Resensi: Distopia dalam Fiksi Individutopia

Oleh: Wardedy
Rosi
 

Individutopia
adalah novel futuristik kontemporer yang sayang bila dilewatkan penggandrung
fiksi genre. Karya penulis Inggris, Joss Sheldon, ini membentangkan perbedaan
paralel antara komunalisme dengan individualisme. Novel fiksi ilmiah tersebut berdurasi
proporsional. Tidak terlalu panjang atau pendek sehingga dapat merawat mood pembaca sehingga tidak terjebak
pada kisah yang berlarat-larat. Dialog tokoh-tokoh Individutopia dituturkan dalam ragam bahasa tak formal yang memungkinkan
diikuti pembaca berbagai lapisan.

Novel
masa depan ini berlatar 2084. Pada periode tersebut, Individutopia berspekulasi bahwa kecerdasan artifisial telah
menguasai sebagian umat manusia. Sheldon berhasil membawa pembacanya merasuk
dan turut merasakan penderitaan sang hero,
Renee Ann Blanca, yang ditakdirkan menjadi manusia individual sejak dalam
buaian.

Impresif,
menggugah, dan membangkitkan kesadaran moral, Individutopia seperti hendak mengambil peran sebagai pemberi peringatan
keras tentang berakhirnya Antroposen jika manusia tidak berubah. Mungkin
ramalan tentang masa depan manusia dalam novel ini tak sepenuhnya benar. Akan
tetapi, gejala kemanusiaan kita saat ini seperti mengarah pada semangat zaman
yang dihadirkan Individutopia.

Novel
distopik Sheldon menarasikan riwayat ironis Renee. Ia dibesarkan sosok robot
dan hidup pada kondisi nyaris tak berkontak fisik dengan manusia lain. Gadis
ini terperangkap dalam gaya hidup monoton, bosan tinggal bersama insan hologram,
dan putus asa bersaing dengan liyan.

Orang-orang makin
jauh satu sama lain seiring tahun berlalu
,
tutur si narator. Alih-alih bermain
olahraga dengan orang lain, kaum individualis bermain gim di komputer
sendirian. Mereka minum-minum di rumah, bukan di bar. Mereka berkomunikasi via
internet alih-alih bicara langsung dengan orang lain. Mereka tidak lagi bilang
“Halo” ke orang-orang yang mereka lihat di jalan, memalingkan kepala untuk
menghindari kontak mata, dan memakai headphone untuk menghindari percakapan.
Mereka menyentuh telepon pintar lebih sering ketimbang menyentuh orang lain.

Melalui
suara narator, novel ini menggambarkan masa depan manusia yang sulit lepas dari
ikatan gawai. Renee merupakan refleksi kondisi manusia kekinian yang pada
akhirnya jenuh hidup tanpa aku-lain. Tak hanya itu, orang-orang I-person—begitu
Sheldon menyebut diri individual di karyanya—jatuh ke dalam situasi frustrasi lantaran
miskin interaksi dengan person lain.

Menjadi
corong risalah-risalah futurisme, Individutopia
meneriakkan nubuat fiktif tentang umat manusia abad ke-21 yang dihegemoni
teknologi supercerdas. Manusia-manusia rekaan Sheldon tak lagi tinggal di rumah
yang selama ini telah menjadi simbol emosi tentang kebersamaan, perlindungan,
dan cinta. Mereka hidup berdampingan dengan avatar hologram dalam kapsul-kapsul
‘dingin’ tak berhati. Renee yang diasuh robot Babytron juga bukan lagi konsumen
benda-benda material. Ia menjadi representasi manusia I-person yang hanya
sanggup mengoleksi barang-barang virtual.

Individutopia
memotret ihwal mutakhir kondisi kita di mana gawai adicerdas mendorong manusia
menjelma I-person. Teknologi superpintar tersebut menjadi faktor sekaligus
katalisator paling akbar bagi perubahan ideologi saat ini. Secara implisit,
novel tersebut memaparkan pergeseran posisi manusia yang mulanya menempati
kedudukan subjek tunggal menjadi objek kecerdasan arifisial. Pada akhirnya,
mesin kecerdasan artifisial dapat mengamputasi kemampuan dasar manusia jika
tidak disikapi dengan kesadaran nan bijaksana.

Narasi
kelam yang dialami tokoh utama novel ini cukup memberi ultimatum tentang rasa
sepi yang menyergap manusia karena kehilangan kontak dengan manusia lain. “Impian
Thatcher menjadi kenyataan. Sungguh tidak ada yang namanya masyarakat,” begitu
kutip novel ini di mukadimahnya. Sejak awal Individutopia
sudah memberi pembaca sebuah fatwa, sebenarnya.

 

INFO BUKU

Judul : Individutopia

Penulis : Joss Sheldon

Penerjemah : Ninus Andarnuswari

Penerbit : Teroka Press

Tahun  : Februari, 2023

Tebal : iv + 266 halaman

ISBN : 978-623-93669-3-3

 

TENTANG PENULIS

Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa
Indonesia di Universitas Madura. Saat ini bergiat di Sivitas Kotheka dan
Lesbumi.

Instagram: @wardedy_rosi

Facebook: Wardedy Rosi

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa Moh. Imron

Ali Gardy Bertiga: Tirakat Bunyi

Mahfud RD Puisi

Maret yang Bimbang dan Puisi Lainnya Karya Mahfud RD

Kriselda Dwi Ghisela Resensi

Resensi: Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam

Ahmad Radhitya Alam Puisi

Travesti dan Puisi Lainnya Karya Ahmad Radhitya Alam

Cerpen

Rumah Dalam Mata

Apacapa

Solois dan Gejala Sosial

Nanik Puji Astutik Puisi

Yang Muda Berkarya

Cerpen Nurmumtaz Sekar Ramadhan

Cerpen: Pohon yang Rapuh

Ahmad Zaidi Apacapa

Sebuah Perjalanan : Tentang Kayumas Bersastra

Film/Series Moh. Imron Ulas

Ulas Film Me Before You: Hiduplah dengan Berani

Apacapa Firdaus Al Faqih

Pecandu Buku tetapi Berkantong Tipis? Tenanglah!

Khairul Anam Puisi

Puisi: Manunggal Rasa

Apacapa

Harjakasi Nasibmu Kini

Prosa Mini Yudhianto Mazdean

Belajar dari Semesta; Kematian Bangsa Koloni

Apacapa

Belajar Jurnalistik melalui SEMEJA DARING

Mored Moret Puisi RM. Maulana Khoeru

Puisi: Proposal Rindu Karya RM. Maulana Khoerun

Faris Al Farisi Puisi

Puisi: Kepada yang Selalu Aku Nanti Kabarnya

AF. Qomarudin Puisi

Secangkir Kopi dan Puisi Lainnya Karya AF. Qomarudin

Andi Fajar Wangsa Puisi

Puisi : Sore yang tak ingin Kuakhiri dan Puisi Lainnya Karya Andi Fajar Wangsa

Apacapa Erha Pamungkas Haryo Pamungkas Politik

Gus Dur: Demokrasi Harus Diperjuangkan