Tidak
pernah ada โselesaiโ dalam mendiskusikan โJawaโ, sebagaimana dikatakan oleh
Justus Van Der Kroef bahwa tujuan tatanan sosial masyarakat Jawa adalah homeo-statis, melingkupi keseimbangan, keselarasan,
harmoni, dan sinergi.[1] Berbicara mengenai keselarasan dan keseimbangan akan
menarik jika dikaitkan dengan feminisme. Kesetaraan gender selalu jadi bahasan
yang tidak pernah habis apalagi jika dikaitkan dengan masyarakat Jawa.
Hermawati dalam tulisannya berjudul โKesetaraan Gender
dalam Budaya Jawaโ menjelaskan budaya patriarki yang cukup besar dalam pandangan
masyarakat Jawa. Pemahaman yang muncul dalam kehidupan masyarakat Jawa yakni
dengan adanya ungkapan-ungkapan tradisional mengenai gender, misalnya istri
hanyalah kanca
wingking artinya sebagai teman dibelakang,
yang tugasnya mengelola urusan rumah tangga seperti mengurus anak, memasak,
mencuci, dan lain-lain. Selain
itu terdapat pula istilah swarga nunut
neraka katut yang artinya kalau suami masuk surga, berarti istri juga akan
masuk surga. Namun jika suami masuk neraka, istri juga ikut masuk neraka karena
mengikuti suaminya. Ungkapan lain yang mengunggulkan budaya patriarki adalah
adanya tugas domestik istri bahwa seorang istri mempunyai tugas manak, macak, masak. Istilah ini
memberikan pengertian bahwa tugas istri hanyalah memberikan keturunan,
berdandan, dan memasak.[2]
pernah ada โselesaiโ dalam mendiskusikan โJawaโ, sebagaimana dikatakan oleh
Justus Van Der Kroef bahwa tujuan tatanan sosial masyarakat Jawa adalah homeo-statis, melingkupi keseimbangan, keselarasan,
harmoni, dan sinergi.[1] Berbicara mengenai keselarasan dan keseimbangan akan
menarik jika dikaitkan dengan feminisme. Kesetaraan gender selalu jadi bahasan
yang tidak pernah habis apalagi jika dikaitkan dengan masyarakat Jawa.
Hermawati dalam tulisannya berjudul โKesetaraan Gender
dalam Budaya Jawaโ menjelaskan budaya patriarki yang cukup besar dalam pandangan
masyarakat Jawa. Pemahaman yang muncul dalam kehidupan masyarakat Jawa yakni
dengan adanya ungkapan-ungkapan tradisional mengenai gender, misalnya istri
hanyalah kanca
wingking artinya sebagai teman dibelakang,
yang tugasnya mengelola urusan rumah tangga seperti mengurus anak, memasak,
mencuci, dan lain-lain. Selain
itu terdapat pula istilah swarga nunut
neraka katut yang artinya kalau suami masuk surga, berarti istri juga akan
masuk surga. Namun jika suami masuk neraka, istri juga ikut masuk neraka karena
mengikuti suaminya. Ungkapan lain yang mengunggulkan budaya patriarki adalah
adanya tugas domestik istri bahwa seorang istri mempunyai tugas manak, macak, masak. Istilah ini
memberikan pengertian bahwa tugas istri hanyalah memberikan keturunan,
berdandan, dan memasak.[2]
Terkait
dengan bias gender, Syeh Amongraga dalam Serat Centhini
berhasil mematahkan pandangan budaya Jawa dalam memposisikan perempuan lebih
rendah daripada laki-laki. Serat Centhini yang ditulis pada
tahun 1814-1823 Masehi
ini memberikan gambaran mengenai budaya dan cara pandang masyarakat Jawa. Salah
satu cara pandang masyarakat Jawa yang dapat dilihat dalam Serat Centhini
adalah cara pandang mengenai keadilan gender.[3]
Gender merupakan konstruksi sosial yang membedakan peran, kedudukan, perilaku,
dan pembedaan relasi sosial antara laki-laki dan perempuan yang menyebabkan
perbedaan dalam penilaian sosial. Gender secara ringkas didefinisikan sebagai โthe socially constructed ways in which we
live out our identity as males or femalesโ yang artinya konstruksi sosial
yang dibangun berdasarkan apakah kita hidup sebagai lelaki atau perempuan.[4] Pada
tahun 1814-1823, para pujangga melalui tokoh Syeh Amongraga sudah
membela keadilan gender. Menempatkan lelaki dan perempuan dalam kedudukan yang
sama. Jika merujuk pada teori perwujudan keadilan Fudyartanta (1974)[5],
maka sikap Syeh Amongraga merupakan perwujudan dari keadilan sosial.
dengan bias gender, Syeh Amongraga dalam Serat Centhini
berhasil mematahkan pandangan budaya Jawa dalam memposisikan perempuan lebih
rendah daripada laki-laki. Serat Centhini yang ditulis pada
tahun 1814-1823 Masehi
ini memberikan gambaran mengenai budaya dan cara pandang masyarakat Jawa. Salah
satu cara pandang masyarakat Jawa yang dapat dilihat dalam Serat Centhini
adalah cara pandang mengenai keadilan gender.[3]
Gender merupakan konstruksi sosial yang membedakan peran, kedudukan, perilaku,
dan pembedaan relasi sosial antara laki-laki dan perempuan yang menyebabkan
perbedaan dalam penilaian sosial. Gender secara ringkas didefinisikan sebagai โthe socially constructed ways in which we
live out our identity as males or femalesโ yang artinya konstruksi sosial
yang dibangun berdasarkan apakah kita hidup sebagai lelaki atau perempuan.[4] Pada
tahun 1814-1823, para pujangga melalui tokoh Syeh Amongraga sudah
membela keadilan gender. Menempatkan lelaki dan perempuan dalam kedudukan yang
sama. Jika merujuk pada teori perwujudan keadilan Fudyartanta (1974)[5],
maka sikap Syeh Amongraga merupakan perwujudan dari keadilan sosial.
Pembahasan
mengenai perempuan yang dianggap lebih rendah dari laki-laki selalu erat
kaitannya dengan kekuasaan dan ekonomi, utamanya di Jawa. Hal tersebut berbanding terbalik dalam Serat Centhini,
yakni kedudukan perempuan cukup setara dengan laki-laki karena kaitannya dengan
hal batin dalam keadilan sosial. Namun, nilai-nilai patriarkis selalu tumbuh
subur dalam lingkup kekuasaan, misal dalam tradisi keluarga bangsawan Jawa,
seperti yang dialami Kartini dan hal lain seperti pergundikan dan buruh pada
perkebunan di Deli. Dari dua kasus tersebut kita bisa melihat bahwasanya
perempuan menjadi alat untuk memperkuat posisi kekuasaan dan menciptakan
hegemoni yang lebih besar pada seorang laki-laki. Dalam teori kekuasaan Jawa,
seperti ditulis oleh Justus Van der Kroef dalam bukunya Indonesia in The Modern World[6],
bahwa pertemuan pria-wanita menjadi suatu hal yang tak terpisahkan dari
kehidupan keraton, untuk mempertahankan simbol kesaktian kekuasaan Sang Raja
maka diperlukan sebuah simbol lain yang tergambarkan dengan kelompok penari
perempuan yang disebut bedhaya[7].
Hal tersebut juga dipertegas oleh pendapat Bennedict Anderson dalam bukunya Kuasa-Kata, bahwa pertanda sosial
konsentrasi kekuatan, salah satunya adalah kesuburan yang tercermin dari
seorang wanita, jadi tanda kekuasaan didapat dengan memiliki wanita-wanita yang
dianggap subur dan terbaik dari sekian wanita lainnya.[8]
mengenai perempuan yang dianggap lebih rendah dari laki-laki selalu erat
kaitannya dengan kekuasaan dan ekonomi, utamanya di Jawa. Hal tersebut berbanding terbalik dalam Serat Centhini,
yakni kedudukan perempuan cukup setara dengan laki-laki karena kaitannya dengan
hal batin dalam keadilan sosial. Namun, nilai-nilai patriarkis selalu tumbuh
subur dalam lingkup kekuasaan, misal dalam tradisi keluarga bangsawan Jawa,
seperti yang dialami Kartini dan hal lain seperti pergundikan dan buruh pada
perkebunan di Deli. Dari dua kasus tersebut kita bisa melihat bahwasanya
perempuan menjadi alat untuk memperkuat posisi kekuasaan dan menciptakan
hegemoni yang lebih besar pada seorang laki-laki. Dalam teori kekuasaan Jawa,
seperti ditulis oleh Justus Van der Kroef dalam bukunya Indonesia in The Modern World[6],
bahwa pertemuan pria-wanita menjadi suatu hal yang tak terpisahkan dari
kehidupan keraton, untuk mempertahankan simbol kesaktian kekuasaan Sang Raja
maka diperlukan sebuah simbol lain yang tergambarkan dengan kelompok penari
perempuan yang disebut bedhaya[7].
Hal tersebut juga dipertegas oleh pendapat Bennedict Anderson dalam bukunya Kuasa-Kata, bahwa pertanda sosial
konsentrasi kekuatan, salah satunya adalah kesuburan yang tercermin dari
seorang wanita, jadi tanda kekuasaan didapat dengan memiliki wanita-wanita yang
dianggap subur dan terbaik dari sekian wanita lainnya.[8]
Sistem Patriaki yang dipahami sebagai salah satu
contohnya yakni pada kehidupan anak perempuan bangsawa Jawa yang menjalani pingitan[9],
yang dilarang berinteraksi dengan dunia luar karena dipersiapkan untuk
menikah dengan calon suami yang sudah ditetapkan oleh orang tuanya, seperti
yang dijalani oleh Kartini. Kartini menjalani pingitan sekitar awal tahun 1892 setelah dia lulus dari ELS. Dari
hal tersebut kita dapat melihat mengenai ketidak-adilan gender, karena
perbedaan kelamin, Kartini harus dipingit berserta adik-adik perempuannya,
sedang kakak laki-lakinya dapat terus melanjutkan sekolah.[10]
contohnya yakni pada kehidupan anak perempuan bangsawa Jawa yang menjalani pingitan[9],
yang dilarang berinteraksi dengan dunia luar karena dipersiapkan untuk
menikah dengan calon suami yang sudah ditetapkan oleh orang tuanya, seperti
yang dijalani oleh Kartini. Kartini menjalani pingitan sekitar awal tahun 1892 setelah dia lulus dari ELS. Dari
hal tersebut kita dapat melihat mengenai ketidak-adilan gender, karena
perbedaan kelamin, Kartini harus dipingit berserta adik-adik perempuannya,
sedang kakak laki-lakinya dapat terus melanjutkan sekolah.[10]
Hal lain dapat kita temukan kembali pada masa
Pemerintahan Kolonial, mengenai pergundikan, dimana perempuan selalu menjadi
objek laki-laki, hal ini menjadi permakluman oleh para orang Jawa utamanya,
karena memang banyak korban pergundikan dan buruh perempuan yang berasal dari
Jawa. Salah satu contohnya, pada pertengahan abad
Ke-19, Di
perkebunan Deli, buruh-buruh perempuan pribumi direkrut dalam skala besar. Di
satu sisi, perekrutan itu untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Di lain sisi,
para direksi perkebunan memiliki siasat dalam pemenuhan kebutuhan sosial dan
seksual pekerja laki-laki yang masih bujang dengan mengambil buruh perempuan.
Buruh perempuan beberapa dijadikan gundik yang terbebas dari status kuli
kontrak berdasarkan aturan yang keluar pada awal abad ke-20, dengan demikian
mereka tidak lagi kekurangan dalam hal pangan jika dibandingkan dengan upah
kuli kontrak yang relatif sedikit. Sekitar tahun 1923-1925, Bagi para tuan kulit
putih, kuli atau buruh pribumi tak pernah menyandang status pernikahan dengan
perempuan yang mereka tiduri, sehingga muncul pola kebiasaan dalam memandang
rendah perempuan dan tak
mengindahkan status mereka.[11]
Pemerintahan Kolonial, mengenai pergundikan, dimana perempuan selalu menjadi
objek laki-laki, hal ini menjadi permakluman oleh para orang Jawa utamanya,
karena memang banyak korban pergundikan dan buruh perempuan yang berasal dari
Jawa. Salah satu contohnya, pada pertengahan abad
Ke-19, Di
perkebunan Deli, buruh-buruh perempuan pribumi direkrut dalam skala besar. Di
satu sisi, perekrutan itu untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Di lain sisi,
para direksi perkebunan memiliki siasat dalam pemenuhan kebutuhan sosial dan
seksual pekerja laki-laki yang masih bujang dengan mengambil buruh perempuan.
Buruh perempuan beberapa dijadikan gundik yang terbebas dari status kuli
kontrak berdasarkan aturan yang keluar pada awal abad ke-20, dengan demikian
mereka tidak lagi kekurangan dalam hal pangan jika dibandingkan dengan upah
kuli kontrak yang relatif sedikit. Sekitar tahun 1923-1925, Bagi para tuan kulit
putih, kuli atau buruh pribumi tak pernah menyandang status pernikahan dengan
perempuan yang mereka tiduri, sehingga muncul pola kebiasaan dalam memandang
rendah perempuan dan tak
mengindahkan status mereka.[11]
Perkembangan
zaman dengan era pengetahuan yang semakin maju, membuat para wanita Jawa turut
menyadari pentingnya peran diri mereka dalam ikut ambil andil dalam perubahan,
seperti yang dilakukan Kartini untuk keluar dari sistem pembatasan terhadap
perempuan, dan memberikan kepada perempuan lainnya kesempatan untuk belajar dan
memiliki hak sama seperti laki-laki. Meskipun, Penjajahan
Belanda di Indonesia memberi pengaruh terhadap penurunan posisi dan peranan
wanita di Indonesia. Kebangkitan pergerakan wanita di Indonesia muncul kembali
diawali oleh peranan Nyai Achmad Dahlan (1872-1946) di Yogyakarta yang giat
dalam gerakan sosial. Nyai Ahmad Dahlan selain merintis perjuangannya melalui
jalur pendidikan dengan mendirikan Pondok Pesantren untuk puteri sebagai pusat
latihan kader santri dan ulama wanita, bahkan beliau mendirikan pula
sekolah-sekolah umum; ia juga aktif dalam kegiatan sosial keagamaan dengan
lembaganya yaitu Sopo Tresno (tahun 1914) dan pada tahun 1917 dirubah menjadi
Aisyiah. Ia memilih jalur pendidikan karena beranggapan bahwa semakin terdidik
seorang wanita, semakin mudah ia diajak untuk maju.[12]
zaman dengan era pengetahuan yang semakin maju, membuat para wanita Jawa turut
menyadari pentingnya peran diri mereka dalam ikut ambil andil dalam perubahan,
seperti yang dilakukan Kartini untuk keluar dari sistem pembatasan terhadap
perempuan, dan memberikan kepada perempuan lainnya kesempatan untuk belajar dan
memiliki hak sama seperti laki-laki. Meskipun, Penjajahan
Belanda di Indonesia memberi pengaruh terhadap penurunan posisi dan peranan
wanita di Indonesia. Kebangkitan pergerakan wanita di Indonesia muncul kembali
diawali oleh peranan Nyai Achmad Dahlan (1872-1946) di Yogyakarta yang giat
dalam gerakan sosial. Nyai Ahmad Dahlan selain merintis perjuangannya melalui
jalur pendidikan dengan mendirikan Pondok Pesantren untuk puteri sebagai pusat
latihan kader santri dan ulama wanita, bahkan beliau mendirikan pula
sekolah-sekolah umum; ia juga aktif dalam kegiatan sosial keagamaan dengan
lembaganya yaitu Sopo Tresno (tahun 1914) dan pada tahun 1917 dirubah menjadi
Aisyiah. Ia memilih jalur pendidikan karena beranggapan bahwa semakin terdidik
seorang wanita, semakin mudah ia diajak untuk maju.[12]
Pemaparan
diatas mengenai dialektika perkembangan kesetaraan dan keadilan gender, dapat
dipahami bahwasanya dalam tradisi masyarakat Jawa secara umum, perempuan tetap
memiliki peran dan posisi yang istimewa meskipun dalam kaitan yang berbeda-beda
akan berbeda pula hubungannya. Satu hal yang menjadi penting bahwa, seperti
yang ditulis dalam Serat Centhini, perempuan dalam masyarakat Jawa memiliki
posisi yang sama dan porsiya seimbang dengan laki-laki. Seperti dikatakan dalam konteks Jawa, perempuan diistilahkan sebagai
Siti atau tanah. Sedangkan laki-laki, diibaratkan sebagai Siwa atau api.
Penamaan tersebut sama halnya dengan filosofi Lingga Yoni, yaitu perempuan
sebagai penyangga yakni sifat yang menjaga, mendorong, dan memelihara, dan
laki-laki berdiri sebagai sosok yang dinamis. Jika berangkat pada
pemahaman ini, maka dapat disimpulkan bahwa kebudayaan Jawa sangat menghargai
posisi perempuan secara luhur. Jika diatas tadi dikatakan bahwa perempuan lebih
fokus pada macak, masak, dan manak, maka jika dikaitkan bahwa perempuan adalah
penyangga dalam pemahaman kebudayaan Jawa, berarti itu adalah sebuah bentuk
pembagian kerja dalam rumah tangga, karena laki-laki tugasnya adalah mencari
nafkah diluar. Dan hal tersebut juga menjadi sangat cocok dan relevan jika
dikaitkan dengan simbol ikonografis bahwa kemampuan muncul karena keseimbangan
antara laki-laki dan perempuan.[13]
diatas mengenai dialektika perkembangan kesetaraan dan keadilan gender, dapat
dipahami bahwasanya dalam tradisi masyarakat Jawa secara umum, perempuan tetap
memiliki peran dan posisi yang istimewa meskipun dalam kaitan yang berbeda-beda
akan berbeda pula hubungannya. Satu hal yang menjadi penting bahwa, seperti
yang ditulis dalam Serat Centhini, perempuan dalam masyarakat Jawa memiliki
posisi yang sama dan porsiya seimbang dengan laki-laki. Seperti dikatakan dalam konteks Jawa, perempuan diistilahkan sebagai
Siti atau tanah. Sedangkan laki-laki, diibaratkan sebagai Siwa atau api.
Penamaan tersebut sama halnya dengan filosofi Lingga Yoni, yaitu perempuan
sebagai penyangga yakni sifat yang menjaga, mendorong, dan memelihara, dan
laki-laki berdiri sebagai sosok yang dinamis. Jika berangkat pada
pemahaman ini, maka dapat disimpulkan bahwa kebudayaan Jawa sangat menghargai
posisi perempuan secara luhur. Jika diatas tadi dikatakan bahwa perempuan lebih
fokus pada macak, masak, dan manak, maka jika dikaitkan bahwa perempuan adalah
penyangga dalam pemahaman kebudayaan Jawa, berarti itu adalah sebuah bentuk
pembagian kerja dalam rumah tangga, karena laki-laki tugasnya adalah mencari
nafkah diluar. Dan hal tersebut juga menjadi sangat cocok dan relevan jika
dikaitkan dengan simbol ikonografis bahwa kemampuan muncul karena keseimbangan
antara laki-laki dan perempuan.[13]
[1] Justus M Van der Kroef. โJavanese Messianic Expectations: Their
Origin and Cultural Contextโ. Comparative Studies in Society and History,
Vol. 1, No. 4. Cambridge University Press, 1959.
Origin and Cultural Contextโ. Comparative Studies in Society and History,
Vol. 1, No. 4. Cambridge University Press, 1959.
[2] Tanti Hermawati. โKesetaraan
Gender dalam Budaya Jawaโ. Jurnal Komunikasi Massa. Vol. 1, No. 1,
Juli 2007. Hlm.20.
Gender dalam Budaya Jawaโ. Jurnal Komunikasi Massa. Vol. 1, No. 1,
Juli 2007. Hlm.20.
[3] Karkana Kamajaya. โSerat Centhini Latin Jilid I-XIIโ. (Yogyakarta: UP Indonesia, 1995). V.341: 6-7.
[4] Faturochman dan Sadli, Saparinah. โGender dan Model Penilaian Keadilanโ,
Jurnal Psikologi Sosial. Vol. 8, No. 2, 2002. Hlm.1.
Jurnal Psikologi Sosial. Vol. 8, No. 2, 2002. Hlm.1.
[5] Keadilan
dalam realita kehidupan manusia, menampakkan diri dalam empat perwujudan, yaitu
(1) keadilan tukar-menukar: kebajikan untuk selalu memberikan kepada sesamanya
sesuatu yang menjadi hak pihak lain atau sesuatu yang semestinya harus diterima
oleh pihak lain, (2) keadilan distributif: kebajikan untuk selalu membagikan
segala kenikmatan dan beban bersama dengan cara rata dan merata menurut
keselarasan sifat dan tingkat perbedaan jasmaniah dan rokhaniah para warganya,
sehingga terlaksanalah azas sama-rasa sama-rata, (3) keadilan sosial: kebajikan
untuk senantiasa memberikan dan melaksanakan segala sesuatu, yang memajukan
kemakmuran dan kesejahteraan bersama sebagai tujuan akhir dari masyarakat atau
negara, dan (4) keadilan hukum atau umum, yaitu mengatur hubungan antara
anggota dan kesatuannya untuk bersama-sama selaras dengan kedudukan dan
fungsinya untuk mencapai kesejahteraan umum. (Fudyartanta,
R.B.S. 1974. โEtika Intisari
Filsafat Kesusilaan dan Moralโ.
Yogyakarta: Warawidyani.)
dalam realita kehidupan manusia, menampakkan diri dalam empat perwujudan, yaitu
(1) keadilan tukar-menukar: kebajikan untuk selalu memberikan kepada sesamanya
sesuatu yang menjadi hak pihak lain atau sesuatu yang semestinya harus diterima
oleh pihak lain, (2) keadilan distributif: kebajikan untuk selalu membagikan
segala kenikmatan dan beban bersama dengan cara rata dan merata menurut
keselarasan sifat dan tingkat perbedaan jasmaniah dan rokhaniah para warganya,
sehingga terlaksanalah azas sama-rasa sama-rata, (3) keadilan sosial: kebajikan
untuk senantiasa memberikan dan melaksanakan segala sesuatu, yang memajukan
kemakmuran dan kesejahteraan bersama sebagai tujuan akhir dari masyarakat atau
negara, dan (4) keadilan hukum atau umum, yaitu mengatur hubungan antara
anggota dan kesatuannya untuk bersama-sama selaras dengan kedudukan dan
fungsinya untuk mencapai kesejahteraan umum. (Fudyartanta,
R.B.S. 1974. โEtika Intisari
Filsafat Kesusilaan dan Moralโ.
Yogyakarta: Warawidyani.)
[6] Justus M Van der Kroef. โIndonesia in The Modern Worldโ. (Bandung: Masa Baru, 1956).
Hlm.182-195.
Hlm.182-195.
[7] Bedhaya adalah kelompok khusus yang terdiri dari wanita yang
bertanggungjawab untuk menjaga symbol-simbol kesaktian, maupun menarikan
tari-tarian keramat keraton.
bertanggungjawab untuk menjaga symbol-simbol kesaktian, maupun menarikan
tari-tarian keramat keraton.
[8] Bennedict R. O G Anderson. โKuasa-Kataโ.
(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2016). Hlm.63.
(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2016). Hlm.63.
[9] Pingitan adalah fase yang terjadi pada
anak perempuan yang sudah berumur 10 tahun
lebih dan pada saat itu anak ini tidak boleh
berinteraksi dengan
dunia luar dan
mereka harus mau atau harus setuju dengan semua perintah yang disuruh oleh orang tua mereka.
anak perempuan yang sudah berumur 10 tahun
lebih dan pada saat itu anak ini tidak boleh
berinteraksi dengan
dunia luar dan
mereka harus mau atau harus setuju dengan semua perintah yang disuruh oleh orang tua mereka.
[10]
Sitisoemandari Soeroto. โKartini
Sebuah Biografiโ. (Jakarta:
Gunung Agung, 1976).
Sitisoemandari Soeroto. โKartini
Sebuah Biografiโ. (Jakarta:
Gunung Agung, 1976).
[11] Reggie Baay. โNyai dan
Pergundikan di Hindia Belandaโ. (Depok:
Komunitas Bambu, 2010).
Pergundikan di Hindia Belandaโ. (Depok:
Komunitas Bambu, 2010).
[12] Jajat Burhanuddin. โUlama
Perempuan Indonesiaโ. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002).
Perempuan Indonesiaโ. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002).
[13] Bennedict R. O G Anderson. Op.Cit.
Hlm.55.
Hlm.55.
Biodata Penulis
Irham Kahfi Yuniansah lahir pada September 1998 di Bondowoso, Jawa Timur. Setelah lulus SD melanjutkan pendidikan di Situbondo, SMPN 1 Panji, dilanjutkan jenjang selanjutnya di SMAN 1 Situbondo. Kini mahasiswa Ilmu Sejarah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
IG: irkahfi
WA/No Telpon: +62 82257857524
Email: irhamkahfi123@gmail.com
REFERENSI
Anderson, Bennedict R. O G. 2016. โKuasa-Kataโ. Yogyakarta: Mata Bangsa.
Baay, Reggie. 2010. โNyai dan Pergundikan di Hindia Belandaโ. Depok: Komunitas Bambu.
Faturochman dan Sadli, Saparinah. 2002. โGender dan Model Penilaian Keadilanโ, Jurnal Psikologi Sosial. Vol. 8, No. 2.
Fudyartanta, R.B.S. 1974. โEtika Intisari Filsafat Kesusilaan dan Moralโ. Yogyakarta: Warawidyani.
Hermawati, Tanti. 2007. โKesetaraan Gender dalam Budaya Jawaโ. Jurnal Komunikasi Massa. Vol. 1, No. 1, Juli.
Jajat Burhanuddin. 2002. โUlama Perempuan Indonesiaโ. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kamajaya, Karkana. 1995. โSerat Centhini Latin Jilid I-XIIโ. Yogyakarta: UP Indonesia.
Soeroto, Sitisoemandari. 1976. โKartini Sebuah Biografiโ. Jakarta: Gunung Agung.
Van der Kroef, Justus M. 1956. โIndonesia in The Modern Worldโ. Bandung: Masa Baru.
Van der Kroef, Justus M. 1959. Javanese Messianic Expectations: Their Origin and Cultural Context. Comparative Studies in Society and History, Vol. 1, No. 4. Cambridge University Press.
Tinggalkan Balasan