Kenapa Aku, Siapa Aku?

20 November 2017
Pagi buta, aku termenung sendu menatap kaca jendela bangunan tua ini.
Di kala terduduk melihat cermin, Mataku merah  dan longgar serasa copot.
Jari jemari ini kaku tak berdaya. Aku terkejut. Kenapa Aku ini?
Kenapa Aku? Aah.
Kenapa Aku?
Jarum jam semakin singkat berputar, aku masih saja termenung .
Srreet,, bayangan merah melintas kala aku memejamkan mata.
aku hendak berjalan, tapi apes , aku ambruk lalu terkapar, lunglai  di lantai.
Sejenak aku diam harus  mengulang mimpiku tadi, apakah karena itu??
Lama. Lama. Sejam berlalu, aku sadar, terbayang-bayang lagi sosok merah itu.
Aku coba berteriak, namun sial, di sekitarku tak ada jawaban.
Bahkan tak ada yang peduli,
Oleh : Ahmad Syauqil Ulum
Sadar dengan diri sendiri merupakan ingat dengan tujuan mengapa diciptakan. Manusia salah satu penciptaan makhluk yang paling sempurna dibandingkan makhluk lainnya. Akal; guna berpikir, otot; guna media untuk kerja keras, panca indera; media penggerak kegiatan Manusia. Akan tetapi semua penyokong tersebut disia-siakan oleh kita. Tangan untuk menulis, berkarya namun mencuri, Mata untuk membaca dan ngaji Al-qurโ€™an eh malah melihat maksiat dan sibuk ngegawai, Telinga untuk mendengarkan lantunan kalam Allah SWT. dan azan malah tuli acuh tak acuh, Mulut untuk mengucapkan salawat kepada baginda Nabi SAW. dan melafalkan kefasihan kalimat Al-qurโ€™an malah mencaci, menghibah orang lain.
Sekilas, apabiala sudah terlanjur terjadi hal yang sedemikian rupa, siapa yang harus disalahkan dan patut segera sadar,  justru kitalah perlu berbenah dan menyadari secara total terhadap nikmat dan karunia dari Allah SWT. Agar mereka tidak menjauh bahkan memusuhi. Simbol merah dalam puisi tersebut termasuk noda kesalahan setiap individu baik dari tingkah laku maupun lisan mereka yang harus mendapatkan balasan setimpal.
Ketika manusia sudah menginjak statusnya sebagai pelupa dan khilaf, maka mereka semua pasti akan melakukan tindakan apapun terhadap orang lain. Kalimat โ€œjemari ini kaku tak berdayaโ€ dalam bait tersebut mengindikasikan bahwa dia sebagai pencuri, dimana kelak di akhirat ilustrasi tersebut laiknya terpotong-potong kemudian kembali semula terus demikian. Nahas sekali, segeralah bertaubat kawan dan hindarilah jangan sampai ini jadi profesi keseharian kalian. Bagaimana pedihnya siksa di neraka itu.
โ€œAku berteriak, di sekitar tak ada jawabanโ€, nasibnya sangat dikhawatirkan, bertubi-tubi mereka disiksa tanpa ada yang menyapa, menemani bahkan merawatnya di akhirat karena hanya amal baiklah yang setia selalu membantunya. Coba bayangkan, sudah berapa amal baik yang kita lakukan? cukup renungkan saja apa yang kau lakukan selama ini di dunia berbuat baikkah atau tidak.  
Lantas, Kenapa Aku?
Apakah aku salah?
Lalu Siapa Aku? Aku terdiam lagi..
Aku bertanya, bertanya, bertanya kembali,,
Kenapa aku?
Hari demi hari, pagi, petang. Aku masih saja terpaku meratapi kejadian ini
Sampai tubuhku jadi dekil, dekil, hanya untuk mengemis jawaban demi meredakan kondisi dan mendamaikan jati diriku.
Bisakah bayang itu kembali tuk menguak misteri yang aku rasa
Inikah akhir kebahagiaanku?
Kenapa Aku? Siapa Aku?
Baliklah, jawab singkat saja.
Dikala itu penyair menggambarkan sosok manusia yang gelisah, bingung meratapi hidupnya sendiri tanpa seorang pun yang mengetahuinya. Dia selalu bertanya kepada ruang sunyi di sekitarnya namun tidak kunjung menyahuti sapaan, jeritan bahkan tangisannya. Kumal, menangis penuh penyesalan, sendiri sudah barang tentu waktu demi waktu dia jalani. Bahkan siksaan bertubi dan bertubi. Di alam sana yang diharapkan adalah amaliyah baik yang dilakukan selama di dunia. Hidup sendiri, sendiri, sendiri dan tak ada siapapun kecuali amal yang akan menemani kita. (asy).

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Buku Monique Clariza Resensi Ulas

Resensi: Jejak Kelahiran Manusia Lewat Adaptasi Grafis

Cerpen Norrahman Alif

Cerpen: Jurang Ara, Lahirnya Para Perantau

Penerbit

Buku: Mata Ingatan

Cerpen Muhtadi ZL

Cerpen: Perempuan yang Suka Melihat Hujan

Ahmad Maghroby Rahman Apacapa

Rekacipta Upacara Hodo: Belajar Dari Lenong

Advertorial

Perkembangan Tipe-tipe Kamar Mandi

Ahmad Zaidi Apacapa

Merindukan Pariopo, Merindukan Hujan

Apacapa Kampung Langai Situbondo Wilda Zakiyah

Festival Kampung Langai 6: Pertemuan dengan Sosok yang Lain

Fikri Mored Moret

Cerbung: Fikri dan Kisah-Kasih di Sekolah (Part 1)

Apacapa Moh. Imron

Lahir: Menjadi Seorang Ayah

Penerbit

Hai Situbondo

Buku Thomas Utomo Ulas

Ulas Buku: Perjalanan Melarikan Luka

Apacapa Esai Imam Sofyan

Harjakasi: Memaknai Situbondo dari Alun-Alun

Cerpen Surya Gemilang

Cerpen: Dinding-Dinding Rumah Seorang Pembunuh

Alex Apacapa

Sebuah Kado di Hari Pernikahanmu

Agus Hiplunudin Cerpen

Cerpen: Janda

Ahmad Zaidi Cerpen

Cerpen: Tanjung Kesedihan

Apacapa Rusdi Mathari

Mengapa Harus Puasa?

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Pemimpin Redaksi takanta.id dan Kebahagiaannya Akhir-Akhir Ini

Alif Febriyantoro Cerpen

Cerpen: Fragmen Ingatan