Cerpen – Rindu

Cerpen: Arian Pangestu dan Fazar Maul
Rindu, pagi ini kau mengunjungiku, seperti
biasa kau akan langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Padahal aku sudah
berkali-kali mengingatkanmu, jika ingin bertamu beritahu aku terlebih dahulu,
agar aku dapat bersiap-siap untuk menyambutmu. Setidaknya aku bisa merapihkan
rambutku yang berantakan ini, setidaknya aku sudah sedikit menyemprotkan parfum
ke badanku yang kurus ini, atau setidaknya aku dapat mengganti pakaianku yang
sudah berumur tiga hari ini
. Sebab, paling tidak aku akan terlihat baik-baik saja tak kurang suatu
apa persis saat masih bersamamu di hari-hari lalu.
Tapi tak apa, mari masuk, silakan duduk.
Maaf sedikit berantakan, aku sedang membersihkan kenangan. Maaf sedikit
berserakan, aku sedang memilah-milah memori yang telah usang. Poto kita saat
berpeluk mesra masih utuh berdiri tegak di atas rak buku, juga gitar akustik
yang kau hadiahkan padaku dua tahun yang lalu masih kurawat baik-baik, karena
hanya gitar itu yang dapat menghiburku, mengembalikanmu padaku saat jemariku
mencakar-cakar senarnya dan mulutku bersenandung lagu-lagu kesukaanmu.
Rindu, pagi ini kau datang tanpa
pemberitahuan, dengan membawa banyak oleh-oleh untukku berupa ingatan. Meski
aku sudah belajar untuk melupakan, tapi aku tetap menghargaimu sebagai teman,
sebagaimana permintaanmu satu tahun yang lalu.
Setelah lama tak berjumpa, aku tak pernah
mengira kau akan datang kembali, karena sudah teramat lama kau tak berkunjung
ke sini, seperti masa-masa indah dulu, di beranda kita melewati separuh malam
dengan sedikit ciuman dan pelukan sambil menunggu hujan rintik-rintik reda. Ah,
mungkin kau sudah tak mengingatnya.
Oh, ya, mungkin pagi ini ada beberapa hal
yang ingin kau bagi, atau mungkin hanya sekadar ingin bertemu denganku lagi?
Rindu, kau datang terlalu pagi. Biasanya
mataku baru terpejam setelah rembulan padam. Ah, kau tak tahu hampir setiap
malam kau mengganggu tidurku dan melukai mataku hingga merah dan marah. Tapi
tak apa aku akan tetap menerimamu dengan senang hati. Kita sudah tak berbincang
lama sekali. Oh, ya, ke mana pergimu selama ini?
Ada beberapa hal yang kau lewatkan, mari,
biar kuceritakan. Sebelumnya, maafkan aku pernah tak menginginkan kau datang.
Bahkan, aku pernah mengusirmu secara paksa dari ingatan. Sungguh, aku minta
maaf.
Saat itu, aku benar-benar ingin
melupakanmu sedikit atau seluruh tentangmu: ciuman itu, pelukan itu, semua hal
yang pernah kita lewati dengan air mata dan tawa, atau tentang cita cinta kita
pada sebuah pernikahan yang akan kita langsungkan setelah lulus kuliah. Sungguh
sedikit lagi aku hampir berhasil,  tapi
sepertinya itu tak mungkin. Sebab, tiba-tiba pagi ini kau datang kembali.
Jikalau boleh, aku ingin mengusirmu,
sebagaimana kau mengusir diriku dari hidupmu, mempersilakan cintaku mengangat
kaki dari hatimu. Karena ada orang lain yang lebih tampan dan terhormat akan
memasukinya. Cinta yang lekas dan ringkas, sepagi ini kau pergi dan datang
kembali.
Barangkali bila aku mengusirmu dan
benar-benar melakukan hal keji itu, mungkin kau tak akan pernah bertandang
lagi, dan tak akan pernah berkunjung kembali. Atau kau mungkin paham maksudku?
jadi kau bisa memberiku sedikit waktu. Terima kasih.
Rindu, sekarang aku benar-benar sudah
merelakan, meski tak sepenuhnya bisa melupakan. Itu hari-hari yang berat, tak
mudah untuk melaluinya. Itu hari-hari yang sulit, tak mudah untuk melewatinya.
Tapi karena kau memberiku ruang untuk sendiri, aku jadi bisa menerima dan
berlapang dada membiarkanmu pergi. Terima kasih.
Jadi sekarang, coba katakan, untuk apa
dikau datang? Jika sekadar untuk menyapa, itu tak apa. Tapi maaf Rindu, jika
dikau datang lagi hanya untuk menyesakkan dadaku, mungkin dikau salah bertamu.
Itu pintu masih terbuka dan pagi ini aku ingin memejamkan mata, sebelum malam
datang kembali, sebelum aku menangis meraung-raung lagi, sebelum mengamuki
diriku sendiri, sebelum kupetik sunyi untuk diri sendiri, dan sebelum dikau
melihat semua siksaan ini, silakan dikau pergi.
Rindu, lihatlah pintu masih terbuka
untukmu. Jaga dirimu, semoga cinta menyentuhmu dengan ramah, semoga rindu tak
menyengat matamu hingga merah dan marah, semoga cinta tak selamanya selalu
drama. Selamat pagi, kataku pada dirimu yang sudah sekian lama tinggal di
kepalaku.
[]
Biodata Diri
Arian Pangestu dan Fazar Maul mahasisiwa sastra di salah satu
universitas swasta, Tangerang. Menjadi follow Kajian Filsafat dan Feminisme.
No HP: 08811348847
FB: Jovie.laziale
IG: arian_pangestu
Surel: pangestuarian1@gmail.com

Penulis

  • Arian Pangestu

    Arian Pangestu, menulis puisi, esai, dan cerpen. Puisinya tergabung dalam antologi Monolog Bisu (2016). Saat ini aktif sebagai mahasiswa sastra tingkat akhir di Universitas Pamulang.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa Imam Sofyan

Pandemi dan Air Mata Driver Aplikasi Joker

Apacapa Kyaè Nabuy Madura Totor Wisata Situbondo

Apalessèran ka Pèngghir Sèrèng Blekko’

Apacapa fulitik

Kenapa Kaos Orens Tidak Dibagikan Gratis? Malah Dijual. Ini alasannya.

Fahris A. W. Puisi

Puisi : Kisah Angsa Jantan Karya Fahris A.W.

Cerpen Rahman Kamal

Cerpen : Tukang Sarang

Apacapa

Takanta: Dua Tahun (Semoga) Menjadi Diri Sendiri

Apacapa Esai Faidul Irfani Politik

Milenial Cerdas, untuk Pilkada Berkualitas

Apacapa Sainur Rasyid

Gusdur dan Buku

Cerbung Fikri Mored

Cerbung: Fikri dan Kisah-Kasih di Sekolah (Part 6)

Apacapa

Situbondo Dik, Bukan Jalan Situbondo

Apacapa Erie Setiawan Musik Ulas

Album Langngo Keroncong Kremes: Renaisans Keroncong Madura

Cerpen Rahman Kamal

Cerpen : Bunga Mawar Merah Berduri

Cerpen M Ivan Aulia Rokhman

Cerpen : Kehilangan Tas di Kota Pasundan Karya M Ivan Aulia Rokhman

Buku Resensi Ulas Wardedy Rosi

Resensi: Distopia dalam Fiksi Individutopia

Buku Indra Nasution Ulas

Kritik Terhadap Demokrasi

Buku M Ivan Aulia Rokhman Ulas

Perjalanan Tiga Pendaki untuk Memaknai Kehidupan

Apacapa Buku Junaedi Ulas

Reformasi Birokrasi Perwujudan Birokrasi yang Berbudaya

Uncategorized

Resume Buku Amba Kisah Dibalik Perang Besar Baratayudha

Apacapa fulitik Muhammad Bayan

Mas Rio Bukan Caleg: Paket Komplit untuk Situbondo Masa Depan

Apacapa Esai Muhammad Badrul Munir

Listrik Padam, Iduladha, dan Kita yang Bersuka Cita