Resensi: Surat-surat Bukowski tentang Menulis

Charles Bukowski bukan orang Jawa. Ia lahir di Jerman pada 1920 dan kemudian migrasi jadi warga Amerika Serikat. Tapi kalau Bukowski adalah orang Jawa, maka ia tipikal Jawa yang blak-blakanbloko suto, apa adanya. Ketika ia tidak menyukai seseorang, ia akan mengakuinya dengan terus terang. Ketika ia tidak menyukai kegiatan tertentu, ia tidak menutupinya. Ia tak peduli penghakiman orang lain terhadap dirinya. Selain dalam cara hidup, keterusterangan itu juga menjadi hukum dalam ia menulis. Cara ini menjadikan Bukowski menulis tanpa beban. Bahkan ia mengaku tidak berusaha menjadi penulis. Bukowski menulis karena kegiatan ini menyenangkan. Suara mesin tik selalu membuatnya bergairah. Simak apa yang ia tulis (h. 191):

“Menulis bagiku bukanlah sebuah pekerjaan. Meski karya yang dihasilkan ternyata jelek, suara mesin tik membuatku bersemangat”  

On Writing adalah buku yang menampilkan sisi personal Bukowski karena disusun berdasarkan surat-surat yang ditulisnya dari 1945 sampai dengan 1993. Surat-surat itu dikirimkan ke sejumlah nama seperti Henry Miller, Whit Burnett, Carrington, James Boyer May, dan tentu John Fante. On Writing memberi gambaran bagaimana Bukowski mengambil sikap dalam momen yang beragam. Karena itu ada kalanya surat Bukowski terasa seperti teks nubuat untuk pedoman hidup yang optimis, tetapi dalam momen yang berbeda Bukowski menulis surat dengan pesimisme seseorang yang menghadapi armageddon esok hari. Kegelisahan, kekecewaan, kegembiraan dan kesinisan silih berganti.

Saya lebih menempatkan On Writing sebagai rekaman daya menulis Bukowski dan memilih mengesampingkan kisah-kisah dirinya di luar menulis seperti bagaimana ia bergaul dengan lawan jenis atau kebiasaannya “minum”. Bagi seorang penulis, menjaga daya atau hasrat untuk tetap menulis tidaklah gampang. Sama seperti penulis-penulis lain, tulisan Bukowski juga banyak yang ditolak—oleh penerbit atau media. Hal itu tidak membuatnya patah. Dalam kata-katanya (h. 82):

“Menulis adalah permainan yang sangat lucu. Penolakan membuat kau terus menulis dengan lebih baik; penerimaan membantu membuat kau terus menulis”    

Sependek saya membaca On Writing, daya menulis Bukowski terjaga karena dua resep. Pertama, Bukowski menulis, selain karena menyukai kegiatan itu, juga karena ia tidak terjerumus pada tujuan-tujuan di luar menulis. Kenikmatan individual dari kegiatan menulis yang ia rasakan adalah sesuatu yang lebih dari cukup. Bukowski misalnya, tidak ingin menulis dengan tujuan mendapatkan popularitas. Dalam kutipan suratnya kepada Carl Weissner pada 6 November 1988, Bukowski menyatakan (h. 226):

“Kalau kau menulis melulu demi terkenal, kau pasti gagal. Aku tak mau membuat aturan, tapi kalau ada, aturannya seperti ini: penulis-penulis yang bisa menulis dengan baik adalah orang-orang yang menulis supaya tidak gila”

Keinginan Bukowski untuk tidak terkenal tampaknya juga karena ia adalah pribadi yang tertutup. Ia tipikal orang yang tidak suka menjadi pusat perhatian. Dalam salah satu suratnya ia menulis (h. 117):

“Ketenaran + keabadian adalah permainan bagi orang lain. Kalau kita tidak dikenali saat berada di jalan, itu sebuah keberuntungan”

Resep kedua Bukowski adalah penerimaan yang lapang atas karya-karyanya sendiri. Maksudnya, Bukowski tidak membebani dirinya untuk menulis karya yang bermutu dari waktu ke waktu. Bukowski tidak mau menderita karena kekhawatiran yang berlebihan soal kualitas karyanya. Ia menulis untuk membebaskan diri. Ia lebih memilih untuk “memaafkan” karya-karyanya karena menurutnya “seorang penulis sudah pasti adalah hakim yang buruk untuk karya-karyanya sendiri” (h. 226). Saya kutip dari dua surat yang ditulisnya:

“Aku bukan orang sombong yang beranggapan karyaku tak ada yang jelek” (h. 109)

“Aku selalu merasa seperti penulis pemula… Aku juga menulis sejumlah karya jelek, tapi dengan melepaskannya begitu saja… aku merasakan kebebasan yang nikmat di dalamnya” (h. 233-234)

Bukowski sering disebut-sebut sebagai salah satu penulis underrated. Saya tidak tahu apakah penilaian ini pas atau tidak, atau lebih tepatnya: penting atau tidak. Bukowski tampaknya akan mengabaikan penilaian macam ini. On Writing hadir dengan memberi pesan bahwa kalau seseorang ingin jadi penulis, maka yang perlu dilakukan hanya satu: menulis.***

Judul: On Writing

Penulis: Charles Bukowski

Penerjemah: Laila Qadria

Penerbit : Shira Media, Yogyakarta

Cetakan : Pertama, 2020

Tebal : x+254 halaman 

ISBN : 978-602-7760-29-5

Penulis

  • M. Najibur Rohman

    M. Najibur Rohman, lahir di Rembang, 1986, dan saat ini bermukim di Semarang. Suka membaca di waktu senggang. Resensinya pernah dimuat di sejumlah media cetak dan daring seperti Suara Pembaruan, Amanat, Justisia, Koran Jakarta, Seputar Indonesia, dan maarifnujateng.or.id.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Puisi Rudi Santoso

Setan Rindu dan Puisi Lainnya Karya Rudi Santoso

Puisi

Pelabuhan Jangkar dan Puisi Lainnya

Agus Yulianto Cerpen

Cerpen : Tarian Hujan

Apacapa N. Fata

Bânni Monteng Sakèlan

Fendi Febri Purnama Puisi Madura

Puisi Madura: Bânnè Gârimisen Polè

Apacapa Wilda Zakiyah

Adha yang Berpuisi

Apacapa

Vaksin Menyebabkan Jatuh Cinta, Fvksin?

Review Film

Review Film: Si Buta dari Gua Hantu

Apacapa Iip Supriatna

Tantangan Kaum Buruh di Era Moderenisasi

Cerpen Nanda Insadani

Cerpen : Azab Pemuda yang Menyukai Postingannya Sendiri Karya Nanda Insadani

Apacapa Dwi Mustika

Mengangkat Adat Istiadat Nenek Moyang: Keunikan Jogo Tonggo di Temanggung

Alexong Cerpen Robbyan Abel Ramdhon

Cerpen: Penghiburan Kosong

Cerpen Haryo Pamungkas

Cerpen : Kota dan Hujan di Pagi Hari Karya Haryo Pamungkas

Cerpen Putri Oktaviani

Cerpen: Lelaki Berpayung Putih

Banang Merah Cerpen

Cerpen : Untuk Perempuan yang Sedang Lari

M. Najibur Rohman Resensi

Resensi: Surat-surat Bukowski tentang Menulis

Apacapa Madura Syaif Zhibond

Lancèng Takaè’

Agus Widiey Puisi

Puisi: Amsal Sunyi

Apacapa Baiq Cynthia

Selamat Datang di Situbondo

Buku Resensi Thomas Utomo Ulas

Resensi: Menyemai Empati kepada Kaum Papa