Cerpen: Pasang

Riuh laut selalu membawaku mengingat memori lama. Hari-hari ketika aku selalu menunggu Ayah di tepian dermaga. Mengharap belas kasih Tuhan sembari menunggu keajaiban agar Ayah pulang sesederhana beralasan rindu pada anak yang telah ditinggalkannya bertualang.

Aku hidup berhalaman hamparan biru lautan. Jangan tanya lagi seberapa aku mengenali indah dan ganasnya lautan. Pemandangan tatkala pasang datang adalah perahu nelayan mulai berlayar dengan setumpuk harapan yang melaju menantang takdir Tuhan. Ketika air surut, tanah pantai menjadi kosong hanya berhias jejak telapak kaki para nelayan yang tak tau kemana arahnya, tak karuan.

Sejak kecil aku terbiasa memandang ombak yang terpecah di lautan, berteman bau amis ikan di atas perahu-perahu yang terikat di dermaga, bergoyang terbawa syahdu embusan angin lautan. Tapi bagiku laut bukan sekadar hamparan karena dalam setiap riak, cerita yang kudengar adalah keberanian, pengorbanan, kehilangan, dan janji yang tak kunjung ditepati.

Di kejauhan, cahaya lampu perahu nelayan berkedip bak bintang yang berlabuh di permukaan air. Memang kebiasaanku, duduk termenung di bibir pantai sambil membayangkan duduk bersama Ayah seperti dahulu, teringat saat aku bermain dayung dengan menggores-goreskannya pada apa saja yang terlihat di depan mata, dan Ayah dengan suara berat dan wajahnya yang silau terbakar panasnya matahari berkata “Jangan takut pada laut, kamu harus berani, Nak” saat itu aku hanya mengangguk, tak terlalu paham apa maksud perkataan Ayah hanya sebagai anak kecil yang sedang sibuk bermain dan tidak ingin diganggu saja, sekelebat ingatan itu selalu menyapaku.

Tapi kemudian memori itu akan disapu habis oleh hal luar biasa yang sungguh sangat membekas dalam ingatan. Ketika pasang bukan lagi menjadi harapan para nelayan, namun justru merenggutnya, merenggut harapan beserta para pengharapnya. Kejadian ketika air naik dengan buas, ombak menghantam dermaga, orang-orang berlarian tak tentu arah, lampu padam tak bernyawa, dan teriakan bercampur suara ombak meraung di udara.

Lalu sunyi.

Sunyi yang panjang.

Masih terngiang rasanya.

Aku tak lagi dapat menemukan Ayah, aku tak dapat mendengar lagi nasehatnya, sejak saat itu, laut terasa seperti pengingat luka. Kini, bertahun-tahun kemudian aku masih duduk di pinggir pantai, di tepian dermaga, di atas perahu, dan dimana tempat yang aku menemukan Ayah di dalamnya. Aku tetap dengan rutinitasku, melihat anak kecil bermain berlarian kesana-kemari di pinggir pantai, para nelayan menyiapkan perahu dan jala untuk berlayar, atau orang-orang yang sepertinya hendak bepergian entah kemana. Entahlah, mungkin mereka mengiraku anak yang bermain di tepian dermaga, nelayan yang hendak pergi menjala atau malah mengiraku orang yang hendak bepergian juga. Padahal aku tak punya kehendak apa-apa, kecuali ingin melepas rindu yang kian membuncah.

Merenung di tepian laut seringkali membuatku membayangkan banyak hal, andai saja laut bisa berbicara apakah ia akan menyampaikan kabar dari Ayah nun jauh disana atau andai perahu ini tahu keberadaan Ayah dan bisa mengantarkanku kesana, atau setidaknya angin yang membawakan bayangan wajah yang nyaris hilang ditelan ombak.

Malam itu, di tepian dermaga aku melihat dayung tua, ujungnya patah dan kayunya telah lapuk dimakan air garam. Kukira mungkin orang mengira sampah yang hanyut terbawa arus. Tapi bagiku, benda ini selalu membawa kembali ingatan tentang Ayah. Laut yang dulu merenggut, kini seolah mengembalikan. Apakah ini adalah pesan semesta bahwa Ayahku tidak pernah benar-benar hilang, ia hanya menjadi bagian dari laut yang menyatu dalam riak dan gelombang.

Aku memeluk dayung itu erat, seperti memeluk seseorang yang sudah lama tidak kujumpa. Seakan memeluk tubuh yang lama hilang dan  kini kembali dengan wujud yang lain. Tapi kemudian rasa takut menyelimutiku. Takut apakah laut sedang mengembalikan yang sudah ia renggut? Atau sekadar ingin mengolok-olok rinduku saja?.

Aku masih berdiri di tepian dermaga, menatap ombak dan cahaya bulan yang memantul di permukaan air seperti jalur panjang yang sedang memanggilku. “Apakah kau ingin aku menyusulmu Ayah?” aku bergumam, lalu gemuruh ombak menyahut, sedang menertawakan keberanianku sepertinya. Dayung masih kugenggam erat, ada sengatan dalam dada yang membuatku ingin berlayar menantang ombak. Aku bisa saja melepas tali perahu yang rehat di pinggir dermaga lalu pergi membiarkan pasang membawa tubuhku ke lautan. Mungkinkah aku dapat berjumpa dengannya? Atau aku justru ditelan hilang, seperti dirinya.

Dayung itu kuangkat tinggi bak obor yang menyalakan malam. Aku mulai mencerna apa yang sebenarnya ingin Ayah sampaikan tentang keberanian saat itu. Aku merenung dan mulai meyakini bahwa sepertinya yang Ayah maksud keberanian bukan berarti menyusulnya sembari menantang lautan, tapi adalah keberanian agar aku dapat meneruskan jejak yang ditinggalkannya. Biarkan laut mengambil Ayahku, tapi jangan sampai pasang merenggut seluruh hidupku.

Angin laut membelai wajahku malam itu, aku memantapkan diri untuk pulang dengan dayung bertengger di bahu kananku. Aku pulang dengan tekad yang besar, bukan lagi sebagai anak kecil yang kehilangan arah dan Ayah, tapi sebagai buih yang siap belajar kepada pasang. Pasang adalah jalan pulang yang berbeda, cara Ayah menunjukkan kehadirannya.

Aku adalah anak yang ditinggal oleh Ayahnya untuk belajar arti keberanian yang sesungguhnya, “Tapi Ayah, tak bisakah kau mengajarkanku tanpa harus meninggalkanku sebatang kara tanpa penunjuk arah.” Ah sudahlah, mungkin jika Ayah ada aku tetap akan menjadi anak manja yang setiap hal bertanya kepada Ayahnya. Kini, aku sudah beranjak dewasa Ayah dan sedang sibuk memaknai nasehatmu dulu, aku sudah bisa mengartikan sendiri tanpa bertanya ini-itu lagi kepadamu.

Aku tak bisa banyak menafsirkan tentang lautan, kecuali bahwa ketika pasang datang Ayah sedang berkunjung dan memastikan anaknya tetap berani menghadapi dunia. Lalu ketika surut, Ayah akan pergi jauh ke dasar yang tak pernah bisa kugapai. Ayah pasti bangga aku tak lagi sekedar belajar tentang keberanian saja, tapi di tahap selanjutnya aku mulai belajar arti dari merelakan.

Laut banyak sekali menyimpan keindahan termasuk Ayahku di sana. Pasang bukan lagi soal laut saja. Ia adalah rindu yang tak pernah usai, luka yang kunjung sembuh, dan Ayah yang tak pernah dan tak akan pulang.

Penulis

  • Nawal Fatin, asal Sumenep sebagai Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Arab Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, dapat disapa melalui @nawaftn


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ahmad Zaidi Cerpen

Kematian Bagi Kenangan

Apacapa Sururi Nurullah

Fashion dan Berbagai Dampaknya

Agus Hiplunudin Buku Ulas

Politik Agraria Petani Vs Negara dan Neoliberalisme

Apacapa Esai Muhammad Badrul Munir

Listrik Padam, Iduladha, dan Kita yang Bersuka Cita

Apacapa Irwant

Jomblo dan Motor Tunggangannya

alif diska Mored Moret Puisi

Puisi Mored: Tarian Hujan

Apacapa

Burdah Keliling Tengah Laut

Apacapa Baiq Cynthia

Kepingan Kenangan di Kota Santri Situbondo

Apacapa Sutrisno

KH. A. Wahid Hasyim; Perjuangan dan Pemikiran tentang Pendidikan, Politik dan Agama

Mohammad Cholis Puisi

Puisi: Celurit yang Tergantung

Puisi

Klandestin dan Puisi Lainnya

Alvin Hasany Apacapa covid 19

Covid 19: Vaksinasi dan Mobilitas Sosial

Apacapa Esai Halimah Nur Fadhilah

Kemajuan Teknologi Dalam Dunia Pendidikan

Agus Hiplunudin Cerpen

Cerpen Maha Dewi

Cerpen Qurrotu Inay

Cerpen: Mereka Berbicara tentang Kamu

Cerpen Rahman Kamal

Cerpen : Bunga Mawar Merah Berduri

BJ. Akid Puisi

Puisi : Tanah Luka Karya BJ. Akid

Apacapa

Jihu Rasa Puisi

Andi Fajar Wangsa Puisi

Teka Teki dan Puisi Lainnya Karya Andi Fajar Wangsa

Anwarfi Citta Mandala Puisi

Puisi-puisi Citta Mandala