Merayakan Lebaran: Ada yang Hilang

“Lebaran membawa perantau pulang. Pulang melihat semua yang telah berubah menjadi kenangan.” – merawatingat

Sebagai orang desa yang merantau ke kota, mudik adalah salah satu budaya yang menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia saat menjelang lebaran. Kampung halaman menjadi tujuan setiap orang untuk pulang mengunjungi orangtua dan keluarga. Lebaran menjadi ajang sakral yang tidak boleh dilewatkan oleh seorang perantau untuk bisa berkumpul bersama keluarga di kampung halaman baik untuk silaturahmi maupun bermaaf-maafan.

Istilah Lebaran sebenarnya berasal dari akar kata bahasa Jawa “Lebar” yang berarti selesai atau sudah berlalunya bulan puasa Ramadan menuju hari kemenangan. Lebaran ataupun Idulfitri merupakan momen istimewa bagi seorang muslim selain setahun sekali lebaran juga membawa setiap muslim kembali pada kesucian dan kebersihan dari dosa ataupun kesalahan. Sehingga pada momentum tersebut setiap orang memiliki ruang untuk saling bersinergi membangun dan memperkuat persaudaraan.

Sebagai perantau tentu lebaran sangat dinanti-nanti, ada kebahagiaan tersendiri ketika suasana mudik untuk merayakan hari kemenangan di kampung. Selain jajan khas lebaran, masakan ibu dirumah, dan tentu kita dapat menikmati suasana kampung halaman yang berbeda dengan suasana di kota yang penuh kemacetan dan padatnya kesibukan karena tuntutan pekerjaan. Kita ambil contoh saja di kampung kita akan menikmati hujan dengan kesejukan dan ketentraman, di kota kita akan menikmati hujan beserta banjir yang terjadi di mana-mana. Namun tidak fair jika kita membandingkan hal tersebut, namun pada intinya kampung halaman menjadi tempat paling nyaman untuk kita pulang baik dalam keadaan menang ataupun kalah ketika kita mengais rezeki di perantauan. Jadi pada dasarnya pulang kempung bukan hanya sekadar pulang, namun mempunyai esensi untuk mendekatkan diri dengan keluarga tercinta.

Namun tahun ini di kampung halaman terasa berbeda, setiap sudut di kampung yang mengisahkan cerita saat masa kanak-kanak hingga remaja namun pada hari ini yang tersisa hanyalah cerita dan kenangannya. Satu persatu teman sepermainan mulai menghilang karena keadaan yang memang memaksa mereka untuk merantau ke kota menjalani pekerjaan ataupun bahkan karena faktor lain seperti berkeluarga di daerah lain. Setiap sudut di kampung yang mengisahkan banyak cerita, saat ini hanya tersisa kenangannya saja. Pekarangan luas, sawah, lapangan yang biasa menjadi tempat berkumpul dan bermain sekarang menjadi bangunan padat pemukiman, tidak ada ruang lagi. Semua yang pernah menjadi cerita pada masa dulu tidak akan terulang kembali.

Pada akhirnya, pulang di momen lebaran bukan hanya tentang melepas rindu pada keluarga, tapi lebih dalam lagi tentang semua yang kita ingat di kampung halaman seakan membawa kita pada suasana dahulu. Pulang kampung bukan sekadar pertemuan fisik, tetapi juga tentang membawa energi positif dan semangat kebersamaan ke dalam lingkungan keluarga, dan tentu sebagai bentuk refleksi diri darimana sebenarnya kita berasal. Merayakan lebaran di kampung salah bentuk balas dendam paling manis jika berbicara perihal rindu. Tidak ada penawarnya selain mudik, lebaran, dan merayakannya semuanya di sini.

Penulis

  • Penulis bernama lengkap Indra Andrianto. Lahir di Bondowoso pada bulan Maret 1995. Penulis buku Kumpulan Opini #Merawatingat (terbit tahun 2018) dan Catatan Bingung (terbit tahun 2022). Penulis juga aktif menjadi pendidik di JB School Badung, Bali.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa N. Fata

Bânni Monteng Sakèlan

Puisi Rudi Santoso

Puisi – Aku Ingin Menajadi Kalimat di Doamu

Cerpen Irfan Aliefandi Nugroho

Cerpen: Tubuh Berkarat

Puisi

Pelabuhan Jangkar dan Puisi Lainnya

Apacapa takanta

Burnik City: Dulu Tempat Main, Sekarang Tempat Healing

Cerpen

Cerita Rakyat Asembagus

Ana Khasanah Buku Ulas

Ulas Buku: Mengabdi Adalah Seni Menjelajahi Diri

Cerpen

Cerita dari Taman Kota dan Surat Kabar Misterius

Uncategorized

7 Tips Mengatasi Pilek secara Alami

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Teman Saya yang Sudah Menjadi Ayah

Apacapa Marlutfi Yoandinas Sastra Situbondo Sofyan RH Zaid

Puisi Nadhaman dan Hari Chairil Anwar

Guru Mored Moret Puisi Ririn Anggarini

Rindu dan Puisi Lainnya

Apacapa Esai Muhammad Ghufron

Menjadikan Buku sebagai Suluh

Apacapa apokpak N. Fata

DPRD Menggonggong, Pak Karna: Ngutang PEN Jalan Terus

Apacapa Irwant

Situbondo Digilir…, Cinta

Apacapa redaksi

Kampung Langai, Dik: Apa Kamu Gak Mau Nonton?

Abi Alfatih Mored Moret

Satu Langkah Terakhir

Apacapa Syaif Zhibond takanta

Takanta Para’ Ongghuen

Apacapa Esai Marlutfi Yoandinas

Jika Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan*

Cerpen Ken Hanggara

Cerpen – Dunia Silver