Cerpen: Janda

1
Pada sebuah dini hari yang kelam di malam Jumat, seorang
perempuan menangis tersedan, sebab ketika ia terbangun hendak membuang hajat,
dan karena takut berjalan sendirian, lalu ia mengguncang-guncang tubuh suaminya
hendak minta diantar. Namun, yang dibangunkan tak bangun-bangun, dan ternyata
suaminya itu telah tak bernapas, nyawanya telah pergi meninggalkan badannya,
dan perempuan itu menjadi janda.
2
Orang-orang mulai
berceloteh membicarakan kematian suami perempuan itu. Ada yang bilang; bahwa
kematian suami perempuan itu over dosis
karena obat kuat untuk menambah stamina
keperkasaan seorang pria. Ada pula yang bilang; behwa kematian suami perempuan
itu disebabkan oleh orgasme berlebih ketika bercinta dengan istrinya. Ada pula
yang berkata; bahwa suami perempuan itu meninggal karena menenggak racun
serangga, sebab ia tak kuat menafkahi istrinya dan dua anaknya itu. Ada juga
yang nyeleneh mengatakan; bahwa kematian suami perempuan itu karena dibunuh
oleh kakaknya sendiri yang secara diam-diam menyukai istri adik kandungnya itu.
Namun, para penggemar ilmu gaib mengatakan bahwa suami perempuan itu meninggal
karena tersambet jin, setan, genderewo atau sejenisnya, atau mati karena
diguna-guna semacam santet atau tenung. Memang kemataian suami perempuan itu
sangat mendadak dan misterius sehingga wajar bila mengundang banyak rumor dan
praduga yang tak
pasti
kebenarannya.
3
Para lelaki baik yang
perjaka, para duda, hingga yang telah mempunyai anak bini, mereka asyik
membicarakan sang janda di warung-warung kopi, di pangkalan-pangkalan ojeg, di
pos-pos ronda, di rapat-rapat RT/RW, bahkan di mesjid-mesjid sebelum shalat
Jumat dimulai, tak jarang dari mereka bicara tak pantas berbau syahwat berahi.
Namun, kebanyakan dari mereka menjadikan sang janda sebagai bahan gurauan,
seolah meraka saling berebut hendak memperistrinya.
4
Semenjak perempuan
itu menjadi janda
,
para istri takut
kehilangan suaminya, para perawan takut kehilangan pacar atau gebetannya, para
janda
lain khawatir jika
tak
ada lagi lelaki yang akan tertarik
pada status kejandaanya, dan para mertua takut menantunya kepincut oleh sang
janda kembang.
5
“Oh betapa risihnya
aku menjadi janda. Barangkali kejadiannya tak akan seperti ini, bila aku
menuruti perkataan adikku kala itu, yang menyuruhku melangkahi mayat almarhum
sumiku, sebab menurut kepercayaan setempat, suami yang mati di atas ranjang
setelah bercinta, ia akan hidup kembali bila sang istri melangkahi mayatnya.
Namun, aku tak bisa disalahkan juga, sebab istri mana yang rela melangkahi
mayat suaminya? Dan karennya aku marah pada adikku yang menurutku lancang dan
kurang ajar itu, aku balik memakinya
: dasar kau perawan tua, bicara seenak
jidatmu saja, kau kan tak pernah bersuami, karenanya kau tak akan mengerti
betapa pedihnya ditinggal mati oleh suami yang dicintai
! Namun setelah kupikir-pikir barangkali
nasihatmu itu benar, adikku. Suamiku maafkan aku, sebab aku pernah
menyelingkuhimu dengan kakakmu sendiri. Tapi aku bersumpah tak pernah berzina
dengannya, aku tidak seperti yang engkau sangka pada waktu itu. Memang kuakui
sebagai perempuan normal aku mendamba keperkasaan, dan aku tak pernah mendapat
kepuasaan ragawi ketika bercinta denganmu, sumiku. Namun, sekali lagi aku
bukanlah perempuan pezina seperti yang melekat pada sangkamu itu
!
Demikian rintih hati sang janda muda
beranak dua, dan sebentar lagi beranak tiga, sambil mengelus perutnya yang
mulai nampak membuncit karena hamil, dan janin yang kini dikandungnya barang
tentu anak biologis dari almarhum suaminya yang memang sempat berhubungan intim
sebelum ajal menjemputnya.
Hati sang janda
selalu berdebar-debar bila ia bepergian, sebab semua mata lelaki tertuju
padanya. Kini ia menjadi pusat perhatian, karenanya ia merasa risih sekaligus
mendamba, merasa diri menjadi artis yang dipuja dan ditonton banyak orang.
6
Kini anak ketiga yang
dikandung sang janda meronta hendak keluar dari rahimnya
. Bidan serta dukun beranak segera
didatangkan, akhirnya bayi laki-laki merah pun dilahirkan dengan lancar serta
selamat.
Dari hari ke hari
bayi sang janda tumbuh dengan pesat. Namun, pada suatu sore, sang janda agak
terkesiap
.
Sebab setelah
diperhatikan secara seksama, anak ketiganya itu tak mirip dengan almarhum
suminya, melainkan mirip dengan kakak almarhum suaminya itu. Kini sang janda
mulai bingung dan ragu, dalam hatinya bertanya-tanya, apakah anak itu anak dari
almarhum sumainya atau anak dari mantan kakak iparnya
. Sungguh ia tak bisa mengingat. (*)

Yogyakarta, 5 Agustus
2015-2020

Agus
Hiplunudin
, adalah penulis yang terkadang bingung dengan tulisannya
sendiri
.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Buday AD Puisi Sastra Minggu

Puisi: Melepas Air Mata

Apacapa fulitik Muhammad Bayan

Mas Rio Bukan Caleg: Paket Komplit untuk Situbondo Masa Depan

Apacapa

Kayumas Bersastra: Menjadi Tua yang Menyenangkan

Apacapa

Kumpul Komunitas: Merdeka Belajar dan Belajar Merdeka

Apacapa Literasi

Bahagia Literasi : Teruslah Mencari

Puisi Riski Bintang Venus

Puisi – Penantian yang tak Berujung

Apacapa Erha Pamungkas Haryo Pamungkas

Yang Menghantui Perbukuan Kita

Buku Indra Nasution Ulas

Ulas Buku – Jurnalisme dan Politik di Indonesia, Biografi Mochtar Lubis

Febrie G. Setiaputra Resensi

Resensi: Sunyi di Dada Sumirah

Puisi

Tragedi Perokok dan Puisi Lainnya

Cerpen Gusti Trisno

Cerpen : Generasi Tik Tok Karya Gusti Trisno

Apacapa Nanik Puji Astutik

Menjadi Perempuan Cerdas di Era Milenial

Fahris A. W. Puisi

Puisi – Lagu Masa lalu

Apacapa Esai Rahman Kamal

Memaknai Batik Ala Jomlo

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Karya Rupa Generasi Mawas Diri

Apacapa covid 19 Mirrabell Frederica Hadiwijono Vaksin

Story Telling: Masih Takut Vaksin ?

Apacapa

Membentuk Ruang Penyadaran Melalui Lingkar Belajar Feminisme Situbondo

Cerpen Nasrul M. Rizal

Cerpen : Perihal Tabah Karya Nasrul M. Rizal

Puisi Rion Albukhari

Puisi: Sonet Api

Apacapa Kampung Langai Situbondo

Abâli Polè Ka Kampung Langai