Oleh:
Wilda Zakiyah
Wilda Zakiyah
Sebuah perjalanan
di pagi-pagi buta, sepasang lelaki dan perempuan menyusuri perkebunan karet dan pohon jati. Tak
ada yang berbeda dari sepasang kekasih itu selain kemesraan yang seolah ingin membuat
sekeliling cemburu. Sesekali terdengar pohon dan semak-semak berbisik, membicarakan
mereka.
di pagi-pagi buta, sepasang lelaki dan perempuan menyusuri perkebunan karet dan pohon jati. Tak
ada yang berbeda dari sepasang kekasih itu selain kemesraan yang seolah ingin membuat
sekeliling cemburu. Sesekali terdengar pohon dan semak-semak berbisik, membicarakan
mereka.
Jalanan bebatu
dan terjal, ada sisa air embun yang masih menempel di daun-daun, juga sepi yang
terus menusuk.
“Kapan kita
akan sampai?”
“Sekitar
satu jam lagi. Apa kakimu sudah sakit? Mau kugendong? Atau kita istirahat dulu sebentar?”
“Tidak. Aku
hanya bertanya, Sayang,” jawab si perempuan. Tangannya kembali mengapit tangan laki-laki di sebelahnya.
“Mau kuceritakan
temapat ini? Aku sering ke sini.”
“Benarkah?
Boleh. Ceritakanlah.”
Perjalanan
mereka diisi cerita, kemesraan, jatuh cinta, lelah yang sudah tidak terasa lagi,
dan pagi yang masih mengawasi. Wajah perempuan itu cantik. Kedua matanya adalah
purnama yang sesekali malu dan hanya mengintip di sela-sela awan yang mulai menipis.
Angin senang memainkan rambutnya yang lurus.
“Dulu sepasang
kekasih pernah ke tempat ini juga. Melewati senja berdua. Tepat di persimpangan
jalan menuju Pringgondani dan jalan menuju pohon hujan, mereka berselisih. Sampai
petang tiba mereka tetap berdebat perihal harus ke mana mereka pergi.”
“Apakah sebelumnya
tidak direncanakan terlebih dahulu?”
“Tidak. Mereka
bahkan tidak mengenal tempat ini sebelumnya. Mereka hanya ingin menikmati perjalanan,
berdua. Sampai akhirnya laki-laki itu mengalah dan mengikuti keinginan perempuannya.
Menuju pohon hujan tidak semudah yang perempuan itu bayangkan. Lebih dari empat
ekor anjing liar mencoba menggigit mereka. Bahkan tak jarang pula malam hendak memakan
dan menenggelamkan
mereka. Malam tak selamanya ramah. “
Tujuan mereka
sudah hampir dekat. Sepasang kekasih itu terus melanjutkan perjalanan.
“Mereka juga
melewati tempat ini, Nay?”
“Apa mereka
benar-benar sampai pada pohon hujan?”
“Tidak. Mereka
belum sampai hingga hari ini.”
“Benarkah?”
“Iya, Nay.”
“Ke mana mereka?”
Sambil menuruni
tebing yang curam, laki-laki itu terus bercerita. Air terjun yang hendak mereka
tuju sudah hampir dekat, suara airnya terdengar menghantam tanah, jatuh bedebam.
“Seperti
siklus yang terus berputar, setiap ada perempuan datang maka perempuan yang sebelumnya
menjelma air terjun digantikan oleh perempuan yang baru. Sayangnya jarang ada orang
yang pergi ke tempat ini.”
Mereka sampai
di depan air terjun Selotirto tersebut, airnya jernih dan dikelilingi tebing curam.
Nayla menurunkan kakinya, menyentuh permukaan air dan tiba-tiba saja seperti terurai
dan menyatu dengan air.
“Sayang,
tolong aku!”
“Tidak bisa.
Kau bertanya ke mana mereka? Laki-lakinya adalah aku, dan perempuannya adalah orang yang
hidup ratusan tahun di Selotirto ini, menjelma air terjun. Aku harus membawamu untuk
menggantikannya.”
Saat perempuan
itu menghilang, menjadi air yang terus mengalir, seorang perempuan seolah baru terbentuk dari air, jernih, cantik.
***
“Apa kabar,
Nay?”
“Aku baik-baik
saja, Sayang.”
“Ayo kita
lanjutkan perjalanan, pohon hujan sudah dekat.” (*)
Situbondo, 16 Maret 2020
Wilda Zakiyah, lahir di Situbondo.
Tinggalkan Balasan