
”Ada bagian kulit telur yang kadangkala menolak pasrah untuk dikupas. Perlu upaya lebih untuk bisa memisahkannya.”
Kemarin, saat mengikuti diskusi yang bertemakan “Posisi Gen-Z tantangan dan peluang”, saya kurang begitu sepakat dengan apa yang disampaikan oleh si AZ, selaku Narasumber pada acara yang bertepatan pada tanggal 27 September 2025.
Di depan kaula muda, ia seolah mendorong mereka untuk berani melakukan lompatan-lompatan yang luar biasa dalam hidupnya. Termasuk melompat ke luar kota dengan dalih mencari tantangan baru. Dan, katanya, supaya ilmu dan pengalaman yang di dapatkan disana, bisa digunakan di kota kelahirannya.
Seharian penuh saya mencoba merefleksi ucapannya. Seharian itu juga hati saya mantap menolak untuk tidak memiliki pikiran yang sama.
Situbondo ini, menurut saya, sama seperti telur yang sudah matang. Enak di makan, kalau di biarkan, ya eman. Sedangkan si AK ini seolah ingin membentuk kaula muda Situbondo seperti bagian kulit telur yang ketika dikupas, mudah dilepas. Padahal, di situlah letak tantangannya.
Jika kita semua percaya bahwa kekayaan SDA di kota Situbondo ini melimpah-ruah, justru kita perlu menjaganya. Nah, ini tantangan yang sebenarnya. Dan hanya mereka-mereka yang memilih menjadi bagian kulit telur yang susah dikupas saja yang bisa. Mereka akan meninggalkan jejak pada isi telur yang utuh—sebagai bukti mereka ada dan terlibat langsung dalam proses telur mentah menjadi matang.
Kuncinya satu: “Jika kalian ingin terbang, maka pergilah ke perpustakaan.” Sebuah kalimat, yang disampaikan oleh Mas Rio, di waktu yang sama.
Seperti yang kita ketahui, Mas Rio sendiri sebelum jadi Bupati pun juga besar di luar kota. Sukses di Jakarta—menjadi pengusaha muda. Tapi sepatah pun saya tidak mendengar Bupati muda ini mengeluarkan kalimat suruhan agar mereka (Gen-Z) untuk memilih melanjutkan hidupnya di luar kota. Entah berkuliah, atau bekerja.
“Mengapa harus perpustakaan?” jika ada yang bertanya, saya akan dengan senang hati menjawabnya. Benar atau tidak, tepat atau kurang tepat, terserah saja. Pembaca berhak memiliki asumsi yang berbeda. Dan perbedaan itulah yang memang saya harapkan.
Perpustakaan itu identik dengan buku. Buku itu, identik dengan pengetahuan. Semakin banyak buku yang kita baca, semakin luas pula pengetahuan yang kita kantongi. Baru setelah itu lambat laun, akan ada fase bahwa segala bentuk pemahaman terhadap sesuatu akan timbul dengan sendirinya.
Ya, sebetulnya cukup dengan itu. Jika posisi kita sebagai Mahasiswa, ya bacanya jangan cuma buku saja, tapi juga perlu baca peraturan-peraturan daerah. Minta aksesnya bisa ke Bapak Ibu Dewan. Kan, Mahasiswa merupakan pelajar yang selalu diperhatikan oleh pemerintah, sudah seharusnya juga terlibat dalam membangun suatu daerah. Label mahasiswa perlu seimbang dengan daya berpikirnya, itu yang diperlukan oleh pemerintah.
Yang masih SMA dan ingin mencari tantangan baru setelah lulus selain bekerja, bisa bergabung di komunitas. Yang lanjut kuliah, bisa berkuliah sambil berkomunitas. Lagipula tidak ada bedanya kok, kampus di Situbondo dengan kampus di luar kota. Yang membedakan cuma satu: kualitas.
Kualitas diri ini bisa dibangun melalui literasi, dan jalan berkomunitas adalah yang paling mudah. Aktivitas giat-giat literasi memang terkesan santai, tapi jelas ada dampaknya. Selain dapat tambahan relasi yang bisa dijadikan teman berpikir, juga ada pengetahuan baru dan pemahaman yang sudah pasti menjalar masuk ke diri kita. Setelah itu, barulah kita mempersiapkan diri untuk berani bertarung dialektik dengan orang-orang luar. Seharusnya ini yang perlu jadi ciri khas orang Situbondo, Oey. Bengalan!
Intinya, sekalipun saya kurang sepakat dengan si AZ, bukan berarti secara keseluruhan saya tidak menerima ucapannya. Beberapa ada baiknya juga kok. Hanya saja, mungkin, perlu diberikan solusi juga bagi mereka kaula Gen-Z yang tidak memiliki niat untuk pergi ke luar kota. Baik itu berkuliah, maupun bekerja. Yang mau ke luar kota, ya silahkan. Tidak apa-apa. Toh, banyak juga kok orang Situbondo yang sukses di luar kota. Tapi bagi saya, sukses saja belum cukup untuk mengindahkan Situbondo.
Untung saja, di acara itu Mas Rio tampil juga sekaligus berperan sebagai reseptif bagi kegundahan hati saya. Tapi bukan karena ia seorang bupati alasan saya untuk mengiyakan perkataannya loh, ya. Tapi jelas, kalimatnya telah mengundang harapan bagi mereka yang mendengarkan.
Semoga Situbondo ke depannya, bisa diisi oleh orang-orang yang mau berubah menjadi kulit telur yang susah dikupas, agar sepenuhnya betul-betul bisa menjaga keutuhan Situbondo (isi telur) dari tangan orang luar yang sekedar ingin menikmati enaknya saja.
Tinggalkan Balasan