Puisi-puisi Nandy Pratama: Merayakan Kepergian

 

Merayakan Kepergian

 

Di
gelombang hasrat yang sama

kita
memilih desah sebagai lagu penyatuan

sayu
mata denyutkan waktu

rusa
jantan tidur dan tumpah dalam gua cinta.

 

Tarian
gulita membabi-buta

Satu
sentakan telanjanglah malam

 

Takjub,
mata membaca gundukan

mencari
rute paling nikmat mencapai puncak

 

Hujan
menjulur

Menggeledah
bugil kulit-kulit mungil

Sesekali
teriakan pasrah menambah pacuan

Sedang
aku meneguk kering isi puisi

Di
antara lapar yang menggigil

 

Rayuan
menutup sebuah kecupan

Agar
mendapat ketenangan di alam kedua

 

Ternate,
15 Maret 2020

 

 

 

 

Tumpukan Doa

 

Di
daratan paling gila, kita meminjam waktu.

Matahari
perlahan kehilangan warna sementara kau nyala.

Menyelinap
kedalam tulang dada dan menetap.

Apakah
kau sedang merancang lelucon?

Supaya
terlihat seperti manusia

 

Aku
menjelma malam-malam yang memelihara gelap,

Memeluk
tubuh sunyi dan merapal doa-doa yang kalut  

seperti
musim-musim hujan yang ditumbuhi kehilangan

Sebelum
senja mengelupas, kita adalah makhluk-makhluk liar

Yang
mengikuti bibir mengeja nasib yang ditumbuhi cuaca-cuaca pedih

Sepasang
pergi menuju berantah dan entah kemana

 

Meskipun
Tuhan mengetuk-ngetuk jendela dan bertanya,

Kita
harus tetap menjadi sepasang yang tidak apa-apa

sepasang
bahagia meski bertubi-tubi disetubuhi lara

sepasang
syukur yang digempur mumur

dan
cara yang paling sederhana untuk menikmatinya ialah mengikuti bibirmu di cuaca
itu.

 

Ternate,
05 Desember 2019

 

 

 

 

Menyembunyikan Hati

 

Bunga
tak mengeluh walau usai dicuci air keruh

Walau
usai membelah lepas tandasmu

Dengan
berbagai pertanyaan-pertanyaan.

Dikepal
diam tak berujung ruang

 

Sejungkal
bising pun bekerja tak terkira

Menutup
tekan dalam pekat yang melingkar

di
tepi rupamu; di pekat malam yang dimakamkan dan dilacurkan oleh lauk-lauk tubuh

 

aku
mengeja kata pulang

meriaskan
sekelompok pergi yang mengompol

menyembunyikan
dirinya di balik buku-buku, di antara selipan baju

Luka
jatuh melompat-lompat di atas kamarku

 

Seketika
ibu bergurau layaknya topeng di singgasana kepalaku

Menatap
sampai tangis merawatku

Menjerit-jerit
seketika mengatakan “bila anak kecil luka, lupakanlah!”

 

Ternate,
11 Januari 2019

 

 

 

Menjelejah Ingatan

 

Aku
sejumput pasir beraroma amis laut yang tak kau cintai

Lengang
saat matahari sore tak lagi jingga atau angin mulai ribut mengabarkan malam

 

Aku
riak ombak, menggulung di basah-basah hitam pasir

Menjemput
sepi pada pesta kesedihan yang asinnya tak hanya dimiliki airmata

yang
entah bagaimana bisa dipanen terus dari palung mataku.

 

Aku
tebing curam di ujung sana

Kehilangan
yang menyamar debur-debur ombak

Sebagai
ganti detak yang bukan milikimu tetapi berusaha tetap hidup

 

Aku
mendung langit yang mengembara diatas laut

dan
mencari pantai untuk dijatuhi hujan

 

Aku
cintai yang patah, tetapi terus menulis namamu di pasir yang tersapu ombak

yang
disajikan sore sebelum petang

 

Aku
adalah retak yang bergumam di bawah karang

Runtuh
dikoyak kesepian

Jauh
yang bernostalgia dengan airmata dan kehancuran adalah hal yang paling sulit
untuk kuselami.

 

Ternate,
09 Maret 2021

 

 

 

Terpenggalnya Doa

 

Lampu-lampu
mulai kehilangan nyala

Kota-kota
menghapus ingar-bingar

Canda
tawa melambung dari tulang

di
pinggir senja, aku dipasung oleh malaikat

Mempertontonkan
hidup yang tak beraturan

Aku
mencoba memakan dagingku sendiri

Mengoyak
rengkih setiap perjalanan

Banyak
manusia yang gemar menunggangi punggung matahari

Berpura-pura
menjadi waktu

 

Aku
mabuk; Engkau tersenyum

Aku
berdusta; Engkau bahagia

Kutatap
anak bintang sambil menangis

Mengahanyutkan
kantuk yang terus berputar

Petang
berlalu, langit merangkum luka yang menjelma nafas

Doa-doa
yang terengah-engah mencari tempat peristirahatan membuka celah di antara
cakrawala

 

Kupinang
sepertiga rahasia di balik bulan

Menembus
kepala-kepala yang dipenuhi tangis dan penyesalan

Melepas
ratapan, di antara akronim yang paling panjang.

 

Ternate,
02 Februari 2020

 

 

 

TENTANG
Penulis

Nandy
Pratama lahir pada tanggal 15 Februari 1997 , beliau adalah seorang penyair
dengan nama penanya Ternate Di Ujung Pena. Giat menulis telah ditekuni sejak
masih SMP baik itu yang berupa cerpen ataupun puisi. Beberapa prestasi yang
pernah diraih diantaranya pernah menjadi juara 2 lomba cipta puisi, 50 penulis
terbaik, 100 penulis termuda selain itu beliau juga telah menulis 2 buah buku
puisi yang berjudul “Terjebak Puisi dan Ina”. Pada tahun 2019-2022 beliau juga
berkesempatan menjadi juri lomba cipta dan baca puisi yang diadakan secara
online. Fb : Pratama Matali

No
Telp/WA : 085232340866 (Nandy)

 

ILUSTRATOR

@Anwarfi, lahir dan tinggal di Situbondo.
Alumni DKV Universitas Malang tahun 2017, 
freelance designer, owner @diniharistudio Situbondo.

 

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa fulitik Muhammad Bayan

Mas Rio Bukan Caleg: Paket Komplit untuk Situbondo Masa Depan

Hamidah Mored Moret

Cerpen Mored: Hutan Lindung

Apacapa Madura Syaif Zhibond

Rèng Lakè’ Pernah Alebhele

Cerpen Salwa Ratri Wahyuni

Cerpen: Pohon Jeruk Bali Simbah

Ali Gardy Rukmana Apacapa

Album Stilasi: Merangkai Tradisi Nusantara

Puisi Reni Putri Yanti

Puisi: Terbiasa

Buku Dani Alifian Ulas

Ulas Buku: Dahulu Mereka dan Puisi

Apacapa Yudik Wergiyanto

Produktivitas dan Dua Kawan

Busyairi Puisi

Puisi: Wanita Tanpa Wajah

Cerpen Thomas Utomo

Cerpen: Bersetia

M Ivan Aulia Rokhman Puisi

Puisi – Balada Sunyi

Advertorial Mohammad Farhan Politik

Muscab DPC PKB Situbondo Angkat Tema Partai Advokasi

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Selamat, Mas Rio dan Mbak Ulfi

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Situbondo Makin Dingin Akhir-Akhir Ini, Tapi Tidak Bagi Imron

Cerpen Nur Diana Cholida

Cerpen: Bianglala dan Sisa Aroma Tequila

Haura Zeeba Karima Mored

Cerpen Mored: Katarsis

Cerpen Robbyan Abel R

Cerpen : Kemari, Akan Kubacakan Puisi Karya Robbyan Abel R

Futihah Qudrotin Puisi

Patung Kekasih dan Puisi Lainnya Karya Futihah Qudrotin

Puisi Rizqi Mahbubi

Puisi: Kota Melankoli

Nida Nur Fadillah Puisi

Puisi: Angin Misterius