
Politik sering dianggap kering dan jauh dari nilai-nilai luhur. Namun, saat seorang pemimpin memilih jalan kebudayaan dan spiritualitas sebagai narasi kepemimpinannya di situlah anggapan itu runtuh. Mas Rio, sebagai Bupati Situbondo hendak melantangkan corak kepemimpinan yang berbeda. Saat banyak pemimpin yang memilih untuk tampil formal dan teknokratis, Mas Rio justru ingin turun langsung ke masyarakat serta membersamainya dengan menggelar pujian kepada Nabi dalam bentuk Burdah yang dipimpin langsung oleh KHR Ahmad Azaim Ibrahimy. Acara Gema Selawat ”Burdah Keliling Laut” itu tentu adalah langkah yang menyegarkan.
Sebagai anak muda, saya tidak melihat ini hanya sebagai kegiatan seremonial biasa, bisa jadi ini sebagai bentuk politik yang membumi. Politik yang menyentuh langsung sisi kemanusiaan dan spiritual masyarakat. Setidaknya ada lima hal yang saya lihat dari gaya kepemimpinan Mas Rio, antara lain:
1. Politik Tak Harus Kaku: Membaca Burdah Menjadi Bagian Antara Doa, Budaya, dan Politik
Pertama, kita perlu memahami dulu bahwa politik tidak melulu soal kekuasaan bahkan persoalan kontestasi elektoral. Politik sejatinya merupakan seni mengelola masyarakat, seni membangun keterhubungan antara pemimpin dan rakyat, serta berkaitan dengan sistem daan nilai. Ketika Mas Bupati Rio memilih untuk menghidupkan tradisi Burdah yang pada saat itu bertepatan di Dusun Mimbo, ia juga ikut andil untuk bersama-sama merawat kearifan lokal.
Burdah merupakan puisi berupa pujian bagi Nabi Muhammad SAW dalam karya Imam al-Bushiri yang mana hal ini bukan hanya berkaitan dengan teks sastra klasik Islam, tetapi juga melekat dengan warisan budaya spiritual yang telah lama hidup di masyarakat khususnya pesantren. Burdah bukan hanya dibaca, tetapi dihayati. Ia mengandung cinta, harapan, dan refleksi diri. Dan ketika bacaan itu dilakukan secara keliling, bukan hanya makna spiritual yang tersebar, tetapi juga terdapat energi sosial yang menyatukan.
Mas Rio tampaknya sadar bahwa rakyat tidak hanya butuh pemimpin yang bekerja secara teknokratis, tetapi juga yang mampu menyentuh batin dan budaya mereka. Dalam dunia yang makin pragmatis ini, membaca kegiatan Burdah menjadi bagian dari tindakan politik yang sangat kontemplatif.
2. Sinergi Ulama dan Umara: Kolaborasi Membawa Keberkahan
Kehadiran KHR Ahmad Azaim Ibrahimy selaku pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah-Syafi’iyah Sukorejo dalam kegiatan ini menambahkan bobot yang luar biasa. Bagi masyarakat pesantren dan santri, KHR Ahmad Azaim Ibrahimy bukan hanya ulama besar, tetapi beliau merupakan simbol kebijaksanaan dan keikhlasan. Kolaborasi antara KHR Ahmad Azaim Ibrahimy dan Mas Bupati Rio tidak bisa dipandang sebagai sekadar pencitraan. Di balik itu, ada sinergi penting yang jarang kita lihat secara utuh yakni: ulama sebagai penjaga moral dan nilai, umara sebagai pengelola struktur dan kekuasaan.
Dalam sejarah peradaban Islam, kemajuan terjadi ketika dua unsur ini berjalan beriringan. Ketika pemimpin mengambil nasihat dari orang bijak, dan ketika para ulama mendampingi kekuasaan tanpa harus larut dalam politik praktis. Mas Rio menghidupkan kembali model itu dengan cara yang sangat elegan.
Di sini, politik menjadi arena kolaborasi, bukanlah dominasi. Pemerintahan tidak lagi eksklusif milik teknokrat, tetapi juga dibasahi oleh nilai-nilai keagamaan dan tradisi lokal. Ini adalah bentuk politik yang tidak hanya menjanjikan pembangunan fisik, tapi juga pembangunan batin.
3. Membumikan Kepemimpinan, Meninggikan Rakyat
Ada hal menarik ketika seorang bupati memilih untuk turun langsung dalam kegiatan membaca Burdah, bergerak keliling dari satu tempat ke tempat lain. Bagi saya, ini adalah bentuk politik kehadiran. Dimana pemimpin tidak hanya hadir secara administratif, tetapi juga secara emosional dan spiritual.
Kondisi ini kontras sekali dengan model kepemimpinan lama yang seringkali elitis dan berjarak. Di banyak tempat, kita masih menemukan pemimpin yang hanya muncul saat kampanye atau saat krisis. Tapi Mas Rio mengambil pendekatan yang berbeda. Ia menjadikan kegiatan religius sebagai jembatan emosional, membangun koneksi batin antara pemimpin dan warganya. Dan di sinilah kekuatan narasi politik yang manusiawi, politik yang hadir, bukan sekadar memerintah. Dengan cara ini, rakyat bukan hanya merasa dipimpin, tapi juga dihargai dan dirangkul.
4. Politik Kebudayaan: Sebuah Paradigma yang Patut Ditumbuhkan
Sebagai bagian dari anak muda, kita sudah terlalu lama dijejali model politik transaksional. Politik yang orientasinya hanya pada suara, kursi, dan kekuasaan. Padahal ada model lain yang bisa kita dorong yakni salah satunya politik yang membangun kesadaran, identitas, dan nilai. Sehingga inilah yang disebut sebagai politik kebudayaan. Kehadiran Mas Rio melalui agenda Burdah Keliling Laut, sedang membangun panggung tersebut. Hal ini merupakan bagian dari bentuk soft power yang sangat kuat. Bayangkan, bagaimana satu puisi klasik dapat menjadi sarana untuk membangun kebersamaan, menguatkan identitas lokal, hingga mempererat solidaritas sosial. Ini bukan soal nostalgia budaya, tetapi soal ketahanan sosial di tengah gempuran disinformasi, polarisasi, dan apatisme politik.
Di titik ini, Mas Rio memberi alternatif pandangan bahwa politik bukan hanya tentang menang atau kalah, tapi juga tentang memaknai nilai-nilai hidup yang akan diwariskan ke generasi berikutnya.
5. Apa yang Bisa Dipelajari oleh Anak Muda?
Sebagai generasi muda, penulis merasa banyak sekali pelajaran yang bisa diambil dari kegiatan ini. Bahwa, menjadi pemimpin itu tidak perlu selalu tampil formal dan kaku. Bahwa ada cara memimpin yang membumi, bersahaja, dan tetap berdampak dan itu terlihat dari sosok Mas Bupati Rio. Penulis belajar bahwa politik bisa beriringan dengan nilai-nilai keagamaan dan budaya. Justru ketika politik bersentuhan dengan spiritualitas dan tradisi seperti menemukan wajah terbaiknya.
Anak muda sering menganggap politik sebagai sesuatu yang kotor dan menjijikkan. Tapi Mas Rio menunjukkan bahwa politik bisa dijalankan dengan etika, dengan cinta, bahkan dengan puisi. Bayangkan, siapa sangka pujian kepada Nabi bisa menjadi alat bangun peradaban?
Akhirnya, saya ingin menyampaikan satu hal penting yakni posisi politik yang paling kuat bukanlah yang paling lantang, tapi yang paling menyentuh hati. Kegiatan Burdah Keliling adalah contoh nyata bahwa kekuasaan bisa berjalan seiring dengan keindahan, dengan spiritualitas, dan dengan kepekaan sosial. Mas Rio telah menunjukkan kepada kita bahwa menjadi pemimpin harus mampu merawat, mendengar, dan menyatu dengan masyarakat.
Dan mungkin, inilah saatnya kita membayangkan politik di masa depan. Politik yang tidak mengancam, tapi mengajak. Politik yang tidak menindas, tapi menginspirasi. Politik yang tidak hanya sibuk mencari kekuasaan, tapi juga sibuk menanam nilai. Karena di ujungnya, yang akan dikenang bukan seberapa tinggi jabatannya, tapi seberapa dalam hal tersebut dapat menyentuh jiwa rakyatnya.
___________
Referensi :
Nurhalisa, S. (2023). Analisis Kritis Qaṣīdah Burdah Karya Imam Al-Bushiri dalam Perspektif. Ajamiy : Jurnal Bahasa Arab dan Sastra Arab, 17-29.
Dahlia, D., Liadi, F., & Husni, M. (2022). Tradisi Burdah Keliling Di Kalimantan Tengah: Studi Kasus Desa Pegatan. Syams: Jurnal Kajian Keislaman, 3(1), 61-74.
Ayu, D. M., Arifin, S., Fajeri, S., & Zubaidillah, M. H. (2023). NILAI-NILAI FILOSOFIS DALAM TRADISI BURDAH KELILING. Al-Ma’had: Jurnal Ilmiah Kepesantrenan, 1(02), 175-194.
Fauziah, N. (2025). Analisis Tradisi Burdah Keliling Dalam Perspektif Ushul Fiqih: Antara Budaya Dan Maslahah. Indonesian Journal of Islamic Jurisprudence, Economic and Legal Theory, 3(1), 230-239.
Azmi, M. M., & Zulfiana, A. F. (2023). Membumikan Islam Moderat: Studi Internalisasi Nilai Islam Moderat Bagi Generasi Muda. Raudhah Proud To Be Professionals: Jurnal Tarbiyah Islamiyah, 8(1), 28-42.
Fiqi, A. (2025, August). arahpena.com. Retrieved from Ide Kyai Azzaim! Shalawat Burdah Keliling Laut di Situbondo Bakal Jadi Agenda Internasional: https://www.arahpena.com/berita/77915700622/ide-kyai-azzaim-shalawat-burdah-keliling-laut-di-situbondo-bakal-jadi-agenda-internasional
Tinggalkan Balasan