
“Mak … Mak … tolong …,” aku berteriak sambil meringis, tak ada yang bisa kuselamatkan kecuali sepotong kain berwarna biru yang menjadi saksi. Penduduk kampung keluar dari rumah-rumah panggung, dadaku sesak, pinggangku terluka dengan darah mengucur deras, aku berjalan sempoyongan. Terakhir yang kuingat beberapa penduduk mendekat padaku bertanya, ada apa gerangan? Aku terjatuh tak sanggup menahan rasa sakit, aku harap dia kembali.
Pekan lalu Bak– Ayahku, pulih dari sakitnya. Wak Lukman, tokoh masyarakat desa datang menjenguk. Kedatangan yang kami kira kunjungan biasa ternyata membawa berita yang mengubah hidup kami.
Perusahaan dari kota datang mengambil alih tanah-tanah tak bersurat, sawit-sawit segera ditanam, kebun yang kami buka setahun lalu menjadi salah satunya. Tak ada yang bisa kami lakukan. Surat tanah tak pernah kami miliki. Sementara Kepala Desa diam, sibuk dengan oleh-oleh dari kota.
Lahan kosong tak bertuan dapat dengan mudah ditemukan di desa kami. Siapa yang mau membersihkannya dari semak belukar, dialah yang mendapatkannya. Tak pernah terpikirkan oleh keluarga kami untuk membuat surat tanah, membaca pun kami tak pandai apalagi mengurus hal seperti itu.
“Aku sudah tak sanggup lagi bekerja. Kebun karetku di dekat sungai itu, kau sadaplah!” Wak menawarkan.
“Terima kasih Wak, terima kasih sudah menolong kami,” bak menyalami
wak Lukman. Ia selalu membantu banyak warga, termasuk keluarga kami.
“Selalu temani Bak-mu Yusuf! Kau hartanya yang paling berharga,” wak menasihatiku.
“Baik Wak, aku akan melakukannya,” aku tersenyum sambil melihat wak
Lukman dan bak bergantian.
Hari ini kami memutuskan pergi untuk membersihkan kebun wak Lukman. Aku berjalan lebih dulu membawa papan, palu dan kayu besar. Kayu-kayu akan ditanam ke dalam lumpur, papan disusun membentuk dermaga kecil di ujung kebun, memudahkan agar kaki tak terinjak lumpur jika ingin mengambil air.
Belum sampai di kebun suara alat berat terdengar di seberang sungai, tanah-tanah dikeruk dan diratakan, parit-parit besar dibuat, aliran sungai desa kini bersatu dengan muara sungai yang telah lama tak terjamah manusia.
Bak di belakang berhenti sejenak memperhatikan proyek di seberang sana. “Untuk apa parit besar itu dibuat, muara sungai berbahaya jika terhubung dengan sungai desa kita. Mereka bilang ingin membuka lapangan pekerjaan, tapi rasanya malah bahaya yang akan datang,”
“Bahaya apa Bak?” Aku bertanya kebingungan.
“Ah bukan apa-apa,” bak menjawab sambil menepuk pundakku seakan
berkata semua baik-baik saja.
Kami tiba di kebun, bak mulai menancapkan kayu-kayu ke dalam lumpur, aku mengambil palu, memukul sekuat tenaga agar kayu tertanam sempurna di lumpur. Jika pondasi kayu sudah tertanam, papan-papan diletakkan di atas pondasi, lanjut diberi paku sebagai penghubung. Matahari mulai terbenam, kami harus segera menyelesaikan pekerjaan ini, sebelum azan magrib berkumandang.
“Ambilkan satu papan lagi, hari mulai gelap!” Bak berseru.
“Iya Bak,” aku bergegas mengambilnya.
Aku buru-buru kembali ke arah sungai, alirannya tampak tenang tak seperti biasanya. Para pekerja dari perusahaan pulang meninggalkan pekerjaannya, aku sedikit berlari memastikan tak banyak waktu yang terbuang.
“Cepat Nak!” Seru bak dari tepi sungai, napasnya nampak tersengal.
Tiba-tiba kraummm, hal yang tak pernah kusangka terjadi. Buaya muara yang kukira hanya legenda belaka, nampak jelas di hadapanku. Dia kembali. Buaya besar itu menggigit pinggang bak dengan giginya yang tajam dan besar.
Buaya itu lebih mengerikan dari apa yang pernahku bayangkan. Besarnya seukuran beduk di surau desa kami, panjangnya sekitar lima meter, badannya lengket dipenuhi berbagai benda sungai, matanya setengah tertutup lumut. Ia penuh amarah.
“YUSUF …!” Bak berteriak kesakitan.
Sambil menggigit, buaya itu mengguncangkan bak ke kanan dan ke kiri seolah mainan yang siap ia lempar kapan saja. Aku berlari sekuat tenaga meski harus melawan rasa takut yang amat besar. Aku berusaha melawan buaya yang jelas bukan tandinganku. Kutarik baju berwarna biru yang bak kenakan, seluruh kekuatan kuupayakan agar bak bisa lepas dari mulut buaya.
Kulempar papan yang kubawa tadi ke arah buaya. Slarppp ekornya memecut pinggangku. Amat kuat. Bagai amarah yang telah lama terpendam, tubuhku terpental hingga lima meter dari sungai terkena akar-akar pohon karet yang setengah timbul.
Saat aku ingin kembali ke arah sungai, kusadari usahaku menyelamatkan bak dari gigitan buaya berakhir sia-sia. Buaya itu menjauh berenang ke arah muara sungai sambil menggigit bak yang malang. Hanya potongan baju milik bak yang kudapatkan.
Aku berteriak sekuat tenaga, berharap ia bisa kembali walau hanya jasad yang tersisa. Dengan pinggang berdarah dan perasaan putus asa, aku kembali ke kampung sembari memegang sepotong kain dari baju bak, aku meminta tolong, berteriak dan terjatuh.
“Yusuf, bangun Nak.” Tangisan mak membangunkanku.
“Mak … aku tak bisa menyelamatkan bak,” aku terisak, aku ingin memeluk mak tapi pinggangku terasa amat sakit.
“Bak-mu di mana Yusuf? Bagaimana denganmu? Apa kau baik-baik saja?” Mak bertanya sambil menangis, matanya memancarkan kekhawatiran yang amat besar, ia mengelus rambutku berkali-kali.
Aku menangis tak dapat menjawab pertanyaan. Wak Lukman datang menenangkan, kuceritakan apa yang telah menimpaku dan bak. Buaya muara legenda desa kami datang dengan lumut tebal yang menutupi wajahnya, ia menerkam dan membawa bak pergi, selamanya.
Para penduduk berbondong-bondong datang dan berusaha menemukan bak. Saran dari semua orang kami terima. Dukun-dukun dari desa sebelah didatangkan, para pemuda dikerahkan, tetapi semua pencarian nampak sia-sia. Perusahaan dari kota terus melanjutkan targetnya tak terganggu dengan tragedi yang terjadi di dekat parit-parit besar yang baru mereka buka.
Kini hari yang kujalani terasa suram dan hampa, mak terlihat sering melamun di tangga rumah kami. Penduduk desa ketakutan tak berani memancing. buaya muara legenda dusun kami berkeliaran, menghantui para penduduk.
Cerita turun temurun kembali tersebar dari mulut ke mulut. Anak-anak kembali diceritakan kisah lama agar senantiasa waspada, mencegah korban selanjutnya. Lelaki paruh baya membawa kayu yang menimpa anak-anak buaya, buaya mengamuk, dan perjanjian terjadi. Tapi kemarin, entah amarah apa yang membawa dia kembali ke kampung kami.
Tinggalkan Balasan