Puisi: Di Stasiun Sebelum Peluit


Puisi-puisi Ahmad Maghroby R 


Kiriman

 

“Cong,
ini kiriman dari ibu.

Barangkali
bisa kau jadikan puisi.”

Sebuah paket tiba
dengan

 

Segala yang berakhir
di Panarukan

Dengan rel-rel dan
stasiun tabah

Menunggu siang
kemaren masinis

Bersiul pada pabrik
manis muram,

“ini,”

 

Serbuk kafein Kayumas
menyisir lereng

Malam yang berat
berkabut di pelupuk

Nafas tembakau
Besuki yang pekat

Berjaga tugur
berkepul waktu

“barangkali
kau senang begadang”

 

tenang Pasir Putih
menyanyikan ombak

ole
olang
perahu leluhur yang menombak

Angin dari Hyang dan
Selat Madura

Mengantar pesisir
pulau bersuara

ada selimut juga sebelum tidur”

 

Kumandang seribu
surau menggaris

pantai kelap kelip
truk-truk pantura

mulai menghidupkan
lampu-lampu kota

dan ufuk blekok
mencium kening senja

“dan
ini cemilan untukmu”

 

 

 

 

Jakarta
jakarta

 

jakarta seorang
istri pergi ke toko kelontong

dengan harapan pada
potret keluarga

kemasan sabun.

jakarta seorang
gadis mematut diri

di hadapan sampo
shacetan

sambil membayangkan
dan begumam,

“Maudy Ayunda!”.

jakarta seorang
pemuda menggegam tanahnya

dan diam-diam
membawanya ke pasar

untuk beli dasi.

jakarta seorang
berusaha menata lidahnya

untuk mengatakan ke ghenda’aannya,

wish you were here, dek”

 

 

 

 

Bocah
Kelereng

:jaya

 

Ia telah menundukkan
kemaren dan esok

di telapak dan
jemarinya:

Dua akar tunggang
yang jadi kehidupan

Dan serabut-serabutnya
yang meretas tandus

 

sapa lun, namanya?”

Sambil menggenggam
wafer,

Mata jening itu
meraba-raba

Merekah

Dan telunjuknya
melukis udara,

–barangkali
nasib

 

Aku mencoba
menebaknya,

“Enak? Nyaman yâ waferra?”

 

Ia menggeleng genit

Ia simpan jawaban

seperti menyimpan
rahasia

kiat-kiat hidup.

 

“bânnè!!”katanya.

“Jeee,
Aaaaa, Yeeee, Aaaa

JAYAAAA.

nyamana
engko’ JAYA!”

Ternyata ia
menuliskan sendiri

Garis namanya dengan
tangannya

Sendiri:

Ia melawan!

 

Dia mengelabuiku dan
tertawa,

dengan tawa yang
sama,

tawa yang mengelabui
kehidupan.

 

 “bâkna senneng amain apa?”

“senneng
amain lèker.

Engko’
menang malolo, bâ’na,

mon
amain lèker!”

 

Ya, dengan lengan
itu

Dua lengan singkong,
ia memenangkannya.

Dan kemudian, persis

di matanya yang
menang, kelereng itu muncul:

dunia yang remeh!

 

 

 

Membaca
di Ruang Ganti Rumah Sakit

 

Di ruang ganti itu,

sebelum makan siang,

kau lumurkan handsanitizer

pada tangan yang
sering ibumu elus dulu.

 

“manusia itu tangannya,
nduk

Seperti sungai di sana

dituliskan kata-kata,”

tutur ibumu dulu
sambil menaruh sekelopak

wijaya kusuma dan
menelungkupkan tanganmu.

 

Sunyi ada di ruang. Maka,
kau teteskan

sekali lagi handsanitizer demi higienitas

walau kau tau ia tak
dapat membersihkan

kuping. Lalu kau
gosok-gosok tanganmu,

dan memandanginya.
Tapi, sayang tanganmu

bukan kaca dan kau
bukan dokter kulit.

 

Sebenarnya, kau tau
tak ada apapun di sana

kecuali dirimu yang
ingin bertanya:

Berapakah kata-kata
untuk dirimu?

Bukankah tak ada
satu kata agar makna?

Sayang, kemaren
renik-renik itu telah

mengantar ibumu.

 

Sekarang, hanya cincin
dengan nama di meja

tengah sengit pada
kelebat selambu putih,

sedang sesak itu
semakin penuh

semakin tampak
nyata.

 

Maka, kau tengok
kembali

telapak tanganmu:

“adakah kau akan
kembali, ibu

menaruh bungan
lainnya,

mawar atau melati?”

 

 

 

 

Alur
di Empat Tempat

 

Bogor:

jembatan merah,
rintik,

payung; angsa.

 

Plaza:

tiga kursi, satu
kursi

penonton, Ramayana;

menolak pembakaran.

 

Kota Tua:

tugu, bibir pertama,

sebuah plaza;

tetap, merpati.

 

Stasiun:

kereta tabrakan, dua
ciuman; burung

gagak tanpa mati

lelakimu.

 

 

 

 

Dua
Dialog Laknat Perihal Kayumas

 

: Rumahmu di mana?”

: Kayumas, mas

 

–dialog
laknat pertama yang membawanya  

pada
kisah tentang sebuah desa

dengan
pabrik kopi tua di pelukan lereng bukit,

kebun-kebun
yang berbaris rapi,

dan
rumah-rumah mungil berjejer dengan hamparan jemuran biji

 

(Matkul desa-kota:

tanahnya gembur
lezat siap bunting;

biji kopinya ranum; lanskapnya
yang sahaja;

kafeinnya diolah
sedemikian rupa;

light,
medium, dark

dalam secangkir cappucino (tentu dengan love)

untuk kota yang
pasar dan resah)

 

: Aku mencintaimu

: Karena aku gadis
Kayumas?

 


dialog laknat kedua

yang
membawanya pada soal kemurnian

yang
mungkin memang tak pernah ada

dan
fana.

 

 

 

 

Di Stasiun Sebelum Peluit

 

“ning nung ning
nung,

Kereta Api Kertajaya
akan segera berangkat 30 menit lagi.

Dimohon kepada
penumpang untuk segera

melakukan boarding
pass”

 

Suara penyiar itu
terdengar

seperti himbauan
kelabu

Seperti bertanya
sekali lagi

dada yang kadung bersumpah

 

Orang-orang lalu
mengantri.

Petugas
melihat-lihat identitas. Dan

Sretttttttt: sobek!

Seperti codet di
muka

Sosok-sosok dalam
KTP itu

berpose nunduk

lainnya berlatar
merah padam

Sisanya keputus
asaan.

 

Dan di sepanjang
peron,

Petugas bolak-balik mengepel

risau dan gelisah
dengan cairan

patirasa

 

Maka, saat desing
sudah mulai terdengar

Dan pramugari
tersenyum manis seperti

Menawarkan sebuah
janji di ujung perjalanan

Tak ada hal lain,
kecuali memenuhkan dada

Karena memang tak
ada yang tersisa,

Kecuali harga diri,
Jakarta!

 

 

Penulis:

Ahmad Maghroby Rahman, redaktur takanta di Takanta.id, pernah berjualan es kul-kul! dapat dihubungi melalui satu pack rokok surya 12

Sumber gambar: <a href=”https://www.freepik.com/photos/train”>Train photo created by wirestock – www.freepik.com</a>

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bulan Nurguna Cerpen

Cerpen: Kirana dan Ibunya

Apacapa Raisa Izzhaty

Sebuah Cerita Horor Tentang Pernikahan

Ayis A. Nafis Puisi

Puisi: Hikayat Sebuah Maut

Baiq Cynthia Prosa Mini

Cinta Bilik Hati

Apacapa Feni Fenawati

Fenomena Selebritis yang Terjun ke Dunia Politik: Antara Popularitas dan Kompetensi

Apacapa Imam Sofyan

Mudik Sastra

Apacapa Indra Nasution

Gepsos dan Kisahnya

Puisi Wilda Zakiyah

Puisi: Sapardi, Selamat Jalan Menuju Keabadian

M. Syamilul Hikam Puisi

Doa Petani Tembakau dan Puisi Lainnya Karya M. Syamilul Hikam

Apacapa Kampung Langai Panakajaya Hidayatullah

Dangdut Madura: Upaya Orang Madura ‘Swasta’ Mengartikulasikan Modernitas

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Situbondo Dik, Patennang!

Esai N. Fata

Harlah ke-60: Mimpi-mimpi Semu Kader PMII

Mored Moret Taradita Yandira Laksmi

Cerpen Mored: Benang Merah Pengekang

Apacapa Ipul Lestari

Memeluk Bayangmu di 1250 MDPL

Apacapa Riski Bintang Venus

Optimalisasi Peran dan Kreativitas Pemuda Melalui Pendidikan Berkarakter Menuju Situbondo Bersaing

Buku Ulas Yudik Wergiyanto

Senyum Karyamin: Perihal Kesederhanaan

Agus Hiplunudin Apacapa

Rahasia Hidup Bahagia Ala-Kaum Stoik

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Percakapan Iwoh dan Saydi

Anwarfi Ngadi Nugroho Puisi

Puisi-puisi Ngadi Nugroho: Ramadan

Apacapa Panakajaya Hidayatullah

Masih Pentingkah Festival Kampung Langai?