Resensi: Hikayat Kadiroen


Oleh:
Muhamad Bintang*

Menjadi idealis , kritis, dan radikal adalah
kutukan bagi anak muda atau siapapun yang berkualitas “muda” selalu saja
momentum sejarah disambut oleh mereka yang muda. Munculnya fajar nasionalisme, zaman
pergerakan yang kemudian sampai pada terminal tahun 1928 (Sumpah Pemuda),
sekaligus proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945, penumbangan terhadap “Orde
Lama” dan “Orde Baru”, semuanya tak lepas dari peran anak muda. Orang tua
biasanya datang belakangan sambil menyusun cerita atau menulis sejarah lebih
seru.

Semaoen adalah “anak muda” pada zamannya. Ia lahir
pada 1899 di Mojekerto sebagai anak seorang buruh kereta api. Karena lahir di zaman
etis yang penuh konflik, Semaoen, bukan seorang anak priyayi, sempat menikmati
pendidikan dasar gaya barat. Ia lulus sekolah Bumiputera angka satu, sekaligus
melibatkan diri dalam pergerakan pada usia yang sangat muda. Pada umur 13 tahun
ia memutuskan bergabung ke Sarekat Islam (SI) afdelling Surabaya. Tahun-tahun
berikutnya ia bergabung dengan Indische Sociaal Democratiche Vereeniging (ISDV)
Vereniging van Spoor-en Tramwegpersoneel (VSTV), SI Semarang ia sebagai ketua
pada Mei 1917. Akhirnya pada 23 Mei 1920 ia terpilih sebagai ketua Perserikatan
Komunis di Hindia. Demikianlah Semaoen menempuh masa remajannya di
tengah-tengah pergerakan.

Barangkali karena darah mudanya itulah, Semaoen
bersama banyak generasi muda pasca perang yang lain, merasa menemukan alat dan
bahan medan geraknya pada organisasi-organisasi atau partai yang berkecendrungan
sosialis karena merekalah yang secara kritis sangat radikal dalam menentang
Imperialis Belanda. Selain itu, kondisi Hindia Belanda pada saat itu rakyat
sangat amat tertindas oleh kapitalis akibat penerapan liberalisme sejak tahun
1870, sistem pertanahan yang merugikan rakyat, pengadaan milisi bumiputera
(Indie Weerbaar) sebagai tameng Belanda dalam perang, wabah pes, pemasungan
kebebasan pers. Merupakan lahan subur bagi tumbuhnya sosialisme. Dengan kata
lain Semaoen yang muda itu sesungguhnya menjawab panggilan sejarah. Akan
tetapi, sekali lagi menjadi idealis,kritis dan pemberani, seringkali berarti
menjalani kutukan. Semaoen dikutuk dalam sejarah resmi, ia diibaratkan dan
dibayangkan sebagai hantu “gentayangn”, sebagai “bahaya laten”.

Hikayat Kadiroen adalah novel karya Semaoen yang
merekam kegelisahan, juga kemarahan kaum muda pergerakan terhadap imperialis
Belanda. Novel ini tampaknya merupakan salah satu ungkapan perlawanan sekaligus
ungkapan terhadap sistem yang menindas. Oleh karenanya, banyak gagasan yang
diungkapkan secara telanjang di dalam karya bukunya tersebut, suatu hal yang
menurut sebuah rezim estetika literer tertentu tidak selayaknya ada dalam karya
sastra yang bermutu.

Membaca kembali Hikayat Kadiroen kiranya sangat
amatlah bermanfaat bagaimana perjuangan semangat anak muda melawan kebijakan
pemerintah Belanda yang tidak berpihak kepada pribumi dan kaum miskin ketika
masa itu. Setidaknya kita bisa mengetahui apakah novel ini perlu ditakuti atau
tidak. Bagi masyarakat Sastra Indonesia, penerbitan ulang karya-karya yang
dilupakan tentu akan membukakan banyak perspektif tentang karya sastra yang ada
di Indonesia. Sebagai misal, adakah kemungkinan untuk memperbincangkan kembali
sejarah Sastra Indonesia Modern yang konon ditandai dengan Siti Nurbaya, yaitu
sebuah novel yang lahir setelah Hikayat Kadiroen ataupun Student Hidjo karya
Mas Marco. Oleh karena itu, Hikayat Kadiroen perlu diterbitkan kembali.
Selanjutnya, demi mengetahui sejarah bangsa ini dan juga tokoh-tokoh yang
berjasa bagaimana peran dan jasanya ketika masa tersebut.

Adapun Buku Hikayat Kadiroen dapat dibeli melalui online shop karena sudah banyak yang menjualnya, Sekian dari
saya TerimaKasih.

 

Info
Buku

Judul : Hikayat Kadiroen

Penulis
: Semaoen

Penerbit
: Narasi-Pustaka Promethea

Tahun
: 2018

Tebal : xii + 252 Halaman

ISBN
: 978-979-168-456-9

 

 

*)Mahasiswa
Ilmu Sejarah (UI). Sosmed : muh_bintang29 (IG).

 

 

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fahrus Refendi Puisi Puisi Madura

Puisi Madura: Sanja’

Buku Nurul Hasan Ulas

Ulas Buku: (Sekarang) Dungu Lebih Baik

Ahmad Zaidi Cerpen

Cerpen – Fragmen Nalea

Cerpen Uwan Urwan

Cerpen : Bicara Karya Uwan Urwan

Cerpen

Cerpen : Percakapan Malam Hari

Moh. Rofqil Bazikh Puisi

Puisi : Orang Bukit Karya Moh. Rofqil Bazikh

Apacapa Qunita Fatina

Analisi: Puisi Aku Ingin Karya Sapardi Djoko Damono

Fendi Febri Purnama Puisi Madura

Puisi Madura: Pètto Bellâs

Buku Dani Alifian Ulas

Ulas Buku: Wajah Pantura, dan Kisah Seks Komersial

Apacapa Fendy Sa’is Nayogi

Petani Kebetulan

Apacapa Irwant Kampung Langai

Festival Kampung Langai 4 Dibuka dengan Manis, Ditutup dengan Romantis

Buku Thomas Utomo Ulas

Ulas Buku: Novel Anak Bermuatan Nilai-Nilai Kemanusiaan

Apacapa Denny Ardiansyah

Ode untuk Orde Pak Dadang

Anugrah Gio Pratama Puisi

Puisi: Perantau Karya Anugrah Gio Pratama

Buku Rudi Agus Hartanto Ulas

Resensi: Tugasmu Hanya Mengizinkan

Apacapa

Sudahkah Anda Konsisten?

Cerpen Gusti Trisno

Cerpen – Joe dan Dua Orang Gila

Fuad Najib Arrosyid Resensi

Resensi: Di Ambang Mitos dan Realitas Saranjana

Ahmad Zaidi Apacapa Esai

Puthut Ea, Komunitas dan Hutang yang Dilunasi

Apacapa Marlutfi Yoandinas

“CACAT” DI UU CIPTA KERJA