Kemerdekaan Sebatas Kalender dan Puisi Lainnya

KEMERDEKAAN SEBATAS KALENDER

Delapan puluh tahun negeri ini merdeka.
Di jalan-jalan, bendera merah putih
berkibar seperti jemuran baru dicuci.
Di dada, entah kenapa
warna itu sering tak terlihat.

Orang bertanya
apakah merdeka itu hanya upacara,
menyanyikan lagu dengan suara parau,
dan lomba makan kerupuk yang tak pernah kenyang?

Kami merdeka, katanya,
tapi berita sore selalu membawa kabar
tentang orang-orang yang pandai mencuri
dari piring bangsa sendiri.
Mereka tidak pernah ikut lomba,
tapi selalu dapat hadiah juara.

Mungkin merdeka itu
bukan sekadar tanggal di kalender,
bukan sekadar bendera di tiang bambu.
Merdeka adalah ketika
rakyat kecil bisa tidur tenang
tanpa dihantui harga beras dan janji palsu.

Dan kita tahu,
delapan puluh tahun bukan akhir,
tapi pertanyaan yang terus berulang
apakah kita sudah merdeka,
atau hanya pandai merayakannya?

Besuki, 17 Agustus 2025

MERAH PUTIH TAK KAN PUDAR

Delapan puluh tahun negeri ini merdeka.
Di jalan raya, bendera merah putih
berkibar seperti doa yang dilipat angin.
Kami tahu, warnanya tak akan pernah berubah
di hati kami, meski keringat dan debu menutupinya.

Tapi belakangan, ada kehebohan lain:
bendera Jelly Roger ikut melambai,
bendera tengkorak yang dulu hanya lucu
di layar televisi dan rak komik anak-anak.
Kini ia seperti menyindir,
berteriak tanpa suara:
“Hei, negeri ini jangan-jangan
sudah jadi kapal bajak laut besar.”

Wahai para penguasa,
jangan cepat menutup telinga.
Buka mata, buka hati,
baca pesan dari kibaran Jelly Roger itu:
ia bukan sekadar hiasan kostum cosplay,
ia adalah satire yang menertawakan kita
bahwa korupsi, tipu muslihat, dan kerakusan
sudah menjadikan negeri seperti lautan
yang penuh bajak laut berdasi.

Kami tetap percaya,
bendera negara tak akan pernah berubah
di dada rakyat kecil yang sederhana.
Tapi jangan biarkan merah putih
terlihat lusuh di tiang,
sementara bendera bajak laut
kian gagah di layar berita.

Besuki, 17 Agustus 2025

MERDEKA ITU BUKAN BALIHO

Tan Malaka berdiri di alun-alun,
menatap baliho raksasa bertuliskan MERDEKA!
huruf kapital, tebal,
tapi dicetak pakai tinta utang luar negeri.

Ia tersenyum pahit:
“Beginikah arti merdeka?
Rakyat disuruh tepuk tangan,
sementara meja-meja rapat dipenuhi nasi kotak
dan mulut-mulut penuh jargon.”

Merdeka, katanya,
bukan sekadar pejabat sibuk menggunting pita,
sementara buruh menggunting umur di pabrik
tanpa upah lembur.
Bukan pula anak sekolah hafal proklamasi,
tapi esoknya harus merayap di kolong jembatan
untuk mencari sinyal Wi-Fi gratis.

Lihatlah mereka yang duduk di kursi empuk,
gajinya seratus juta,
kadang hadir hanya untuk tidur dalam rapat,
tapi berani menyebut guru
yang membuat mereka bisa membaca laporan
sebagai beban negara.

Tan Malaka terkekeh getir:
“Kalau begitu, siapa beban sesungguhnya?
Apakah guru dengan kapur yang aus
atau pejabat dengan pena Montblanc
yang cuma menandatangani kontrak-kontrak kosong?”

Merdeka, kata Tan Malaka,
bukan panggung yang penuh spanduk.
Merdeka adalah nasi yang cukup di piring rakyat,
tanah yang tak dirampas,
dan keadilan yang tak hanya sekadar
slogan di dinding kementerian.

Besuki, 17 Agustus 2025

Penulis

  • Galih P Widodo lahir di Jombang empat puluh tahun silam. Saat ini berdomisili di Desa Kalimas, Kecamatan Besuki, Kabupaten Situbondo. Ia berprofesi sebagai guru di SD Negeri 2 Plalangan. Dalam kesehariannya, aktif dalam kegiatan literasi, menulis, dan membaca, serta memiliki minat besar pada bidang seni dan budaya. Selain mengabdi sebagai pendidik, ia juga dipercaya sebagai Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Situbondo (DKS) dan merupakan Founder Rumah Pena Sastra (RPS).


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa Esai Wahyu Umattulloh Al

Mulailah Sadar Akan Peduli Alam

Apacapa covid 19 Marlutfi Yoandinas

Di Tengah Pandemi Kita Bisa Apa?

Buku Ulas

Cinta Tak Pernah Tepat Waktu dan Badai Kenangan

Apacapa Ipul Lestari

Taman Hidup; Suatu Ketika di Tahun 2017

Agus Hiplunudin Buku Ulas

Politik Era Digital karya Agus Hiplunudin

Ipul Lestari Puisi

Alisa, Kamulah Puisiku

Apacapa Denny Ardiansyah

Menjelajah Selawat Nariyah di Situbondo

Apacapa Muhammad Hajril takanta

Alasan Kenapa Perempuan Dipilih Sebagai Tunggu Tubang dalam Tradisi Adat Semende

Apacapa Moh. Imron

Museum Balumbung: Para Pendekar Masa Lalu

Cerpen Moh. Jamalul Muttaqin

Cerpen: Tentang Pelangi

Buku Junaedi Ulas

Jangan Tinggalkan Desa, Karena Desa Layak untuk Diperjuangkan

Film/Series Ulas

Jika Marlina Terlahir di Situbondo

Apacapa Muhammad Lutfi

Tiga Dekade Upaya Liverpool Melepas Jerat Kutukan

Puisi Raeditya Andung Susanto Sastra Minggu

Puisi: Sabda Hujan

Cerpen Nur Dik Yah

Cerpen: Sepasang Pemburu di Mata Ibu

Ahmad Zaidi Apacapa

Sebuah Usaha Menulis Surat Lamaran

Apacapa Esai Jamilatul Hasanah

Gemalaguna: Menjaga Alam, Menjaga Manusia

Arum Reda Prahesti Cerpen

Cerpen : Nyata dan Maya

Apacapa Esai Rahman Kamal

Dik, Mengapa Kau Tak Mau Menemaniku ke Kampung Langai Malam Itu?

Cerpen

Cerpen : Hari yang Baik untuk Menikah