Biola dalam Kenangan

Oleh: Wilda Zakiyah
Saat
pagi mengintip di celah mata yang terbuka, saya mendengar
suara biola
dimainkan dari arah matahari terbenam, bunyinya seperti kepak burung camar,
gemericik air
dan
suara matahari menggerat subuh. Harusnya saya tidak sepuitis itu, semua
mengalir
begitu
saja saat mendengarkan alunan senar
yang digesek itu.
Saya
suka alat musik, pernah beberapa kali memainkan bermacam-macam alat. Seperti
gitar,
saksofon,
piano, harmonika, seruling, sampai alat musik tradisional seperti angklung dan
sasando. Alat musik untuk qasidahan pun tak luput dari pegangan saya, dan
sering saya temui semasa menyantri, ada rebana, marawis, tumbu, dan bass.
Rasanya hanya satu alat musik yang tidak pernah saya sentuh, biola. Alat musik
gesek dengan bentuk menyerupai gitar, tapi bentuknya khas, membedakan mana
biola dan mana gitar. Sampai sekarang saya penasaran, bagaimana rasanya
memainkan biola dengan tangan sendiri. Pasti seru.
Mengingat
biola, mengingatkan saya pada
sebuah acara yang diinisiai oleh Mas
Aves
. Ia merupakan pendiri
Komunitas Biola Situbondo atau populer disebut SIVIC.
Malam itu, 17 Agustus, di tengah suasana Dirgahayu Ke-74 RI,
KBS mengadakan acara
musik di
Taman Makam Pahlawan, Situbondo. Acara itu didedikasikan untuk pahlawan. Mereka
mengenangnya dengan harmoni dalam musik biola yang teduh, juga melo.
Sebenarnya, malam itu saya dapat undangan dari Mas
Barlean Aji untuk mengisi acara di Jember, Srawung Sastra #5.
Saya batal hadir.
Saya memilih menghadiri acara di
kota sendiri. Menikmati alunan biola,
petikan gitar, dan lagu- lagu yang
menenangkan. Misal, persembahan lagu dari Mas Jeje, seorang kawan yang baru saja mengeluarkan album
perdananya
. Saya datang bersama beberapa teman
dari Takanta.id dan Info Literasi
Situbondo. Saya rasa, malam ini bakal menjadi lebih asyik. 
Saya
ingat dari awal datang,
penonton disuguhi pokak dan jajanan olahan yang entah saya tidak tahu namanya. Kemudian saya duduk di atas karpet yang saya sendiri sudah lupa warnanya. Sambil
menikmati anak kecil bernama Bintang yang sedang
menggesek biolanya di depan
orang-orang yang hadir
pada
acara tersebut.
Ternyata
banyak kawan-kawan yang saya kenal juga hadir
meramaikan acara
komunitas biola. Mas Anwar
, seorang desainer muda dan pernah patah hati,
tiba-tiba muncul di belakang saya.
Ia duduk bersebelahan dengan saya.
Saya juga bertemu Bang Joe
, bloger muda dan tuna asmara,
yang duduk bersila menikmati minuman pokak yang disuguhkan.
Ada Mas Alif, sastrawan air mata, dan Ulfa Maulana, cerpenis muda. Turut hadir beberapa tamu
dari komunitas-komunitas yang tersebar di kota kecil ini.
Malam itu, saya hadir bersama seorang lelaki yang tidak
akan pernah saya sebut namanya disini.
Saya
tidak ingin menceritakan ada apa saja di acara tersebut, bagaimana suksesnya
acara itu berjalan. Semua itu sudah saya abadikan dalam kenangan, sebagai
bentuk refleksi ingatan. Mendengar biola selalu berhasil mengingatkan saya pada
acara mas Aves 17 Agustus lalu.
Saya
juga ingat saat nama saya dipanggil oleh MC untuk menyumbang di acara tersebut,
sekedar membaca puisi. Nama yang
terdengar asing ditelinga saya. Dari Wilda
Zakiyah, menjadi Wilza Zazkiyah. Sepertinya saya belum meminta ayah untuk
mengubah nama dan menyembelih kambing lagi. Tapi saya anggap itu sebuah
kekeliruan, katanya orang Situbondo
, Tapalecok.
Saya maju seperti biasa, tanpa sepatu atau sandal, karena dulu para pejuang
tidak memakai alas kaki, kecuali mereka sudah elite dan takut sengat matahari.
Saya
membaca puisi seperti biasa, seperti Wilda yang membaca hikayat kenangan yang
menyakitkan. Dengan intonasi tinggi dan gertakan. Sebenarnya itu dikenal
sebagai deklamasi, hanya saja lebih akrab di sebutan teman-teman sebagai
membaca puisi. Pembacaan yang tidak slo-slo amat.
Acara
Mas Aves tidak selesai di situ, ada permainan musik Lainnya yang berkolaborasi,
sampai ditutup dengan lagu Iwan Fals, yang berjudul ‘Bongkar’ (Kalau tidak
salah judulnya itu, ingatan saya mulai melemah semenjak beralih mengingat Dia).
Semua benar-benar menikmati sampai acara usai dan bubardengan khidmat. Acara
yang keren sekali. Acara tanpa campur tangan pemerintah daerah. Dan tanpa
disangka, itu sudah menjadi kenangan.
Bagaimana
bukan kenangan jika saya menikmatinya dan ternyata itu sudah berlalu. Termasuk
menikmati matanya yang semakin lama-semakin teduh saja.
Sayup-sayup
suara biola yang saya dengarkan mulai melemah dan menghilang. Ah, kapan- kapan
Saya akan ke tempat Mas Aves dan minta diajarkan bermain biola. Bintang, Nina,
dan beberapa anak didiknya yang masih kecil-kecil saja bisa, kenapa saya tidak?
Semangat itu harus ada. Yah kalau belajarpun tetap gagal, berarti saya memang
tidak terlahir sebagai pemain alat musik dari surga itu. (Mellassaghi).
 _________________
*) Penulis merupakan pecinta puisi dan penulis buku Naluri Semesta.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Dani Alifian Puisi

Puisi : Hujan di Tubuh Seorang Perempuan Karya Dani Alifian

ebook

Sudut Kota: Kumpulan Cerita Situbondo

Apacapa Madura Totor

Bâbitthèl

Apacapa Nanik Puji Astutik

Power of Penulis

Apacapa

Sports-Sciences: Kolaborasi Pembelajaran Olahraga dan Fisika

Apacapa Feminis Irham Kahfi Yuniansah

Diskursus Feminisme Jawa: Kekuasaan dan Laku Spiritual

Alexong Arianto Adipurwanto Cerpen

Cerpen: Malam Panjang Naq Kerinying

hafid yusik

Surat Terbuka untuk Kiai Muhyiddin

Puisi Toni Kahar

Puisi : Aku Mengecup Hujan Karya Toni Kahar

Curhat Moh. Imron

Ramadan: Tangisan pada Suatu Malam

Ipul Lestari Puisi

Alisa, Kamulah Puisiku

Uncategorized

Ini Dia Perbedaan Mas Rio dan Teh Rio

M Firdaus Rahmatullah Mored Moret Puisi

Gunung Ringgit dan Puisi Lainnya

Apacapa

Hal-hal yang Dibicarakan Sepasang Suami Istri Setiap Hari

Cerpen Syarif Nurullah

Cerpen: Bagaimana Cara Kita Berkenalan?

Apacapa Imam Sofyan

Andai Aku Menjadi Bupati Situbondo

Buku Diva Safitri Rahmawati Ulas

Resensi: 4 Masa 1 Mimpi

Apacapa Imam Sofyan

Aku, Polisi dan Buku

Buku Ulas

TUHAN Tidak Makan Ikan dan Cerita Lainnya: Tertawa Sembari

Apacapa Marlutfi Yoandinas Situbondo

Refleksi September Hitam