Kuliner Malam Situbondo : Nasi Jagung


Ibu
Kut, Merawat Warisan Keluarga
Dari
PG Olean, berjalanlah anda ke arah utara. Anda akan melihat plang ATM sebuah
bank, lalu mesjid di pojokan pertigaan. Dari sana, teruslah anda ke arah utara.
Nanti, di kanan jalan anda akan melihat warung kecil yang tidak tercantum dalam
gugel map. Di sanalah saya biasa menyelamatkan perut dari lapar pada jam-jam
kelelawar.
Saya
baru pulang dari Rumah Baca, di Kampung Langai. Seorang laki-laki yang tak
asing, yang akhir-akhir ini rutin menelepon tunangannya, bersama saya. Di
tengah perjalanan pulang, ia menawari saya makan. Malam membikin kami
menggigil. Sepanjang jalan kami mencari warung yang buka. Sampai di daerah
tenggir, kami berhenti pada sebuah warung di pinggir jalan yang memang buka
pada jam-jam segitu.
Jam
digital di layar gawai saya menunjukkan angka nol nol lewat sekian.
Warung
berukuran 3×4 meter itu tampak dengan kesederhanaan yang tidak dibuat-buat. Hanya
terdiri dari empat tiang penyangga bercat hijau dan beratap asbes. Lampu menyala
terang tergantung pada bagian depan. Di dekat lampu, aneka kerupuk digantung, juga
rempeyek. Di bawah kerupuk-kerupuk itu, terdapat meja panjang, di atasnya nasi diletakkan
dalam bak besar, ketan, bakul dan panci berisi lauk juga cobek tempat sambal. Di
sebelah meja itu ada meja kecil tempat  air
kemasan botol dan gelas  ditata rapi. Juga
sendok dalam wadah berwarna merah. Di sisi lain, pada meja berukuran panjang namun
lebih rendah, teronggok sebuah mesin pemarut dan kelapa yang sudah dikupas. Di atasnya
digantungi kopi dan tempat meletakkan termos.
Warung Bu Kut, Tenggir
Di
samping bangunan semi permanen tadi ada ranggun yang tampak baru dibangun. Meja
dan kursi yang di atasnya ditataki ceret dan gelas, menempati sebuah halaman rumah.
Ceret itu berisi air hangat. Pas sekali untuk melawan udara malam yang dingin.
Saat
baru sampai, pemilik warung, seorang ibu-ibu berambut sebahu mengenakan clemek,
sedang melayani dua orang pembeli. Tangannya cekatan menyentong nasi dan menata
pesanan ke atas piring.  Di bawah sorot
lampu itu, tampak nasi masih mengebul.
Tiba-tiba
tercium wangi kemenyan. Ibu-ibu itu bilang kalau akhir-akhir ini di sana memang
sering begitu. Tetangganya rutin membakar kemenyan pada tengah malam. Saya baru
menyadari di seberang jalan ada sebuah pemakaman di bawah pohon-pohon mangga. Malam
kian mendingin. Mas Imron yang duduk-duduk saja di ranggun terlihat memasang
jaket. Pada meja-meja di halaman rumah, dua orang pembeli sebelum saya telah duduk
dan makan.
“Pesan
apa, Dek?” Tanya ibu itu kepada saya dan Mas Imron.
Mas
Imron menghampiri saya dan jemarinya menunjuk wajan dan melihat-lihat isinya.
Ia memesan nasi jagung dengan lauk ikan gesseng. Dengan pesanan yang
sama, saya mengganti lauknya dengan telur rebus yang dimasak dengan bumbu
berwarna merah gelap. Mungkin semur kecap. Tapi biar saya sebutkan secara detail
menu itu: nasi jagung, sekol, tahu, tempe, kecambah, kangkung, buje
cabbi, ikan gesseng atau anda bisa menggantinya dengan telur rebus, seperti
saya. Selain nasi juga menyediakan palotan.
Pemilik
warung itu bernama Ibu Kut. Ia melanjutkan usaha neneknya, Bu’ Ajjhi yang
berjualan sejak ia masih anak-anak.
“Kalau
dihitung, mungkin sudah lima puluh tahun.”
Ibu
Kut mulai mempersiapkan segala kebutuhan di warungnya pada pukul sepuluh malam.
Mulai dari menanak dan memasak lauk-pauknya. Barulah sekira-kira jam dua belas
malam, Ibu Kut akan membuka warung dibantu suaminya. Ia punya dua orang anak–yang
salah satunya kenal dengan Mas Imron–kuliah di luar kota. Ibu Kut akan tutup
menjelang pagi.
“Kalau
jam tiga sudah habis, ya, saya nanak lagi.” Ujarnya sambil melayani pembeli.
Ibu
Kut saya perhatikan tampak akrab dengan pembeli. Mungkin langganannya. Mungkin
memang sudah pembawaanya begitu. Satu-dua pembeli ngobrol ngalor-ngidul sambil
makan. Semuanya ia ladeni. Pernah, orang Surabaya pernah datang ke warungnya
berkomentar, “ternyata di Situbondo ada juga kuliner malam.”
Saat
ditanya apa tidak ingin mulai melayani pembelian online. Ia hanya tertawa.
“Anak
saya Youtuber. Adek kok wawancara saya, Youtuber juga, ya?”

Ahmad Zaidi, tinggal di Tanjung Geger, Mangaran, Situbondo

Penulis


Comments

2 tanggapan untuk “Kuliner Malam Situbondo : Nasi Jagung”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cerpen

Bocah itu Bernama Laut

Apacapa Imam Sofyan

Kenapa Gerakan Situbondo Membaca Lahir?

Buku Thomas Utomo Ulas

Ulas Buku: Perlawanan Terhadap Eksploitasi Anak

Apacapa Dicky Bagus Pratama Muhammad Yoga Pratama Nadine Churnia Putri Reza Nalendra

Sasaeng: Sisi Gelap Dunia K-Pop

Apacapa Hasby Ilman Hafid

3 Hal Unik yang Pernah Dilakukan Oleh Santri

Buku Junaedi Resensi Ulas

Resensi: Passion Seorang Ganjar yang Gayeng Dalam Membangun Jawa Tengah

Puisi Syukron MS

Puisi: Wonokromo, Cinta, dan Masa Lalu

Puisi Tjahjono Widarmanto

Ayat Nostalgia dan Puisi Lainnya Karya Tjahjono Widarmanto

Film/Series Ulas Yopie EA

Kraven the Hunter dan Kegagalan

Moh. Gufron Cholid Puisi Sastra Minggu

Kitab Cinta dan Puisi Lainnya

Alex Cerpen

Cerpen: Panarukan, Sepotong Kenangan

Cerpen Muhtadi ZL

Cerpen: Dengan Rasa

Cerpen Qurrotu Inay

Cerpen: Mereka Berbicara tentang Kamu

Advertorial

Tips Memilih Celana Boxer Agar Nyaman Digunakan

Apacapa Imam Sofyan

Tips Asyik Memilih Bupati dan Wakil Bupati

Apacapa Rahman Kamal

Menghidupkan Kembali Semangat Ki Hadjar Dewantara

Cerpen Gusti Trisno

Cerpen – Runtuhnya Pertahanan Kunti dan Perang Pandawa Lima

Apacapa Muhammad Lutfi

Tiga Dekade Upaya Liverpool Melepas Jerat Kutukan

Apacapa Denny Ardiansyah

Ode untuk Orde Pak Dadang

Apacapa Moh. Imron

Ali Gardy Bertiga: Tirakat Bunyi