Puisi: Sonet Api


Puisi-puisi Rion Albukhari


Sonet Api

 

Perlambang yang kukuh,

tercermin dalam rangkamu,

di dalamnya kobar kecemasan,

mengintai bayang-bayangku.

 

Dari dalam dirimu,

meruyak kabut,

melengking titah,

menggelinjang amarah.

 

Pada saat yang lain,

kau merasuk ke mataku,

berloncatan dari mulutku.

 

Barangkali setelah ini aku benar-benar akan menjelma dirimu,

oh bunga-bunga panas yang terbang,

nantikan aku dalam nyala terakhirmu

 

Bayang, 27 Agustus 2020

 

 

 

Tali
Dendam

 

Ke sana;

ke pertempuran

matahari dan bunga,

cahaya mencekik lehernya,

ia melilit cahaya.

 

โ€œBetapa kita

selalu tertawan

dalam dendam

yang tak sudah-sudah!โ€

 

Ke situ;

ke angin yang berulang

memukul pintu__dan pintu

yang menutup dirinya

akan datangmu.

 

Ke sana;

ke sana juga

sekali lagi,

berapi-api

tunjukmu.

 

Bayang, 30 November 2020

 

 

 

Sajak
Kepada Bulan Merah I

 

Warna โ€“warna bersorak
di bawahmu,

lampu-lampu kota,

padma basah,

julai bugenvil kering,

barangkali ingin menggapaimu,

menyibak tempias dendammu,

tapi dinding-dinding
kata

tiba-tiba jadi curam,

membayangkanmu

yang terasa dekat,

tersentuh,

namun tidak terucapkan.

 

Padang, 16 Oktober
2019

 

 

 

Sajak
Kepada Bulan Merah Ii

 

Bulan merah dalam dirimu

telah menjadi api,

membakar rambut-rambut
hutan

yang menjulai,

dan seonggok daging licin

berteriak kesakitan

di dalam hebat kobarannya.

 

Padang, 09 Desember
2019

 

 

 

Menganyammu
di Pasir yang Berderai

 

Malam membengkak,

udara tipis tajam,

bugenvil dan bunga angin,

berputar dalam tubuhku.

 

Dalam tubuhku kau melayang,

melayang, o terus melayang,

menjelma darah dan garam,

meneteskan takdir ke
samudra jauh,

melantai di
gelombang yang berpiuh.

 

Di gelombang yang
berpiuh,

aku mati-matian menggapai
tepi,

buat menganyam senyum,

pinggul, mata, dan wajahmu,

dengan pasir yang
berderai.

 

Padang, 16 Februari
2020


Penulis:

Rion Albukhari lahir
di Bayang, Pantai Barat Sumatera. Mahasiswa ilmu sejarah Unand, menulis esai
dan puisi.

 

Sumber gambar:

<a href=”https://www.freepik.com/photos/texture”>Texture photo created by ArthurHidden – www.freepik.com</a>

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa mohammad rozi

Tore Maca: Mengisi Situbondo dengan Literasi yang Menyenangkan

Apacapa

Ngaji Syair: Merawat Sastra Keimanan

Apacapa fulitik melqy mochammad marhaen

“Karpet Merah” Rakyat Situbondo

Ayu Wulandari Buku Resensi Ulas

Resensi: Jungkir Balik Pers

Cerpen

Cerpen: Bunga-Bunga Berwajah Ibu

Banang Merah Cerpen

Cerpen : Euforia Seorang Pelancong Karya Banang Merah

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Percakapan Iwoh dan Saydi

Apacapa Cerbung Moh. Imron

Cerbung: Farhan dan Perjalanan ke Barat (Part 1)

Cerpen Thomas Utomo

Cerpen: Bersetia

Ahmad Maghroby Rahman Esai

Bejo, Suhaden, Kopi, Senja dan Rendra

Apacapa

Begitulah Moh. Imron

Apacapa

Polemik Gus Miftah dan Klarifikasi Habib Zaidan

Alexong Cerpen Dody Widianto

Cerpen: Nyallai Siwok

Cerbung Ipul Lestari

Cerbung : Raisha Karya Ipul Lestari

Apacapa Indra Nasution

Pengaduan Orang-Orang Pinggiran

Apacapa M Ivan Aulia Rokhman

Writing Camp, Sebagai Ajang Silaturahami antar Penulis

Cerpen Muhtadi ZL

Cerpen: Senja yang Menyakitkan

Ardhiana Syifa Miftahul Jannah Resensi

Resensi: Rumah Tanpa Cahaya

Esai Hayyi Tislanga

Berperan Tanpa Perasaan

Cerpen

Cerita Rakyat Asembagus