Freepik.com

Angin musim kemarau begitu dingin menembus kulit, seakan membawa butiran-butiran es. Sisa-sisa embun masih menempel di daun mangga depan rumah, memantulkan sinar matahari pagi yang indah. Nyanyian burung pipit, keteran, cikrak daun, saling merebut pengaruh, melantunkan kicau terbaiknya. Di halaman kecil rumah berwarna hijau muda, tampak ibu-ibu berkerumun mengelilingi pedagang sayur keliling. Mereka menenteng berbagai macam belanjaan: sayur-sayuran, ikan laut, tempe, tahu, bawang daun, dan masih banyak kebutuhan dapur lainnya.

Di bawah pohon mangga yang mulai berbunga, seorang laki-laki berbadan kurus berkulit hitam sedang mengasah sabit. Di bibirnya bertengger sebatang rokok, asap putih mengudara, keluar dari hidung dan sela-sela kecil bibirnya. Dua tangannya terus menyelesaikan tugasnya. Matanya sedikit terpejam karena asap membuatnya perih. Sesekali ia berhenti, mengambil rokok dari bibirnya, mengisap beberapa kali, kemudian meletakkannya kembali, kedua tangannya kembali fokus pada tugas utamanya: mengasah.

Embun masih belum sepenuhnya kering, udara dingin masih enggan pergi. Lalu-lalang orang-orang berangkat bekerja tak pernah surut, memanggul cangkul demi menyambung hidup. Mayoritas penduduk desa di pinggiran kota Situbondo ini adalah petani dan buruh tani.

Tak ketinggalan, Fikri juga terlihat sedang bergegas, bersiap diri menuju aktivitas paginya: pergi ke sawah miliknya. Ia memakai topi berwarna hitam, bercelana, mengenakan sepatu karet AP Boots berwarna hitam, serta berbaju biru langit bertuliskan salah satu produk insektisida. Baju yang ia kenakan merupakan hadiah dari toko pertanian langganannya.

Laki-laki kelahiran ’98 ini memang berbeda dari teman-teman sebayanya. Ia memilih tinggal di desanya dan bertani, sementara teman-temannya lebih memilih mengadu nasib di kota.

“Teman-temanku banyak yang merantau. Ada yang bekerja di Bali menjadi kuli bangunan, ada yang ke Jakarta menjaga toko, ada yang kerja di koperasi di Jawa Barat, ada juga yang ke Malang. Yang memilih hidup di sini cuma segelintir. Teman-teman cewekku waktu SD banyak yang memutuskan menikah,” begitu ungkapnya.

Ia lahir dari orang tua berdarah Madura dan Situbondo. Bapaknya berdarah Madura, ibunya berdarah Situbondo. Menurut cerita orang tuanya, ia lahir pada tahun yang menakutkan. Orang-orang di desanya menyebut tahun kelahiran Fikri sebagai “Tahun Ninja”. Di tahun itu, guru ngaji menjadi target pembunuhan. Ayahnya adalah salah satu guru ngaji di desa. Setiap malam orang-orang berkumpul menjaga ayahnya, termasuk dari Pagar Nusa, organisasi pencak silat bentukan NU.

Tepat pukul 00.12 di malam yang semakin larut, dengan udara dingin bercampur suasana mencekam, tangis bayi laki-laki terdengar nyaring membelah gelap. Rasa syukur silih berganti diucapkan oleh orang-orang yang sedang berjaga malam itu. Dukun bayi yang membantu persalinan menggendong Fikri menuju pangkuan ayahnya. Sang ayah lalu mengumandangkan azan di telinga kanan, iqamah di telinga kiri, dan mengusap lembut dada bayi kecil itu seraya melantunkan Surah Al-Insyirah.

Seingat Fikri, sejak kecil ia suka sekali menanam. Ketika memakan jeruk, semangka, salak, biji buah itu ia tanam di belakang musala milik ayahnya. “Tapi, biji-biji buah itu sedikit sekali yang tumbuh. Aku cuma senang menanam saja. Paling cuma dua hari aku rawat, habis itu sudah aku tinggalkan,” katanya sambil tertawa mengingat masa kecilnya.

Meskipun ayahnya adalah guru ngaji, kyai kampung yang dihormati, kenakalan Fikri cukup terkenal. Di siang bolong ia pernah merencanakan pencurian mangga milik perusahaan perkebunan bersama teman-temannya, tak jauh dari tempat tinggalnya. Aksinya tertangkap basah oleh seorang mandor. Ia lari dan setelah berjuang meloloskan diri, akhirnya tertangkap. Apesnya, hanya ia yang tertangkap. Teman-temannya lolos. Maklum, tubuhnya yang gempal tidak mendukung, larinya lambat. “Pak Mol itu mandor paling menyeramkan, kumisnya tebal sampai menutupi mulutnya. Tubuhnya kekar, badannya tinggi, dan goloknya berkilau disapu sinar matahari.” Kali ini Fikri tertawa cukup keras mengingat sosok Pak Mol.

Kenakalan demi kenakalan membuatnya dimasukkan ke pondok pesantren oleh ayahnya. Harapannya, Fikri bisa meneruskan jejak ayahnya mengajar ngaji anak-anak tetangga. Tapi Fikri berbeda. Ia tidak mau menjadi guru ngaji. Ia punya cita-cita lain: menjadi politisi.

Selepas bertahun-tahun nyantri di pesantren, Fikri pulang ke desa. Ia sedikit berubah menjadi lebih baik. Warga desa menganggap Fikri sudah matang secara ilmu dan berpikiran dewasa. Tapi tampilan luar sering menipu. Perjalanan Fikri di pesantren tidak mulus. Ia tetap nakal, sering bolos, dan langganan menerima hukuman dari petugas keamanan pesantren.

“Aku di pesantren dulu nakal, jarang sekolah, jarang ikut ngaji kitab. Aku suka keluar pesantren, berkelana jadi guru pencak silat, belajar ilmu kanuragan, dan main bola di tengah hutan. Aku benar-benar berubah tiga tahun sebelum berhenti mondok. Aku mondok beneran. Ngaji kitab, sekolah rajin. Tapi kesadaran itu datang bukan dari hati sendiri, ada perantara. Aku kenal santri putri, aku suka dia. Beberapa kali nyatakan cinta, tapi dia tidak pernah membalas. Dia akan menerima cintaku kalau aku berubah, jadi baik, tidak nakal lagi. Tiga tahun aku berusaha, dan sekarang dia istriku,” katanya sambil tersenyum lebar, lalu mengisap kretek kesukaannya dalam-dalam. Asap putih membumbung tinggi, terbawa angin masa lalu yang lucu.

Cita-cita menjadi politisi tak lagi menarik. Ia memilih menjadi petani. Bukan tanpa alasan, tapi ada spirit hidup yang ia temukan. Bertani bukan semata-mata mengejar kebutuhan ekonomi, meski keuntungan tetap ia harapkan. Tapi bertani adalah seni.

Mengolah tanah adalah langkah pertama. Seperti membangun rumah, sebagai tempat bernaung, tempat berlindung dari panas dan hujan. Tanaman juga butuh tempat tinggal yang damai. Untuk memenuhi unsur hara, bahan-bahan organik dimasukkan. Fikri biasanya menggunakan kotoran sapi atau kambing sebelum proses membajak. Ia percaya itu bisa mengurangi residu pupuk kimia.

Fikri mengaku belajar bertani dari ayahnya. Sang ayah selalu memberi perlakuan organik setelah panen dan sebelum dibajak kembali. “Ayahku bertani itu berguru pada pengalaman. Dulu belum ada youtube, gak kenal jurnal dan penelitian pertanian. Semuanya alami, belajar dari alam, dan hasilnya gak pernah mengecewakan,” katanya.

Pemilihan benih juga selektif. Seperti tembakau, petani di desa Fikri tidak membeli produk pabrikan. Benih diambil dari buah atau bunga tembakau terbaik tahun sebelumnya.

“Memilih benih tembakau itu seperti memilih istri. Kalau pengin anaknya cantik atau ganteng, ya istrinya harus cantik,” Fikri tertawa terbahak-bahak.

Varietas tembakau di desanya banyak: kasturi putih, kasturi kawin, mirsih, jeppon, dll. Mayoritas memilih kasturi putih karena cocok dengan tanah, dan daunnya besar, tebal, dan lebar.

Memasuki masa tanam, perawatan harus maksimal. Pemberian pupuk disesuaikan dengan kebutuhan tanaman dan takaran pas. Menurut Fikri, petani tidak boleh sembarangan. Masa vegetatif dan generatif membutuhkan unsur hara berbeda.

Tanaman adalah makhluk hidup, butuh makan. Dan tanaman mengirim sinyal saat butuh makanan. Komunikasi itu terlihat dari daun. Kekurangan nitrogen, fosfat, kalium, kalsium, boron, magnesium, dll bisa dilihat dari daun. Kelebihan pupuk juga berbahaya. Overdosis membuat tanaman rentan penyakit. Maka, takaran penting.

Di masa vegetatif, tanaman butuh nitrogen untuk pertumbuhan akar dan daun. Fosfat dan kalium juga dibutuhkan tapi lebih sedikit. Di masa generatif, fokusnya fosfat dan kalium untuk pembungaan, buah, dan biji. Nitrogen tetap dibutuhkan tapi dalam jumlah kecil.

“Setelah berikhtiar jangan lupa berdoa. Manusia tugasnya usaha, yang memutuskan tetap Yang Maha Kuasa. Kalau lagi untung, jangan lupa menyisihkan rezeki, berikan ke yang membutuhkan. Biar barokah,” katanya.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ahmad Zaidi Cerpen

Cerpen – Fragmen Nalea

Puisi Tjahjaning Afraah Hasan S. A.

Puisi Ruah Alam Waras

Pantun Papparekan Madura Totor

Pantun Madura Situbondo (Edisi 6)

Cerbung Ipul Lestari

Cerbung : Raisha Karya Ipul Lestari

Bang Yof Puisi

Puisi : Cerita Terompah Tua dan Puisi Lainnya Karya Bang Yof

Cerpen Kiki Sulistiyo

Cerpen: Batu Bolemeta

Apacapa Fendi Febri Purnama Musik Ulas

Langngo: Ekspresi Keroncong Kekinian yang Membawa Warna Budaya

Ahmad Zainul Khofi Apacapa

Memaknai Situbondo “Naik Kelas”

Faris Al Faisal Puisi

Puisi-puisi Faris Al Faisal: Merah Putih

Apacapa Esai Muhammad Ghufron

Menjadikan Buku sebagai Suluh

Agus Hiplunudin Apacapa

Tingkat Kepercayaan Masyarakat terhadap Parpol Diuji pada Pemilu 2019

Apacapa Esai Haryo Pamungkas

Komitmen Literasi untuk SDM Unggul

Diego Alpadani Puisi

Puisi: Pilihan Ganda

alif diska Mored Moret

Puisi Mored: Di Ujung Senja yang Abadi

Agus Hiplunudin Apacapa Feminis

Waria dan Kemenangan Kaum Feminis

Agus Yulianto Cerpen

Cerpen : Luka

Ahmad Zaidi Kuliner Situbondo

Nasi Karak, Takar dan Gesseng

Penerbit

Buku: Bahagia Butuh Bersama: Kumpulan Puisi

Apacapa Rusdi Mathari

Ramadan: Korban Keisengan Saat Tidur di Langgar

Buku Indra Nasution Ulas

Kritik Terhadap Demokrasi