Mata Darah dan Puisi Lainnya Karya Nuriman N. Bayan

pxhere.com/


PUISI PUISI NURIMAN N.BAYAN
DUA WAJAH HUJAN, 2
Hujan dari matamu kau tak jua tahu kapan jedanya
padahal bibirmu makin terbiasa menelan rasa asin
hujan dari matanya kau selalu tahu kapan jedanya
meski kau tak jua memahami makna dari rintiknya
Morotai, 28 Mei 2018.
MATAKAU
matamu
mataku
matakau
hati hati
matamu
mataku
Morotai, 28 Mei 2018.
MATA DARAH
Lagi-lagi mata kita berdarah
di manakah ibu tertidur saat
tubuh pecah dan tangis renyah?
sedang Tuhan— maha pengasih
maha penyayang.
Morotai, 2018.
PULANGLAH KEKASIH
Masihkah kau ingat jalan menuju hatiku?
pulanglah, pulanglah kekasih. laut masih
sunyi dan sungai belum terlalu jauh
menepikan cerita daun kepada laut.
Morotai, 26 Mei 2018.
PANTAI
Kau itu pantai
aku butuh
banyak angin
untuk sampai.
Morotai, 22 Mei 2018.
SILSILAH DI TELUK
Ketika wajah orang orang
penuh sesak dihantam bedak
aku pulang-
mencari silsilah di teluk
takkan kembali-
sebelum sampai di lekuk
sebelum tahu apa itu peluk?
Morotai, 18 Mei 2018.
DI TEBING HATIMU
Di tebing tebing hatimu
ada sungai. airnya
bening dalam hening
ada kening meski kering.
Di tebing tebing hatimu
ada sungai. airnya
kering dalam bening
aku hening pada kening.
Morotai, 17 Mei 2018.
ADAKAH
Adakah yang harus dikubur?
sedang cinta tak pernah mati
Morotai, 17 Mei 2018.
KAKI KAKI HUJAN
tak ada
sangka
hujan menitip jejak

malam menyimpan
lebih dalam
dan
esok
adakah yang menetap?
ketika
malam lelap
 

dan
kaki kaki hujan
menggaris
di tanah jauh.
Morotai, 10
Mei 2018.
AYAH MENANAM PALA
Ayah menanam pala
untuk dada dan kepala
lambang sahaja dan sederhana
ketika lupa dan kau buat merana
jangan kira tak ada bencana dan kelana.
Morotai, 06 Mei 2018.
AKU PERANTAU
Aku perantau
mencari laut
di sungaimu
membawa hidup
menulis mati.
Morotai, 2018.
MESKI MUSIM
Bahkan ketika puisi tak lagi bernyawa
akan kutidurkan jiwaku di dalamnya
menjadi kali aru yang selalu malar
meski musim berkali-kali panas
dan tanah berkali-kali retak.
Morotai, April 2018.
JANGAN LAGI MENGELUH TENTANG CINTA
Jangan lagi mengeluh tentang cinta
atau rindu yang tak pernah tunai
gerimis sudah cukup banyak jatuh
sebagai hujan, dan pohon telah tumbuh.
Jangan lagi mengeluh tentang cinta
atau rindu yang kau bilang dendam
malam sudah cukup banyak menutup
mata kita, dan pagi telah mengajarkan
tata cara kita bersyukur kepada Tuhan.
Morotai, 29 April 2018.
Tentang Penulis

Nuriman N. Bayan atau lebih dikenal dengan Abi N.
Bayan lahir di desa Supu Kec. Loloda Utara, Kab. Halmahera Utara, Provinsi
Maluku Utara, pada 14 September 1990. Anak dari Hi. Naser Dano Bayan dan Rasiba
Nabiu. Saat ini menjadi Pembina Komunitas
Parlamen Jalanan Maluku Utara
(Komunitas Teater) dan Komunitas Penulis Tepi, juga sebagai guru di MAS Nurul Huda
Gotalamo. Kini tinggal di Morotai.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mored Rini Yulianti

Cerpen Mored: Sang Keramat Batu Pandhusa

Cerpen Sukartono

Cerpen Gelisah

Apacapa mashudi

Gerbang Faqih fid Din

Joe Hasan Puisi

Puisi – Bertanya Pada Minggu

Agus Hiplunudin Apacapa

Rahasia Hidup Bahagia Ala-Kaum Stoik

Apacapa Rahman Kamal

Petani itu Pekerjaan Paling Enak di Dunia, Tapi Kenapa Gak Diminati Gen Z?

Tips/Trik

Sabun Mandi Bisa Membuat Kulit Kering, Fakta atau Mitos?

Madura Resensi

Resensi: Ajâgâ Alas Ajâgâ Na’Poto

Cerpen Moh. Jamalul Muttaqin

Cerpen: Tentang Pelangi

Uncategorized

Memaknai Langgar Dalam Perspektif Sosiologi Agama

Buku Indra Nasution Sastra Ulas

Ulasan dari Kisah Cinta Romeo dan Juliet

Berita

Seorang Musisi Melamun: Ide Semakin Mengalun

Puisi

Puisi : Revallina Karya Arian Pangestu

fulitik Marlutfi Yoandinas masrio

Buka Bersama Seniman: Mas Rio Didoakan Menjadi Bupati Situbondo

Cerpen Kiki Sulistiyo

Cerpen: Batu Bolemeta

Uncategorized

Sarapan Praktis Tidak Ribet

Buku Resensi Thomas Utomo Ulas

Ulas Buku: Menguak Lapis-Lapis Kebohongan

Cerpen Sholikhin Mubarok

Cerpen : Asti Karya Sholikhin Mubarok

Achmad Faizal Buku Resensi Ulas

Resensi Ada Apa dengan China?

Buku Dani Alifian Ulas

Ulas Buku: Wajah Pantura, dan Kisah Seks Komersial