Tentang Kita yang Terlalu Banyak Bicara Omong Kosong

unsplash

Apa
kabar kita, hari ini?
Kita
bertanya-tanya, apa pentingnya mengetahui segala hal?  Kita telah diajari membaca dan menulis dan dengan
sangat terburu-buru menyimpulkan sesuatu.
“Di
kepala kita, ada banyak sampah berserakan.”
Sebenarnya
kita ingin menulisnya begini: “di kepala kita ada banyak sampah-sampah
berserakan.” Tapi kita ingat seorang guru bahasa indonesia yang mengatakan
bahwa setelah kata ‘banyak’ tak perlu dilanjutkan dengan pengulangan dan setiap
pengulangan yang berarti banyak, tak perlu menyebutkan kata itu. Dengan begini,
kita menganggap diri sudah pintar dan mengetahui cara berbahasa paling baik dan
benar dan dengan begitu kita sedang bersikap seolah merendah padahal sedang
menyombongkan diri dan itu tak lebih dari omong kosong.
Suatu
kali kita pergi ke toko buku dan menemukan kutipan keren, “Orang boleh
pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam
masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Makanya
lalu kita mulai menulis seperti orang kesurupan, berpikir bahwa kerja-kerja
kita adalah membangun keabadian dan menunda hari kiamat dan menyelamatkan ras
manusia dari perang dan kepunahan. Kita yakin sekali tulisan itu akan dibaca
akan dipuja akan dielu-elukan banyak orang dan ditulis oleh manusia paling luar
biasa yang turun ke bumi dan diingat menyamai wahyu agung dari langit dan akan
akan akan dan akan lainnya. Namun pada akhirnya, tak satu pun ada yang membaca
tulisan kita, tak ada yang mengenal kita, apalagi mengingat apalagi
mengabadikan. Kita lebih dulu ambyar pada huruf pertama k-e-a-b-a-d-i-a-n, ‘k’,
kalah. Kita kecewa, lalu menganggap bahwa menulis adalah pekerjaan nomor satu
paling sia-sia di muka bumi. Kita lupa belajar dan lupa bahwa belajar adalah
proses panjang seumur hidup dan terburu-buru merasa pandai padahal di kepala
kita ada hewan dungu yang kita rawat bernama keledai. Omong kosong!
Kali
lain kita pergi ke perpustakaan, dan lagi-lagi bertemu dengan kutipan keren,
“Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar
kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan
yang pandai.” Maka, kita pun mengaku mencintai sastra, berpenampilan agar
dianggap sebagai sastrawan, mengubah segala hal dalam diri kita dengan yang
berbau sastra. Saat ditanya, “Apa itu sastra?” kita hanya cengengesan
sambil bicara seperti penyair gadungan yang lahir dari mesin fotokopian dan
menjelma tiruan gagal yang terlalu mengangap diri spesial dan berguna padahal tidak.
Lagi lagi omong kosong.
Kali
kedua, ketiga, dan seterusnya dan seterusnya… Kita banyak menjumpai
kutipan-kutipan dari orang keren. Keren menurut kita, belum tentu menurut orang
lain. Kita lalu merasa pintar dari banyaknya buku yang kita unggah di media
sosial. Padahal konon, dari semakin banyak membaca semakin banyak pula hal yang
tidak kita ketahui dan itu akan membuat kita semakin merasa bodoh. Tapi kita
merasa sebagai cendekia dengan banyak mengutip dan menyebut nama-nama tokoh dan
tanggal-tanggal dalam sejarah. Kutipan-kutipan, pikiran-pikiran orang itu kita
gunakan untuk memacak diri sebagai makhluk paling berpengetahuan. Kita semakin gampang
menganggap bodoh orang-orang, bahwa kita lebih tahu dan lagi-lagi yang kita kerjakan
hanya omong kosong.
Kita
tahu wahyu pertama yang turun adalah perintah membaca, tapi selanjutnya apa?
Kita
terus membaca dan membaca dan membaca. Menulis dan menulis dan menulis. Kita
menganggap pekerjaan paling mulia yang bisa dilakukan adalah membaca dan
menulis. Tak ada hal lain yang kita kerjakan, padahal ada banyak sekali jenis
pekerjaan.
Kemudian
saat kita menulis ‘tentang kita yang terlalu banyak bicara omong kosong’ kita ingin
mengakhirinya dengan kalimat yang bisa dijadikan kutipan yang dianggap paling
keren. Tapi itu tidak terjadi.
Di
kepala kita ada banyak sampah berserakan. Kita tidak tahu cara menyelamatkan
diri dan itu menyebalkan dan itu omong kosong!
BIODATA
Ahamad Zaidi, warga baik-baik.

Penulis

  • Ach. Zaidi

    Bapaknya Ayesha. Penulis buku kumpulan cerpen Mata Ingatan (2024)


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ahmad Jais Puisi

Puisi: Sajak Si Manusia Mesin

Apacapa covid 19 Mirrabell Frederica Hadiwijono Vaksin

Story Telling: Masih Takut Vaksin ?

Kriselda Dwi Ghisela Resensi

Resensi: Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam

Ilham Wiji Pradana Puisi

Puisi-puisi Ilham Wiji Pradana: Rumah Pak RT

Aprilia Dwi Nur Hartanti Buku Resensi Ulas

Resensi: Aku Tak Membenci Hujan

Puisi Puisi WF Romadhani

Puisi: Kembalikan Tawaku

Giffari Arief Puisi

Puisi : Sabuk Asteroid

Rusdi Mathari Situbondo

Situbondo Dik, Bukan Jalan Situbondo

Ahmad Zaidi Apacapa

Merindukan Pariopo, Merindukan Hujan

Apacapa Dwi Mustika

Mengangkat Adat Istiadat Nenek Moyang: Keunikan Jogo Tonggo di Temanggung

Apacapa

Apakah Menjadi Ibu Dilarang Sambat?

Muhammad Rifki Puisi

Puisi : Guntur itu tak Pernah Ada Karya Muhammad Rifki

Review Film Yopie EA

FLOW: Sebuah Mahakarya dari Sutradara Asal Latvia

Puisi S. Mandah Syakiroh

Puisi-puisi S. Mandah Syakiroh: Mata

analis Iis Dahlia

Analisis Puisi Nikmati Hidup

Alexong Cerpen Hana Yuki Tassha Aira

Cerpen: Waktu yang Pecah di Balik Pintu

Buku Indra Nasution Ulas

Kritik Terhadap Demokrasi

Alexong Cerpen Tara Febriani Khaerunnisa

Cerpen: Cumi-cumi

Puisi Tribute Sapardi

Puisi: Untukmu, Eyang!

Apacapa Moh. Imron

Analisis dan Lirik Lagu Kala Benyak: Waktu yang Tepat untuk Bersedih