Resensi Buku Dialog Hati Anak Negeri : Menggali Esensi Berkarya dari Sebuah Cerita


Menggali
Esensi Berkarya dari Sebuah Cerita
Judul
 : Dialog Hati Anak Negeri
Penulis : Siswa-Siswi SMA Negeri
2 Blitar
Penerbit : Pelangi Sastra
Malang
Cetakan : I, Januari 2018
Tebal : xii + 222 halaman
ISBN   : 978-602-5410-11-6
Topik-topik
perbincangan mengenai keberjarakan para siswa dengan bacaan sastra memang bukan
konsumsi segar lagi, bahkan hampir kelewat matang, atau mungkin busuk bagi sebagian
orang—bacalah tulisan-tulisan Ajip Rosidi (Bahasa Indonesia Bahasa Kita, Bus Bis
Bas, Korupsi dan Kebudayaan, Pembinaan Minat Baca), Boen S. Oemarjati (Mengakrabkan
Sastra), juga beberapa referensi lain. Kurang berminatnya para siswa, penyebab itu
perlu kita garis bawahi lantaran beberapa hal yang menjadi pemicunya. Sebutlah bahasa
sebagai salah satunya, bahwa perkembangan sastra yang sedemikian pesat dengan beragam
eksperimen telah mengesampingkan esensi “menulis cerita”: ada yang mementingkan
gaya atau teknik penceritaan saja, bahkan “mengultuskan” bahasa sebagai segala-galanya.
Alhasil, cerita mandek di kerongkongan dan tidak pernah mengenyangkan.
Dialog
Hati Anak Negeri adalah kumpulan cerpen yang ditulis oleh siswa-siswi SMA Negeri
2 Blitar dalam mengejawantahkan program Gerakan Literasi Sekolah. Kumpulan Cerpen
ini diharapkan menarik para siswa untuk kembali menyukai membaca serta menulis karya
sastra. Cerita-cerita yang diusung cenderung merupakan pencerminan jiwa mereka,
yang muda yang berkarya. Buku ini mengangkat kisah-kisah realis yang yang ada
di sekitar kita. Mulai perjuangan menggapai mimpi, semangat belajar, sampai esensi
berkarya itu sendiri.
Semangat
juang dari seorang pemuda sangat kental dalam kumpulan cerpen ini. Salah satunya
dalam cerpen berjudul “Sebuah Becak untuk
Masa Depanku
”. Cerpen ini sukses menarik pembaca untuk ikut ke dalam alur ceritanya.
Ceritanya sungguh memikat ditambah dengan gaya bahasa yang nikmat. Di dalamnya kita
dapat melihat sebuah perjuangan anak muda dalam menggapai cita-citanya. Keuletan
dan kenekatan tokoh Agus dalam cerpen ini sungguh dapat membuat pembaca meneteskan
air matanya. Bagaimana seorang anak SMA miskin yang setiap sore menarik becak bercita-cita
mengikuti olimpiade inovasi untuk memperjuangkan mimpinya. Ia juga bermimpi melanjutkan
belajar ke sebuah perguruan tinggi. Karena alasan ekonomi dia belum dapat mengikutinya.
Namun, pada suatu saat kemudian dia berhasil memenangkan olimpiade tingkat nasional
dan berhasil kuliah di Oxford University.
Kisah dalam cerita ini mengajarkan kita untuk selalu berusaha tanpa putus dalam
proses menggapai cita-cita. Karena bukan pada besar kecilnya apa yang kita cita-citakan
yang hebat. Tetapi bagaimana proses serta perjuangan kita dalam menggapai cita-cita
tersebut.
Dari
dua puluh cerpen yang termuat dalam kumpulan cerpen ini, yang paling menarik untuk
dibicarakan adalah “Karya dan Dialog Hati”.
Di dalamnya kita akan menemukan pandangan Nur Rahma Yuwanto Putri sebagai seserpih
bagian dari pemuda dalam memandang realitas berkarya pada masa kini. Dangkalnya
penghayatan seseorang terhadap esensi berkarya dipatahkan oleh kisah ini.
Maka, definisi dari
karya yang sebenarnya menurut perjalanan pendakian ini adalah bagaimana prosesmu
untuk mencapai puncak. Tentang caramu menghargai setiap proses demi proses dan langkah
demi langkah yang kau tempuh hingga kau berada di atas.
(Hal
37)
Kisah
dalam cerpen ini menggugah kita untuk selalu berjuang untuk mencapai apa yang kita
inginkan. Sebuah proses adalah bagian terpenting dalam berkarya. Dan diperlukan
suatu pengorbanan untuk terus berproses menghasilkan karya.
Hampir,
permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam kumpulan cerpen ini kebanyakan tentang
hakikat berkarya. Mengenai semangat generasi muda yang berkobar. Juga untuk mengingatkan
kita tentang pentingnya proses dalam mengejar sesuatu.
Kumpulan
cerpen ini merupakan bentuk apresiasi-terhadap karya siswa. Siswa mampu menceritakan
hal-hal realis yang ada di sekitar mereka dengan gaya bercerita yang mudah dicerna.
Sehingga buku ini sangat cocok dibaca oleh generasi muda yang mulai menggandrungi
sastra.
Saya
melihat, tantangan bagi cerita-cerita dalam kumpulan cerpen ini—sebagai wakil cerita-cerita
realis yang lain—selanjutnya adalah bagaimana ia mesti bertahan di tengah terjangan
gaya bercerita makin “njelimet” yang lebih dilirik para peminat sastra? Mungkinkah
akan ada “faktor alami” semacam kondisi kekangenan peminat sastra yang telah diseret
gaya kontemporer tersebut kepada yang “sederhana” tetapi menyimpan pukulan angin
terpendam, semacam buku kumpulan cerpen ini?
Bioadata
penulis
Ahmad Radhitya Alam, Siswa SMA Negeri 1 Talun dan penggiat FLP Blitar.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa Moh. Imron

Ahmad Muzadi: Selamat Jalan Kawan, Karyamu Abadi

Puisi Saifir Rohman

Puisi : Tikungan Berdebu Karya Ayif Saifir R.

Apacapa Kampung Langai Situbondo

Abâli Polè Ka Kampung Langai

Apacapa

Ngaji Syair: Merawat Sastra Keimanan

Cerpen Seto Permada

Cerpen : Mimpi Rufus Karya Seto Permada

Cerpen Devi Tasyaroh

Cerpen: Menggadai Kebahagiaan

Madura Syi’ir Totor

Si’ir Sang Nabbhi

F. A Lillah Puisi

Puisi-Puisi F. A Lillah: Narasi Hujan

Agus Hiplunudin Apacapa Esai

Suku Jawa Menjadi Kunci Kemenangan Politik pada Pilkada Serentak 2018 dan Pilpres 2019

Buku Resensi Ulas Wardedy Rosi

Resensi: Distopia dalam Fiksi Individutopia

M Ivan Aulia Rokhman Puisi

Puisi – Masih Melawan Ketakutan di Rumah Tua

Apacapa fulitik

Tenang! Ini Solusi Mas Rio Buat Teman-teman Honorer Situbondo yang Dirumahkan

Buku Resensi Thomas Utomo Ulas

Ulas Buku: Menguak Lapis-Lapis Kebohongan

Ali Gardy Rukmana Apacapa

Album Stilasi: Merangkai Tradisi Nusantara

carpan Helmy Khan Totor

Carpan: Sapo’ Mardha

fulitik

1.100 Kaos Patennang Ludes Terjual, Efek Jalan Santai Bareng Mas Rio

game Ulas Yopie EA

5 Alasan Mengapa Kita Tidak Perlu Membeli PS5 Pro

Apacapa

Yang Tidak Dilihat Firdaus soal Honorer Situbondo

Penerbit

Buku: Bahagia Butuh Bersama: Kumpulan Puisi

Apacapa MA Marzuqin

Apacapa: Ngobrolin Gus Dur: “Gus Dur, Sastra dan Wanita”