusing karena baru pertama kali naik perahu dan malu-malu karena tahu bahasa asing cuma sebatas ‘what is your name atau my name is’.

Kurang lebih tiga kali putaran, perahu berlayar, sembari menggemakan Qasidah Shalawat Burdah yang diawali dengan syair; mawlāya shalli wa sallim dā’iman abadān,’ala habībika khayril khalqi kullihimī, yang memiliki makna “Ya Tuhanku, limpahkanlah selalu rahmat dan keselamatan atas kekasih-Mu, Nabi Muhammad, selamanya”.

Di perahu yang saya naiki bersama turis-turis dan teman-teman semuanya, akhirnya ikut larut dalam tradisi baik, tidak henti-henti memuji keagungan kekasih-Nya. Nabi Muhammad saw.

Sabtu (Malam Ahad) itu benar-benar tercatat sebagai sejarah baru. Dalam bentuk dokumentasi foto, rekaman video dikumpulkan menjadi sebuah kenangan. Dan ingatan terhadap sejarah itu akan abadi ketika berbentuk tulisan. Selamanya.

Ghais Alqorni

Perante, 11 Agustus 2025

Penulis

  • Ghaiz Alqorni

    Ghais Alqorni, seorang penulis muda yang penuh semangat dan kreativitas, sejak kecil hingga tumbuh dewasa senantiasa dalam didikan serta pengawasan guru dan orang tua.


Comments

Satu tanggapan untuk “Burdah Keliling Tengah Laut”

  1. Avatar bangucuup
    bangucuup

    Kalau ” i love you ” , artinya apa ya Ghois ?

Tinggalkan Balasan ke bangucuup Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa Nafisah Misgiarti

Ali Gardy, Jefri Bagus, dan Kritik Sosial dalam Karyanya

Puisi Uwan Urwan

Bersama Pariopo

Moh. Jamalul Muttaqin Mored Moret

Cerpen Mored: Perempuan Pelangi

Apacapa Esai Latif Pungkasniar

Plakat, Kongko, dan Sekawanan Penulis

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Igauan yang Mungkin Puisi atau Semacam Puisi

Puisi Saiful Arif Solichin

Puisi: Jalan Pulang

Apacapa Harjakasi Wahyu Aves

HARJAKASI: Hari Jadi Kabupaten Situbondo

Apacapa Imam Sofyan

Aku, Polisi dan Buku

Mored Rini Yulianti

Cerpen Mored: Sang Keramat Batu Pandhusa

Buku Indra Nasution Ulas

Tiga Sosok Perempuan Nabi

Cerpen

Cerpen : Dua Anak Kecil yang Menyeberang

hafid yusik Politik

Pak Karna Tidak Salah, Kita Saja yang Terlalu Nyinyir

Apacapa Madura Syaif Zhibond

Randhâ Ngalesser

Choirun Nisa Ulfa Prosa Mini

Prosa Mini – Irama Kematian

Ahmad Sufiatur Rahman Apresiasi

Puisi Relief Alun-Alun Situbondo

Fahris A. W. Puisi

Puisi – Lagu Masa lalu

Apacapa apokpak N. Fata

Memperkuat Kemanusiaan Generasi Digital

Ahmad Zaidi Cerpen

Cerpen: Peristiwa Menjelang Pemilu Karya Ahmad Zaidi

Achmad Faizal Buku Resensi Ulas

Resensi Ada Apa dengan China?

Puisi Rizal Fathurrohman

Puisi : Hujan yang Merenung dan Puisi Lainnya Karya Rizal Fathurrohman