Cerpen : Joe di Persimpangan Jalan Karya Gusti Trisno


Oleh
: Gusti Trisno
Joe
memejamkan matanya, lalu membayang hal-hal indah yang tak semestinya, mulutnya
komat-kamit menahan rasa yang tak bisa dilukiskan dengan beberapa juta kata.
Beberapa menit kemudian, jiwa remaja itu terguncang. Ketika mengetahui ibu
masuk tanpa permisi ke kamarnya.
“Apa
yang kamu lakukan Joe?” Ibu bernada khawatir langsung menanyakan perilaku Joe
yang memasukkan tangan ke dalam celana pendeknya.
Joe
langsung menarik tangan, peluhnya satu-dua menetes lalu berubah menjadi
keringat yang tak beraturan. Ia menarik napas, menginginkan tubuh yang lebih
lega. Tapi, tatapan Ibu yang menyorot rasa penasaran itu membuatnya
kebingungan.
Suasana
kian mencekam, ketika sang Ayah ikut masuk ke dalam kamar Joe.
“Emangnya
apa yang kamu lakukan Joe?!”
Joe
terdiam, ia menunduk malu.
*
“Makanya
Joe kalau melakukan itu ya lihat-lihat, kok sampai nggak tahan!” ucap Mamat, menjadikan
Joe bulan-bulanan diantara teman-temannya.
“Sudahlah,
Joe. Kita itu memang masa remaja, soal hal itu udah biasa. Kayak bapakmu dulu
suci saja nggak pernah melakukan hal itu.” Ucap Fredy membuat semua lelaki yang
berada di markas cecunguk cardos tertawa terbahak-bahak.
Joe
tak menanggapi perkataan teman-temannya, ia merasa telah salah menceritakan
kisah yang begitu pribadi itu. Tapi, mau gimana lagi, bagaimanapun teman-teman
cecungguk itu memiliki kisah lain atau saran untuk dirinya.
“Joe,
kamu jangan melakukan hal itu lagi. Bagaimana?”
“Susah.
Udah kucoba, bahkan udah taubat nasuha! Eh, beberapa saat kemudian kembali
dengan memasukkan tangan dalam celana.” Joe mengakui kisah bodohnya,
cecunguk-cecungguk para cardos itu ketawa terbahak-bahak. Kepolosan yang Joe
miliki bagi mereka adalah ladang tertawa.
“Aku
tak menyuruhmu untuk bertobat, Joe!” ucap Fredy, “Tapi ya, biar lebih bagus
kita cari yang baru. Sensaninya pasti beda.”
“Apa?”
“Pelepasan
rudal, perkoalisian dua insan!” jelas Mamat.
Joe
menggeleng lemah, jauh dalam pikirannya ia merasa akan mendapatkan dosa-dosa
baru jika sampai melakukan perkoalisiasan atas nama ketidakhalalan. Tapi,
bagaimana pun sebagai remaja yang mencari jati diri. Ia merasa membutuhkan
pengalaman yang berbeda.
“Maaf,
aku mau pulang.” Putus Joe kemudian.
*
Siang
hari sepulang dari perkumpulan para geng cecungguk, Joe kembali sibuk dengan
dunianya. Ia langsung menjelajah dunia maya, chatting dengan banyak perempuan, yang kadang-kadang menyerempet
kepada masalah yang tak pantas dibicarkan orang yang belum menikah.
Bunga
Kesepian    : Ya, begitu Joe. Itu
pengalaman pertama aku. Rasanya seperti pergi ke awan. Saat bibir dua insan
berpautan. Bagaimana pengalamanmu?
Cinta
yang Terlarang      : Mau bagaimana lagi,
Joe. Jangankan orangtua, mau tembok China yang menghalangi akan kami coba runtuhkan.
Joe
tak membalas dua perempuan yang seperti mengajaknya berkompromi atas rasa-rasa
nano-nano yang tak biasa.
Seketika
Joe keluar rumah, ia lalu menatap tetangga kiri-kanan dan pandangannya terfokus
pada Ibu dari Fredy yang sedang menjemur pakaian dengan kondisi menggunakan
sampir yang basah. Hingga semua lekuk tubuhnya kelihatan.
Joe
tersenyum menang. Ia merasa menemukan objek khayalnya yang baru. Pandangannya
pun tak teralih. Ibu Fredy mulai merasa ada yang memerhatikan. Perempuan
setengah baya itu memberi senyum tiga senti kepada Joe. Joe langsung membalas dan
bertanya basa-basi.
“Kok
sampai nyuci banyak, Bu. Ndak capek. Suruh si Fredy nyuci, Bu!”
“Ya,
anak itu. Mana mungkin bisa nyuci. Kerjaannya setelah sekolah, keluyuran saja.”
“Duh,
betapa kasihan Ibu temanku ini harus mencuci banyak pakaian.”
Ibu
Fredy tersenyum.
“Sudah
selesai, Nak. Ibu masuk ke rumah ya!” ucap Ibu Fredy sambil menggantungkan
kutang terakhirnya.
Joe
menatap kutang berwarna merah muda itu, ia langsung mengetahui jika ukurannya
itu termasuk dalam ukuran sedang.
Joe
pun ikut masuk ke rumahnya. Di dalam kamar, ia segera mencari bahan bacaan
baru. Jarinya yang kekar segera memencet kata kunci menuju bahan bacaan yang
belum ia selesaikan.
Napasnya
pun seperti orang memburu sesuatu. Joe terus membaca, membaca, dan membaca.
Kadang ia tersenyum, kadang mengenyitkan kening. Ditatapnya hapenya begitu
fokus. Hingga ia tak sadar jika ada sepasang mata yang memerhatikan dan membuka
kamarnya.
Sepasang
mata itu lalu mendekatkan diri pada Joe.
“Joe!”
teriak perempuan itu.
I-i-i-b-u.” Joe terbata-bata, tak
percaya jika Ibunya masuk dalam kamar.
“Kok
tetep nggak berubah kamu!”
Joe
terdiam.
Ia
tak menemukan alasan untuk berbicara.
Namun,
ia langsung selamat ketika mengetahui Fredy memanggilnya di luar rumah. Segera
Joe pamit meninggalkan Ibu-nya yang semakin bingung dengan perilaku remaja
tanggung itu.
*
“Bagaimana
udah dipikir-pikir?” Fredy langsung ceplas-ceplos menanyakan hal tersebut pada
Joe.
Joe
terdiam.
Memang
selama ini, ia selalu menjadi objek tunggal di setiap percobaan, tangan
menelusuri celana. Tapi, rasanya ia tak ingin ada objek kedua yang membuatnya
butuh bersimboisis muatualisme. Muatualisme? Bukannya malah bisa menjadi
simbosis yang tak menguntungkan, pikir Joe dalam hati.
“Ada
beberapa yang udah kutemukan. Dan aku yakin kamu cocok. Aku sudah nentukan
pilihan loh.” Fredy memanas-manasi Joe.
Joe
tak berkata apa-apa. Ia langsung melangkahkan kaki keluar dari markas cecungguk
cardos.
Kembali
ke rumahnya dan membaca lanjutan cerita yang belum tuntas.
“Joe
kapan kamu berubah?” suara Ibu-nya di luar kamar.
Lebih baik aku seperti ini
dibanding merugikan orang lain,
bisik Joe dalam
hati.
Tapi, itu juga tidak baik,
bagimu, Joe. Lekaslah tersadar,
suara hati Joe
yang lain.
Joe
berhenti melakukan aktivitasnya seketika.
Ia
membanting hapenya. []
Biodata Penulis
Gusti
Trisno. Aktif menulis cerpen, puisi, novel, dan resensi. Penggiat Komunitas
Penulis Muda Situbondo ini lahir di Situbondo pada tanggal 26 Desember 1994.
Setelah menyelesaikan pendidikan
di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Jember,
kini ia menjadi guru Bahasa Indonesia di Yayasan Pendidikan Ponpes Nurul Islam
Jember.
Ia pernah
menjadi juara 2 Penulisan Cerpen dalam Pekan Seni Mahasiswa Jawa Timur 2016.
Bukunya yang telah terbit Museum Ibu
(Kumpulan Cerpen, Ae Publishing)
dan Ajari Aku, Bu (Kumpulan Puisi, Penerbit FPPS), serta tulisan
lainnya  dalam bentuk cerpen dan essay
yang dimuat di beberapa media. Ia bisa dihubungi di Facebook: Gusti Trisno,
E-mail: gusti.trisno@gmail.com atau telepon: 085330199752.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Esai Muhammad Badrul Munir

Zaidi dan Kisah Seorang Wali

Ahmad Syauqil Ulum Prosa Mini

Kenapa Aku, Siapa Aku?

Apacapa

Kayumas Bersastra: Menjadi Tua yang Menyenangkan

Tips/Trik

Sabun Mandi Bisa Membuat Kulit Kering, Fakta atau Mitos?

Cerpen

Lelaki di Tepian Pantai yang Memandang Gunung

Apacapa Imam Sofyan

Surat Terbuka untuk Pak Karna

Atika Rohmawati Puisi

Puisi: Percaya

Ahmad Zaidi Apacapa Esai

Mapasra: Merayakan Perjalanan Puisi

Agus Hiplunudin Buku Feminis Politik Ulas

Ulas Buku : Perempuan, Politik, dan Pemilu

Buku Muhammad Rizal Resensi Ulas

Resensi: Tentang Jalan Lurus dan Sungai yang Mengalir

AF. Qomarudin Puisi

Secangkir Kopi dan Puisi Lainnya Karya AF. Qomarudin

Nila Afila Puisi

Puisi: Ibu Tani dan Puisi Lainnya

Apacapa Buku Hat Pujiati Ulas

Sejarah, Tubuh, Dosa dan Diri dalam Merupa Tanah di Ujung Timur Jawa

Agus Karyanantio Apacapa

Menanggapi Hari Jadi Kabupaten Situbondo

Cerbung Moh. Imron

Cerbung: Farhan dan Perjalanan ke Barat (Part 2)

Buku Putri Nur Fadila Ulas

Ketika Dewasa Itu Karena Terpaksa

Alex Cerpen

Cerpen: Panarukan, Sepotong Kenangan

Nurillah Achmad Puisi

Puisi : Nafsu Pohon Surga dan Puisi Lainnya Karya Nurillah Achmad

Moh. Yusran Moret

Puisi Mored: Madu Empedu dan Puisi Lainnya

Fendy Sa’is Nayogi

Memahami Pepatah Madura: Gherrâ Ta’ Bisa Èangghuy Pèkolan, Lemmes Ta’ Bisa Èangghuy Panalèan