
Beberapa waktu lalu, media sosial diramaikan oleh tren baru di kalangan anak sekolah dasar: gasing dari penghapus. Sekilas tampak sederhana dan menggemaskan, anak-anak memanfaatkan penghapus, jarum, dan tutup pulpen untuk membuat mainan yang bisa berputar seperti gasing sungguhan. Fenomena ini seolah menjadi bukti bahwa anak-anak Indonesia masih memiliki daya cipta yang tinggi di tengah derasnya arus digitalisasi. Namun di balik keseruannya, tren tersebut menyimpan sisi gelap yang tak kalah penting yaitu potensi bahaya yang mengintai keselamatan mereka.
Kreativitas memang salah satu ciri khas masa anak-anak. Di usia sekolah dasar, mereka cenderung ingin mencoba hal baru, bereksperimen, dan meniru apa yang mereka lihat dari lingkungan sekitar. Ketika mereka mampu menciptakan sesuatu dari benda sederhana, seperti penghapus, hal itu layak diapresiasi. Tetapi, kreativitas tanpa pengawasan bisa berubah menjadi ancaman. Dalam kasus ini, penghapus yang dilengkapi jarum atau paku payung untuk dijadikan poros gasing justru berpotensi melukai tangan, bahkan mengenai mata jika terlepas saat dimainkan.
Beberapa sekolah pun akhirnya mengimbau agar siswa tidak membawa mainan ini ke sekolah. Beberapa guru bahkan membagikan pengumuman melalui media sosial, mengingatkan bahaya permainan yang tampak sepele tersebut. Ini menunjukkan bahwa fenomena viral tidak selalu berdampak positif, terlebih jika menyangkut anak-anak yang masih berada dalam tahap berpikir konkret.
Dalam teori perkembangan kognitif Jean Piaget, anak-anak usia sekolah dasar berada pada tahap operasional konkret, yaitu tahap ketika mereka belajar memahami dunia melalui benda nyata yang dapat mereka lihat dan sentuh. Mereka belum sepenuhnya mampu menimbang konsekuensi jangka panjang dari tindakan yang mereka lakukan. Dengan kata lain, mereka tahu bagaimana membuat sesuatu terlihat menarik, tetapi belum memahami potensi bahayanya. Hal ini menjelaskan mengapa tren seperti gasing penghapus cepat menyebar, anak-anak meniru, mencoba, dan merasa puas ketika berhasil membuat benda itu berputar tanpa menyadari risikonya.
Fenomena ini juga memperlihatkan sisi lain dari budaya viral di media sosial. Anak-anak kini tumbuh di tengah dunia yang mendorong segala sesuatu menjadi konten. Apa pun yang menarik, unik, atau terlihat seru mudah menyebar luas. Bagi orang dewasa, mungkin tren ini hanya dianggap sebagai hiburan singkat, tetapi bagi anak-anak, tren seperti ini bisa menjadi contoh yang mereka tiru secara langsung. Padahal, dalam dunia pendidikan, tidak semua yang viral bersifat mendidik.
Sebagian orang mungkin berargumen bahwa permainan seperti ini justru mengasah kreativitas dan kemampuan anak dalam memanfaatkan barang bekas. Tidak sedikit pula yang menganggapnya lebih baik daripada anak hanya bermain gadget. Pandangan tersebut tidak sepenuhnya salah, kreativitas memang harus didorong. Namun, yang perlu disadari adalah bahwa kreativitas tanpa arahan bisa menyesatkan. Anak-anak membutuhkan bimbingan untuk menyalurkan ide mereka dengan cara yang aman dan konstruktif.
Di sinilah peran orang tua dan guru menjadi penting. Pengawasan tidak berarti membatasi kreativitas, melainkan mengarahkannya. Orang tua dapat memberikan ruang bagi anak untuk berkreasi, tetapi dengan alat dan bahan yang aman. Misalnya, mengajak anak membuat mainan edukatif dari kardus, botol plastik, atau kertas lipat, bukan benda tajam. Sekolah pun bisa menjadikan momen ini sebagai pelajaran berharga dengan mengadakan lomba inovasi sederhana dengan tema “kreasi aman”, atau memberikan edukasi tentang bahaya benda tajam dalam kegiatan bermain.
Selain itu, media juga memiliki peran dalam membentuk persepsi publik. Ketika tren berbahaya viral, media sebaiknya tidak hanya menyoroti sisi lucu atau kreatifnya, tetapi juga memberikan edukasi tentang risiko dan langkah pencegahan. Dengan demikian, masyarakat tidak hanya ikut tren, tetapi juga belajar untuk bersikap kritis terhadap dampak dari apa yang mereka lihat di layar.
Sebagai mahasiswa dan calon pendidik, saya melihat fenomena ini bukan sekadar soal anak-anak yang bermain, tetapi juga cerminan dari kurangnya kesadaran kolektif dalam membimbing generasi muda di era digital. Kita sering kagum pada anak-anak yang kreatif, tetapi lupa bahwa mereka masih membutuhkan arah. Kita bangga ketika mereka bisa menciptakan sesuatu, namun jarang bertanya apakah ciptaan itu aman dan bermanfaat.
Kreativitas memang perlu ruang untuk tumbuh, tetapi keselamatan harus tetap menjadi prioritas. Fenomena gasing dari penghapus seharusnya menjadi pengingat bahwa pendidikan tidak hanya soal akademik, tetapi juga pembentukan sikap dan kesadaran terhadap risiko. Anak-anak tidak salah karena mereka hanya belajar melalui eksperimen, yang perlu berubah adalah cara kita mendampingi mereka agar eksperimen itu tidak berujung pada bahaya.
Pada akhirnya, setiap tren yang melibatkan anak-anak seharusnya menjadi refleksi bagi kita semua orang tua, guru, dan masyarakat tentang bagaimana menyeimbangkan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab terhadap keselamatan. Kreativitas adalah anugerah, tetapi tanpa bimbingan, anugerah itu bisa berubah menjadi ancaman. Dan di tengah arus informasi yang begitu cepat hari ini, tugas kitalah memastikan bahwa kreativitas anak tetap menjadi sumber kebaikan, bukan bahaya.
Tinggalkan Balasan