Puisi: Aku Ingin Pergi ke Suatu Tempat yang Tanpa Sendu

 

Puisi-puisi
Mohammad
Ghofir Nirwana

Sayur Kelentang Ibu

 

Sayur kelentang bergeming di atas meja

Kuahnya hening, menyaksikan wajah-wajah yang entah

 

“Ayo dimakan, sayur ini demi masa depanmu,

Bumbunya tercipta dari harapan-harapan”

Ibu tersenyum begitu sempurna

Hingga mencipta mantra-mantra ;

 

Sayur kelentang berpusar

Begitu dahsyatnya

Berusaha menyedotku

Masuk ke dalam mangkuk

Untuk bergumal dengan

Asam, labu, lengkuas, gula, garam dan royco

 

Ayah tersenyum

Dan mengangguk

Membelai mantra Ibu.

 

Pusaran semakin dahsyat

Aku mengerang

kesakitan

Berusaha menahan.

“Tolong, sayur kelentang ini

Akan membunuhku”

 

Ayah nampak kasihan

Mengusap pundakku

Sayur kelentag berhenti berpusar.

 

*

 

Ketika ibu mulai menyimpan senja di jantungnya

Dan ayah tak lagi makan kecuali dengan doa-doa

 

Aku mulai menyukai sayur kelentang

Tapi kali ini tak berpusar lagi dan

Terlihat biasa-biasa saja

Mungkin sudah kehilangan mantra.

 

Malang, 2024

 

 

 

Mengentas
Jemuran

 

hari mulai petang

ibu mengentas
jemuran sebelum dicuri

dan dijadikan ritual
setan

jenglot suka
merobek-robek pakaian

hingga telanjang

 

suatu saat jemuran terlambat
terentas

suara serigala
mengaum di kepala ibu

pohon-pohon
menjulang semakin purba

mengakar menembus
tanah

 

jemuran
bergelantungan di halaman rumah

ibu mengentasnya
sebelum petang tiba

 

Malang, 2024

 

 

 

Perempuan
Itu

 

Menatap laut.

Sandal birunya,
nampak megah.

Kakinya ditekuk,

Melingkarkan tangan.
Tumpukan gelang

Terlihat indah.

 

“Apa ada yang
menantiku di seberang ?”

 

Laut tenang,

Gemuruh tak boleh
dibalas gemuruh

 

Lelaki yang
berbaring di sampan.

Detaknya kencang.

Seperti menemukan
sesuatu yang,

Kembali utuh.

 

Lelaki itu bangun

Tapi tak menemukanmu

Hanya sepasang
sandal biru

Dan setumpuk gelang.

Malang, 2024

 

 

 

Perempuan
yang Memilih Keramas agar Bisa Bermimpi

 

(di suatu warung
dengan rokok-

rokok di etalase
berjejer rapi)

aku ingin membeli sampo, mas,

sudah lama sekali
aku tidak bermimpi.

stok
shampo di rumahku sudah lama habis.

untung suamiku memberiku
uang kali ini.

setelah beberapa
lama mejikomku tak diisi.

aku sangat senang
sekali.

akhirnya bisa
bermimpi lagi.

 

pernah satu saat,

stok shampoku
tinggal sebiji.

sebelum tidur,

kugunakan keramas
sampo

di tengah alunan
melankoli.

bungkus sampo
menertawakanku.

pikirnya, itu
terakhir kali aku akan bermimpi.

tapi aku tak pernah
peduli.

selagi ada
kesempatan bermimpi

setiap cerita akan
selalu kunikmati.

 

kemudian seperti
biasa, tidur yang bohai

menyeretku ke alam
mimpi.

 

di dalam mimpi,

aku menjumpai
seseorang serba putih,

“kenapa dengan
kelam engkau begitu dicintai ?”

aku hanya diam di
dalam mimpi.

seseorang itu
memberiku kotak,

yang setelah kubuka,

isinya adalah
sembilan puluh sembilan entah

yang tak kukenali

 

(perempuan itu berhenti
bercerita

kemudian pergi).

Malang,
2024

 

 

 

 

Aku
Ingin Pergi ke Suatu Tempat yang Tanpa Sendu

 

Tadi, aku mencari
tumpangan di pangkal senyummu

Aku ingin pergi ke
suatu tempat yang tanpa sendu

 

Tubuhmu mengantarku
entah ke mana.

Aku lebih memelukmu
daripada bertanya

 

Sependek perjalanan
suaramu sunyi malam

Tempat burung
bertengger menenangkan pikiran

 

Hingga tiba di
sebuah jendela kamarku yang mati

Kudorong kau ke
dalam lalu kukunci

“Kau tidak
boleh pulang malam ini”

 

Banyuwangi, 2023

 

Tentang Penulis

Lahir di Banyuwangi dan besar
di Situbondo. Pernah numpang tidur di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo
; dan Pondok Pesantren Sumber Bunga, Situbondo. Saat ini merantau dan menjadi
karyawan salah satu Toko Madura di Malang.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa Imam Sofyan

Kenapa Gerakan Situbondo Membaca Lahir?

Abi Alfatih Mored Moret

Satu Langkah Terakhir

Nurillah Achmad Puisi

Puisi: Mata Air Kehidupan

Apacapa Oktira Indah Cahyani Universitas Sunan Kalijaga

Wajah Kemiskinan di Perkotaan dan Implikasi Penanggulangannya

Apacapa Dwi Mustika

Mengangkat Adat Istiadat Nenek Moyang: Keunikan Jogo Tonggo di Temanggung

Apacapa Nanik Puji Astutik

Menjadi Perempuan Cerdas di Era Milenial

Apacapa Sholikhin Mubarok

Kebenaran Adalah Kebaikan Kolektif

Apacapa Esai Mustain Romli

Dilema Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa

Resensi Retno Restutiningsih

Resensi: Bandara, Stasiun, dan Tahun-Tahun Setelahnya

Apacapa covid 19 Happy Maulidia Putri Opini

Ketua RT dan Kepala Desa; Pahlawan Garda Terdepan Pemberantas Hoax Covid-19

Agus Hiplunudin Buku Ulas

Politik Identitas di Indonesia Karya Agus Hiplunudin

Faris Al Faisal Puisi

Puisi: Merangkak Patuh

Buku Dewi Fortuna Bantilan Resensi Ulas

Resensi: Madilog

Alifa Faradis Esai Wisata Situbondo

Wisata Religi : Sukorejo

Apacapa Esai

Merawat Spiritualitas, Menghidupkan Politik Kebudayaan: Catatan Seorang Anak Muda untuk Mas Rio

ebook

Sudut Kota: Kumpulan Cerita Situbondo

Mim A Mursyid Puisi

Puisi: Resonansi Karya Mim A Mursyid

Advertorial

Perkembangan Tipe-tipe Kamar Mandi

Apacapa Uwan Urwan Wisata Situbondo

Bukit Pecaron

Cerpen Heru Mulyanto

Cerpen: Pertemuan