Sekolah dan Makna Sejati Pendidikan

“Ketika sekolah hanya mengejar ranking, siswa hanya disiapkan menjadi mesin kompetisi, bukan manusia berpikir.”

Noam Chomsky

Jika boleh jujur, saya adalah salah satu pendidik yang tidak setuju dengan adanya sistem ranking di kelas. Ketidaksukaan ini bukanlah tanpa alasan. Pernyataan Noam Chomsky seakan sudah mewakili keresahan saya terhadap praktik pendidikan yang lebih menekankan persaingan daripada kesadaran berpikir.

Setiap orang tentu pernah mengenyam pendidikan di sekolah, tetapi tidak semua benar-benar memahami apa itu sekolah, apa tujuan utamanya, dan bagaimana pengaruhnya terhadap kehidupan manusia. Pertanyaan-pertanyaan mendasar ini jarang sekali dipikirkan secara serius, bahkan oleh mereka yang telah lama bergelut di dunia pendidikan. Padahal, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa membawa kita pada pemahaman baru mengenai makna sejati pendidikan.

Secara etimologis, kata sekolah berasal dari bahasa Inggris school, Prancis école, Spanyol escuela, dan Italia scuola, yang semuanya berakar dari bahasa Latin schola. Kata ini diturunkan dari bahasa Yunani scholē, yang berarti bukan “tempat belajar”, melainkan “waktu luang” atau “kegiatan di waktu senggang”. Roem Topatimasang dalam bukunya Sekolah itu Candu menegaskan hal ini. Pada masa Yunani Kuno, masyarakat pergi ke scholē untuk mengisi waktu luang mereka dengan belajar, berdiskusi, dan berfilsafat. Kebiasaan ini ternyata melahirkan peradaban yang maju, bahkan hingga Plato mendirikan sekolah Akademia yang legendaris. Dengan demikian, sekolah pada mulanya dimaknai sebagai ruang kebebasan untuk berpikir, bukan sekadar tempat formal untuk menimbun pengetahuan.

Namun, seiring berjalannya waktu, makna sekolah bergeser. Dari yang semula berarti “waktu luang”, sekolah kini identik dengan “tempat belajar” yang cenderung formal dan kaku. Dalam konteks modern, pemikiran Paulo Freire kembali mengingatkan kita bahwa sekolah bukanlah tempat untuk mengisi otak siswa dengan hafalan, melainkan ruang dialog dan pembebasan. Sekolah seharusnya membantu siswa menemukan dirinya sendiri, membangun critical consciousness (kesadaran kritis), serta memahami realitas sosial di sekelilingnya.

Setiap guru tentu ingin muridnya mampu mengubah dunia. Namun, kita sering lupa bahwa perubahan sejati dimulai dari perubahan diri sendiri. Kesadaran pribadi adalah langkah awal, dan dunia akan bergerak mengikuti langkah kecil tersebut. Dengan pemahaman ini, ranking atau peringkat tidak lagi relevan sebagai tolok ukur keberhasilan. Manusia bukanlah makhluk yang dikuasai keadaan, melainkan makhluk yang diberi pilihan. Hidup adalah hasil dari pikiran dan tindakan, bukan sekadar angka atau permainan takdir.

Pendidikan sejati adalah pendidikan yang menumbuhkan kesadaran, karakter, dan akhlak mulia. Ia ibarat tangan yang menolong jiwa, menuntun manusia menuju kebahagiaan, serta membuka jalan bagi lahirnya pemikiran baru. Pendidikan tidak boleh lagi dipahami hanya sebagai proses transfer ilmu dari guru ke siswa, apalagi sekedar ajang mengadili siswa dengan angka. Pendidikan harus kembali pada hakikatnya: memanusiakan manusia.

Penulis

  • Penulis bernama lengkap Indra Andrianto. Lahir di Bondowoso pada bulan Maret 1995. Penulis buku Kumpulan Opini #Merawatingat (terbit tahun 2018) dan Catatan Bingung (terbit tahun 2022). Penulis juga aktif menjadi pendidik di JB School Badung, Bali.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ipul Lestari Puisi

Alisa, Kamulah Puisiku

Cerpen

Cerpen: Harimau dan Gadis Kecil

Alexong Cerpen Hana Yuki Tassha Aira

Cerpen: Waktu yang Pecah di Balik Pintu

Cerbung Moh. Imron

Cerbung: Farhan dan Perjalanan ke Barat (Part 2)

Apacapa Esai Haryo Pamungkas

Ketemu Mas Menteri di Warung Kopi

Apacapa Kakanan Kuliner Situbondo Moh. Imron

Nasi Kolhu Balung

populi Puisi rejeng

Puisi: Sekeping Sunyi

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Menjemput Cinta dari Tanah Santri ke Tanah Wali

M Ivan Aulia Rokhman Puisi

Puisi – Masih Melawan Ketakutan di Rumah Tua

Buku Thomas Utomo Ulas

Ulas Buku: Perlawanan Terhadap Eksploitasi Anak

Cahaya Fadillah Puisi

Puisi-puisi Cahaya Fadillah: Setelah Engkau Pergi

Apacapa Randy Hendrawanto

Pemilihan Tidak Langsung Mengebiri Hak Politik Rakyat

Apacapa Gus Faiz

Gus Fahruddin Faiz Jalan-Jalan ke Baluran Situbondo Jelang Ngaji Literasi

Ilham Wiji Pradana Puisi

Puisi-puisi Ilham Wiji Pradana: Rumah Pak RT

Mareta C. Widodo Mored Moret

Puisi Mored: Senapan Pak Nidin dan Puisi Lainnya

Buku Resensi Thomas Utomo Ulas

Resensi: Menyemai Empati kepada Kaum Papa

Apacapa Nanik Puji Astutik

Menjadi Perempuan Cerdas di Era Milenial

Apacapa

Apakah Menjadi Ibu Dilarang Sambat?

Apacapa Kyaè Nabuy Madura Totor Wisata Situbondo

Apalessèran ka Pèngghir Sèrèng Blekko’

Apacapa Moh. Imron

Bolatik: Menyimak tim Preman Pensiun di Selowogo