Harjakasi: Memaknai Situbondo dari Alun-Alun

jatimpos.com
Oleh: Imam Sufyan*
Sesekali
cobalah berkunjung di sekitaran alun-alun Situbondo. Di sana akan anda temukan
tulisan Situbondo Kota Santri. Di atas tulisan Situbondo terdapat lambang Pancasila. Di atasnya lagi terdapat patung Garuda yang mengepakkan sayapnya
seperti ingin terbang dengan kekuatan penuh sambil menoleh ke arah kanan atau
ke arah timur.
Sebagai
orang yang awam tentang arsitek dan simbol, saya berusaha memaknai  -cocoklogi- simbol-simbol tersebut menurut
kacamata saya yang minus empat ini. Simbol yang saya maksud itu adalah lambang
Garuda, Pancasila dan (kata) Situbondo. Maka, saya akan menghubungkan ketiganya
dengan ihwal santri.
Pertama,
ekspresi Garuda yang progresif revolusioner. Itu adalah tanda, bahwa kota yang
kita cintai ini memiliki tekad yang kuat untuk terbang tinggi melebihi
daerah-daerah lain. Kendalanya, ia tidak melihat ke depan. Melainkan ke arah
timur yang menurut kondisi geografis nya terdapat kota Banyuwangi sebagai
tetangga dekat. Bukankah untuk bergerak maju kita harus fokus menatap ke depan?
Terbang ya terbang aja, gak usah
tolah-toleh ke kanan atau kiri. Hehe..
Tapi,
saya malah membayangkan Garuda tersebut seolah-olah menatap ke bawah, yaitu menunduk.
Ia seolah berubah menjadi Garuda yang bersifat zuhud, rendah diri, tidak ujub
dan tawaduk.  Apakah itu artinya
pemerintah tunduk kepada instruksi Kiai?  
Kedua,
lambang Pancasila. Kalau menurut pakar bahasa Indonesia, keberadaan lambang
Pancasila ini adalah pemborosan kata. Keberadaan lambang Garuda sebenarnya
sudah cukup mewakilinya. Tetapi ya ngga kenapa lah, boros sedikit ngga kenapa
kok. Kalau dalam disiplin ilmu gramatikal arab, yaitu nahwu, keberadaan lambang
Pancasila sama seperti taukid yang memiliki tugas sebagai penguat. Penguat dari
lambang Garuda. Agar semakin nasionalis. Hubbul
Wathan minal iman.
Namun,
saya lebih sepakat jika ornamen di bawah lambang Garuda diganti dengan simbol-simbol
yang bersifat lokal. Agar karakteristik lokalnya muncul. Misal, tali tampar.
Bukankah Situbondo sangat dekat dengan laut? Karena dekat dengan laut otomatis
banyak sekali masyarakat Situbondo yang berprofesi sebagai nelayan. Kemudian,
ditambah simbol pohon mangga atau pohon asem. Karena keduanya lebih dekat
secara emosional dengan Situbondo.
Kemudian,
simbol kopyah, surban ataupun tasbih. Simbol tersebut tentu saja menampilkan
khas lokal yakni kota dengan beberapa pondok pesantren besar. Terakhir, simbol
padi dan kapas. Keberadaan padi sangat penting di Situbondo. Karena, masa depan
tajhin palappa bergantung dengan
kondisi padinya.
Ketiga,
kata Situbondo. Saya berusaha untuk bersikap serius memaknai (kata) Situbondo. Situbondo
sudah memasuki umur ke-201. Di umur yang sudah dua abad ini, Situbondo –dalam hal
ini pemerintahnya- harus sekali saja berpikir sejenak tentang keberadaan
warganya. Bila perlu, mengakui secara jujur bahwa keberadaan
komunitas-komunitas kecil seperti GSM,KPMS, Situbondo kreatif, Kampung Langai
adalah salah satu kekayaan yang dimiliki Situbondo. Mereka adalah wisata
terbaik yang hadir tanpa menggelontorkan dana yang banyak.
Mereka
adalah pemantik bagi orang luar untuk berkunjung ke Situbondo. Mereka adalah
wisata komunal yang mampu menaikkan nilai-nilai kebudayaan Situbondo. Jika keberadaan
mereka dibiarkan begitu saja dan tak dipikirkan ya gak  kenapa juga. Mungkin
Situbondo lagi kaso nak!!
Dan
terakhir, sebagai Kota Santri. Ia harus menyadari bahwa pelajaran agama yang di
dapat di pesantren sedikit banyak mempengaruhi terhadap keimanan mereka. Tidak
goyah terhadap keberadaan tempat-tempat pelacuran misalnya. Justru keberadaan
tempat-tempat pelacuran tersebut menjadi ladang uji coba bagi keimanan mereka.
Jangan sampai, keimanan kita yang lemah, malah yang disalahkan tempat-tempat
pelacuran. Itu kan agak me-negang-kan, bang!!!
Akhirnya,
di hari jadi
 Kota Situbondo ini, perlu kiranya kita berpikir sejenak
tentang kota kecil yang memiliki mimpi terlalu besar. Sekian.
*) Penulis merupakan Driver Aplikasi Joker sekaligus orang yang menolak menjadi pamannya Budayawan Situbondo.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cerpen Moh. Jamalul Muttaqin

Cerpen: Takdir

Apacapa Baiq Cynthia

Kepingan Kenangan di Kota Santri Situbondo

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Situbondo Lebaran (Pesta) Bakso

Ahmad Sufiatur Rahman Apresiasi

Puisi Relief Alun-Alun Situbondo

Apacapa Fendi Febri Purnama Musik Ulas

Langngo: Ekspresi Keroncong Kekinian yang Membawa Warna Budaya

Uncategorized

Ini Dia Perbedaan Mas Rio dan Teh Rio

Apacapa Jamilatul Hasanah

Sports-Sciences: Kolaborasi Pembelajaran Olahraga dan Fisika

Cerpen Dody Widianto

Cerpen: Pengilon Kembar

Apacapa

Yusuf and Beny Siap Menyambut Tour Manca Negara Pertama di Malaysia

Cerpen Ruly R

Cerpen Kota Tanpa Telinga

Buku Junaedi Ulas

Jangan Tinggalkan Desa, Karena Desa Layak untuk Diperjuangkan

Advertorial

Memiliki Banyak Rekening Bank, Memangnya Perlu?

Apacapa Madura Syaif Zhibond

Lancèng Takaè’

Apacapa Feminis

Body Shaming: Pelecehan, Bukan Lelucon

Mored Moret Puisi RM. Maulana Khoeru

Puisi: Proposal Rindu Karya RM. Maulana Khoerun

Cerpen Irfan Aliefandi Nugroho

Cerpen: Tubuh Berkarat

Fathur Rahman Prosa Mini

Menanti Sebuah Tulisan

Buku Ulas

Ulas Buku: Jalan Ini Rindu Karya K.H.R. Ahmad Azaim Ibrahimy

carpan Helmy Khan Totor

Carpan: Sapo’ Mardha

Choirun Nisa Ulfa Prosa Mini

Prosa Mini – Irama Kematian