Puisi: Kisah dalam Buku dan Puisi Lainnya

<span>Photo by <a href="https://unsplash.com/@aaronburden?utm_source=unsplash&amp;utm_medium=referral&amp;utm_content=creditCopyText">Aaron Burden</a> on <a href="https://unsplash.com/s/photos/vintage-book?utm_source=unsplash&amp;utm_medium=referral&amp;utm_content=creditCopyText">Unsplash</a></span>

Puisi Joe Hasan 


Di Sofa Hijau

 

seperti pelangi yang kosong

tanpa warna

hari-hari berlanjut begitu saja

mengikuti alur musim pandemi

beberapa orang peduli

beberapa lagi memanfaatkan gaji

dan bantuan-bantuan yang masuk

sebagai pengganjal nasib

 

di sofa hijau itu

saksi kekosongan yang terus berjalan setiap malam

menyaksikan kebejatan di tivi

itulah pembicaraan setiap saat

lalu kita?

sudah seberapa baik mengontrol hati menghindari gunjing

 

di sofa hijau itu kumulai jahit bibir dan perasaan

untuk tidak memperkeruh hari-harimu

nikmati apa yang kau dengar dan lihat

aku menutup diri sekarang

berusaha tak menambah dosa

dengan mencatatnya sendiri setiap ingin

aku hanya ingin tidak menjadi begitu kodong

ketika senja usiaku

kau?

bagaimana cara kau mengenangnya?

dengan menatap hampa?

 

(Bau-Bau,  Januari 2021)

 

 

 

Halaman

 

ini
masih halaman pertama

aku
membacanya lekat-lekat

petir
di dalamnya tak bersahabat

 

ia
pamit berangkat kerja

di
halaman kedua

lalu
semuanya hening

tinggal
debu dan daun kering

yang
belum sempat disapu

 

waktu
itu panas terik

kau
menangis di atas meja makan

air
matamu di museumkan

 

(Surabaya,  Februari 2018)

 

 

 

Kapuas

 

di
sungai kapuas

bantulah
aku menyatukan pikiran-pikiran konyol ini

dalam
amplop nafasmu masih berjga-jaga

aku
ingat betul kejadian itu

bagaimana
lekuk pipimu menahan tawa

bagaimana
melambai tertiup angin pinggir dermaga

kau
berlindung di bawah payung

dan
kita bercakap di tengah lautan

menyeberangi
sungai

awal
perkenalan yang sungguh menawan

cinta
memang tak perlu pelajaran

alam
ini adalah kuncinya

yang
begitu pandai menggerakkan hati

hingga
ke dermaga Surabaya

 

tuhan
memandang gelisah rindu

tak
luput menyediakan obat

saat
itu kita menyadari

tak
ada janji tuhan yang ingkar

meski
terlambat

 

kau
kembali meniti kapuas

apakah
kau benar menjemput rindu?

matamu
yang sungai

mengalir
padat dalam urat nadiku

mengeja
satu persatu suaramu

“hati-hati
abang”

itulah
pesan terakhir kita bertemu

 

kini
kau sungguh mengobati risau

aku
buru-buru melepas tali

menyambut
senyum yang memenuhi dada

bagaimana
kau melakukannya

begitu
bersejarahkah kapuas ini

kita
bersenggama cepat lewat ingatan

ternyata
benar

sebuah
panggilan dari dermaga

kau
berdiri sendiri

di
atas punggung kangen

 

 (Bau-Bau, 
Oktober 2020)

 

 

 

Kisah
Dalam Buku

 

pada
buku yang sudah setengah berjalan

aku
mengingat lelaki putih

berkencan
dengan lupa pada suatu siang

dan
bagaimana buku itu melukis kisah

cinta
insan saling menolak gairah

malam
tunduk perlahan

jiwa-jiwa
sepi mulai meronta

meja
judi memenangi taruhan

lalu
kau pulang membawa bau

membawa
malang yang lupa pulang

 

malu
kini tak bertuan

aku
lalai sudah dengan segala kelakuan

terlalu
lincah kau memohon

aku
buta oleh ketampanan

kita
berakhir diujung air mata

tanpa
harus bertanya mengapa

 

buku
bosan terbuka

menolak
tuk ditintai

bagaimanakah
nasib sebuah cerita

hanya
bergantung pada terkaan

aku
memilih pulang tidak denganmu

ringan
kau mendua di pinggir jalan

balik-balik
minta kasihan

rasaku
telah pudar

setelah
semalam kita bersenggama

dengan
kekuatan penuh

dan
paginya kita mendekap ruang

tanpa
kopi terhidang di meja

 

(Bau-Bau,  Agustus 2020)

 

 

 

Luka
yang Baru

 

memang
selalu ada yang baru 

tapi
bukan hati

melainkan
luka

dan
kau tak jera

 

kumohon

jangan
lakukan lagi

pada
selangkangan yang baru

 

 (Surabaya, 
Maret 2019)

 

 

 

Penulis:

 

Joe
Hasan, lahir di Ambon pada 22 Februari. Kini berdomisili di Surabaya, Jawa
Timur.  Pecinta Olahraga Taekwondo. Beberapa
puisinya pernah dimuat di media lokal dan nasional.

 

Sumber Gambar: Photo by Aaron Burden on Unsplash

 

 

 

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ardhiana Syifa Miftahul Jannah Resensi

Resensi: Rumah Tanpa Cahaya

Uncategorized

MMI Dukung Anak Muda Plalangan Wujudkan Impian

Apacapa

Mencari Keroncong di Situbondo

Ahmad Zaidi Cerpen

Lelaki yang Datang Bersama Hujan

Apacapa MA Marzuqin

Apacapa: Ngobrolin Gus Dur: “Gus Dur, Sastra dan Wanita”

Aldi Rijansah Cerpen

Cerpen: Biru

Apacapa

Takanta: Dua Tahun (Semoga) Menjadi Diri Sendiri

Apacapa Imam Sofyan

Aku, Polisi dan Buku

alif diska Buku

Buku: Agape

Catatan Perjalanan Ngaleleng Nur Faizah Wisata Situbondo

Gunung Panceng Adventure

Puisi Zainul Anshori

Seuntai Pengorbanan

Madura Syi’ir Totor

Si’ir Sang Nabbhi

Madura Resensi

Resensi: Ajâgâ Alas Ajâgâ Na’Poto

Cerpen

Cerita Rakyat Asembagus

Resensi

Resensi: Teka Teki Rumah Aneh

Puisi

Seorang Santri dan Puisi Lainnya

Cerpen

Sepasang Kekasih yang Berpisah Karena Hujan

Apacapa Haryo Pamungkas

Terapi di Warung Kopi

Fahris A. W. Puisi

Puisi – Lagu Masa lalu

Nurillah Achmad Puisi

Puisi : Levhicausta Karya Nurillah Achmad