Ulas Buku: Mengabdi Adalah Seni Menjelajahi Diri


Judul
Buku
  : Garis Pantai (Sepenggal Kisah Pengajar di
Pesisir Madura)
Penulis
: Triayu Rahmadiah
Penerbit
: Guepedia
Publisher
ISBN
: 978-623-229-113-3
Tahun
Terbit : 2019
Peresensi
Ana Khasanah

Embusan
angin menerpa wajahku, ombak dan anak-anak menari riang sedang beberapa nelayan
mulai beranjak pulang
dengan membawa
hasil tangkapan sementara beberapa
nelayan lainnya baru handak pergi berlayar. Dan tak
terasa aku hampir selesai membaca tulisan dalam buku ini. Kurang lebih begitu,
saat
kita membaca
bukunya
penulis seolah mengajak kita menuju
bibir pantai
dengan
gaya tulisan
nya
yang amat puitis
.
Diawali
bujuk rayu dengan orang tua, penulis memutuskan untuk menjadi seorang pengajar
sekolah
lapang nelayan
atau
penulis menyebutnya dengan
istilah
narasumber
teknis kelautan perikanan. Orang tua mana yang tidak cemas jika anak
perempuannya meninggalkan impian melanjutkan studi dan rutinitas sebagai
pegawai magang di salah satu kampus di kampung halamannya justru lebih memilih
melanglangbuana ke tempat yang belum diketahuinya. Namun
, dimanapun akan ditempatkan penulis sudah bertekad ingin membawa
serta dirinya melaksanakan pekerjaan rumah yang masih tak kunjung lunas,
membawa
visi yang
tak mudah yakni,โ€โ€ฆ Mencerdaskan kehidupan bangsaโ€ฆโ€
Dengan izin kedua orangtua penulis akhirnya berangkat dan
dari beberapa wilayah capaian, penulis ditempatkan di daerah Sumenep tepatnya
di Dungkek, salah satu kecamatan di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.
Untuk pertama kalinya dengan mata sendu ia berangkat dari Sumatera menuju pulau
Jawa untuk waktu yang tidak sebentar, yakni sepuluh bulan tetapi inilah yang
disebut dengan menjelajahi tanah air. Dungkek memiliki pelabuhan nelayan dan
sebagai penghubung dengan pulau-pulau lainnya. Sekedar info Dungkek berasal
dari kata dong kek (tongke: tempat masuknya para pendatang dari
Tiongkok). Tak hayal banyak penduduk yang berdarah Tiongkok (Hal.23).
Membawa visi yang tak mudah sebab pendidikan
merupakan problema lama di tanah air, terlampau banyak anak-anak yang tak dapat
merasakan duduk di bangku sekolah, itulah salah satu alasan mengapa para
narasumber teknis sampai di daerah Dungkek. Pendidikan bak di pasar, siapa yang
memiliki uang ia yang bisa
membeli maka di sini adalah sekolah, kemudian
sekolah sendiri semakin lama ternyata semakin mengerikan, mereka hanya
menyeleksi anak-anak yang masuk kategori pintar saja. Maka orang tua yang masuk
kategori miskin dan bodoh semakin lama semakin tak punya akses menuju ke sana,
alhasil akan melahirkan anak-anak yang miskin dan bodoh juga.
Belum
masalah lainnya sebut saja seperti yang tejadi di Dungkek. Menjadi seorang
pengajar sekolah maupun pesantren di Dungkek belum mendapatkan gaji atau upah.
Beberapa wali murid yang menjadi petani membawa beras untuk membayar, ada juga
yang memberi pakaian layak untuk dijadikan seragam guru, dan guru tidak pernah
menuntut apapun sebab sudah jelas tidak sampai hati untuk meminta. Maka tak
heran jika di tengah zaman industri dengan berbagai macam teknologi yang canggih
seperti sekarang ini buta aksara masih saja tinggi.
Maka tidak heran lagi jika banyak di
tempat lain pun merasakan
seperti guru dengan gaji kecil, guru yang tak mau di
tempatkan di daerah yang terbilang pelosok, sekolah dengan fasilitas yang tidak
memadai sampai beberapa kekerasan yang dilakukan di sekolah. Maklum, sebab
pendidikan di negri kita memang belum menjadi prioritas. Begitu juga yang
terjadi di Dungkek, pendidikan belum menjadi prioritas orang tua. Anak-anak
pesisir kebanyakan kurang perhatian dari orangtuanya. Mungkin lain pesisir lain
pula ombaknya. Ayahnya pagi-pagi sekali sudah melaut, ibunya pun begitu,
sekadar menyiapkan sarapan dan langsung bekerja di tempat pengolahan kerupuk
ikan. Semua ini dilakukan demi lembaran rupiah sebagai bekal penyambung hidup
dan sekolah sang buah hati (Hal.43).
Indonesia merupakan negara bahari maka seyogyanya kita
harus mampu memperkuat pondasi dalam sektor perbaikan dan pengembangan mutu
Sumber Daya Manusia (SDM) di daerah pesisir. Permasalahan di daerah pesisir
sejak lama belum berubah yakni tentang tingkat pendidikan yang rendah, pernikahan usia dini yang
tinggi, belum maksimalnya sarana dan prasarana sekolah dan tak ayal lagi
tingkat perekonomian masyarakat pesisir cenderung lebih rendah.
Dengan
adanya program narasumber teknis masyarakat pesisir cukup terbantu terlebih
latar belakang penulis dan tim yang sudah lama bergelut di bidang budidaya
perikananan. Mulai dari membantu pembelajaran di beberapa Pusat Kegiatan
Belajar Masyarakat (PKBM), membantu pembelajaran di PAUD, memberikan les kepada
beberapa anak PAUD dan Sekolah Dasar (SD) pun dikerjakannya. Dan tentunya
membantu kegiatan pembelajaran keterampilan di bidang budidaya dan pengolahan.
Kelompok ibu-ibu akan difokuskan pada bidang pengolahan sedangkan kelompok
bapak-bapak difokuskan pada bidang budidaya (Hal. 69
).
Mengabdi adalah seni menjelajahi diri, menjadi seorang
narasumber teknis tak hanya berbagi ilmu tentu juga mendapatkan ilmu dan banyak
pengalaman yang diberikan oleh masyarakat. Merekalah yang sebenarnya guru.
Belajar pada masyarakat bagaimana menjalani hidup yang rukun dan harmonis antar
tetangga, saling tolong menolong, terlebih di Dungkek yang hidup dengan
kesederhanaan bahkan beberapa rumah tangga dapat dibilang berkekurangan.
Tetapi
mereka selalu bersemangat serta ikhlas untuk mengentaskan buta aksara
masyarakat Dungkek dan budaya pernikahan dini melalui pendidikan.
Buku
ini sangat membantu anak muda yang akan terjun ke masyarakat, tidak gelisah
dimanapun tempat mereka akan mengabdi. Dan semoga program narasumber teknis
kelautan perikanan di bawah naungan BPSDM-KP Kementerian Kelautan Perikanan
Republik Indonesia akan terus berlanjut. Barangkali jika kegiatan budidaya dan
pengolahan diceritakan sedikit lebih banyak lagi tentu akan lebih menarik lagi.
Mari terus menjelajahi negeri dan menjelajahi diri.
BIODATA
PENULIS
Ana
Khasanah,
gemar menulis
cerpen dan puisi. Saat ini tinggal di Kebumen, Jawa Tengah. Dapat ditemui di
akun @_anakhasanah
dan
khasanah.anaa@gmail.com
.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Advertorial Tips/Trik

Jaga Kesehatan Tubuh dengan Mencegah Penyakit Sistem Pencernaan

Cerpen Toni Kahar

Cerpen: Sebelum Membayar Dendam

Cerpen Haryo Pamungkas

Kota yang Bernama Kata

Achmad Al-Farizi Apacapa Esai

Lagu Aisyah Istri Rasulullah: Sisi Romantis Keluarga Muhammad

Agus Hiplunudin Buku Ulas

Filsafat Eksistensialisme Karya Agus Hiplunudin

Putri Oktaviani Resensi

Resensi: Buku Holy Mother

Alifa Faradis Cerpen

Cerpen: Kirana

Buku Feminis Mochamad Nasrullah Ulas

Resensi: Kesegaran (Perjuangan) Wanita dalam Menanam Gamang

Mored Moret Sirli Qurrota Aini

Cerpen Mored: Selembar Kerudung dan Senandung Cadar dalam Mata Lelaki Cina

Apacapa Arif Noerfaizal

Refleksi 73 Tahun Indonesia Merdeka

Agus Hiplunudin Cerpen

Cerpen: Perempuan Capung Merah Marun

Apacapa Fendi Febri Purnama

Kolong Situbondo: Ada yang Beda pada Diksi Bahasa Madura di Situbondo #1

Buku Ratna Hamidah Resensi Ulas

Resensi: Midnight Diaries

Apacapa Mei Artanto

Komunitas Biola Situbondo: Sebuah Capaian dan Tantangan

Achmad Muzakki Hasan Buku Kiri Soe Hok Gie Ulas

Tentang Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan

Moh. Yusran Moret

Puisi Mored: Madu Empedu dan Puisi Lainnya

Apacapa Esai

Merawat Spiritualitas, Menghidupkan Politik Kebudayaan: Catatan Seorang Anak Muda untuk Mas Rio

Ali Ibnu Anwar Puisi

Puisi: Tubuh yang Mengandung Hujan

Buku Cahyo Saputro Resensi Ulas

Resensi: Lelaki, Cinta, dan Masa Lalu

Buku Fatoni Prabowo Habibi Ulas

Review Buku Reinventing : Merawat Energi, Menatap Masa Depan