Angin yang Berembus Rumor Mantan di Bulan Agustus

Oleh
: Baiq Cynthia
Angin
tiada henti menabrak pohon, menerbangkan seng-seng yang memeluk rumah. Tentu
saja angin sedang lapar di awal Agustus, kata orang Madura disebut Nemor (Angin Timur). Bulan Agustus 2018 ini bertepatan
dengan Bulan Haji, di mana akan ada kurban sapi, kambing bahkan korban
perasaan. Kasian sekali yang terakhir, lebih miris dari mereka yang
mengikhlaskan ternak. Kau tahu jika setiap tahun hanya sekali ritual pemotongan
hewan kurban. Tetapi, bagi kaum kesepian yang ternyata sering patah hati—sebut
saja krisis hati, setiap hari harus sakit hati, ditinggal mati oleh perasaan
yang tak terbalaskan.
Uniknya
di bulan Agustus tentu saja banyak umbul-umbul berwarna merah-putih, sebagai
lambang Negara.  Tepat pada 17 Agustus
seribu sembilan ratus empat puluh lima, Indonesia dinyatakan merdeka dari kaum
penjajah. Indonesia mendapatkan hak kemerdekaan. Air mata jatuh tatkala sang
saka dikibarkan, terharu-tersedu mengingat perjuangan lebih dari 350 tahun melawan
penjajah. Sungguh, perjuangan Indonesia dengan tombak runcingnya melawan
senapan jarak jauh, melawan pistol-pistol panjang. Indonesia benar-benar
merdeka saat itu! Bebas dari tawanan Bangsa Kolonial.
Soekarno
pernah berujar, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah,
perjuanganmu akan lebih sulit lagi karena melawan bangsamu sendiri.” Saya
sangat sepakat dengan hal ini, era perjuangan pembebasan dari penjajah, bangsa
Indonesia benar-benar bersatu memerangi ketidak-adilan, memerangi ego mereka untuk
sama-sama maju memperebutkan bumi pertiwi yang beratus-ratus tahun dikuasai
bangsa lain.
Saat
ini, Indonesia memang sudah merdeka, tetapi banyak kaum muda yang terperangkap
pada penjajahan secara tak kasatmata. Mereka yang terbelenggu pada ego sendiri,
masing-masing merasa lebih tepat hingga membuat ‘kotak-kotak’. Bangsa kita
sekarang sedang dikuasai oleh tirani fanatisme, egoisme, tidak etis-me juga
saling merasa benar sendiri-sme. Kasus kecil saja yang terjadi pada sebuah
keluarga kecil kami di Situbondo.
Bisa
dibilang kami bersaudara, satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa yaitu
Indonesia. Tetapi kami punya pemikiran yang berbeda. Pemikiran berbeda ini
sebenarnya tidak lain sebuah perkembangan pikiran. Satu kepala ingin semua
warganya melek huruf dengan membaca, kepala satunya ingin semua anggotanya
melek tinta dengan menulis, kepala sisanya menginginkan pengikutnya melek media
dengan daring. Keseluruhan yang mereka buat padahal satu cabang yang sama yaitu
menebar semangat perjuangan melawan kebodohan dan hoax.
Tetapi
apa yang terjadi? Sebuah rumor patah hati dan mantan lebih sering berdengung
pada pikiran mereka. Seperti angin pada bulan Agustus, isu yang setiap hari
hinggap pada neuron-neuro pikiran alam bawah sadar mereka. Membuat retak pada arti
saudara yang sesungguhnya. Kepala satu memilih jalan sendiri dengan terus
melakukan aktivitasnya, kepala satunya memilih membubarkan anggotanya dengan
dalih tidak ada komunikasi lagi, kepala sisanya tetap ingin merayakan
‘kenangan’ dengan mengibarkan bendera putih.
Bangsa
kita sudah merdeka, kita sudah diberikan hak prerogatif untuk menentukan jalan
menuju perbaikan. Tetapi terlalu sering ranting-ranting tajam yang diterpa oleh
angin timur, ranting-ranting patah penuh duri memang menghangi jalan kita.
Akankah kita perlu mengubah rute, atau mencari jalan baru? Itu hanya angin yang
berulah hingga rumor mantan belum usai. Kabar gembiranya, setelah korban
perasaan, nanti rumor mantan akan berganti pernikahan. Semoga saja perayaan
bendera putih akan menjadi bendera janur kuning.
Bangsa
Indonesia sudah merdeka, hanya orang-orangnya saja yang belum merdeka. Mereka
masih sering percaya pada tiupan angin timur yang mengembuskan
rumor mantan.
Biodata Penulis

Baiq Cynthia, Pecandu Kata,
Pembidik Siluet Senja dan Pencari Cinta. 

Penulis


Comments

2 tanggapan untuk “Angin yang Berembus Rumor Mantan di Bulan Agustus”

  1. Keren tulisannya…

  2. uwaooo #situbondo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Curhat Moh. Imron

Ramadan: Tangisan pada Suatu Malam

Baiq Cynthia Cerpen

Cerpen: Giok

Cerpen Salwa Ratri Wahyuni

Cerpen: Pohon Jeruk Bali Simbah

Apacapa Fendi Febri Purnama Madura Totor

Sètan Nandhâng

Apresiasi Musikalisasi Puisi

Musikalisasi Puisi – Apa Kabar?

Apacapa Nanik Puji Astutik

Kehidupan Ini Tak Seindah Foto yang Kita Posting

Pantun Papparekan Madura

Pantun Marongghi

Anwarfi Faris Al Faisal Puisi

Puisi-puisi Faris Al Faisal

Puisi Syafri Arifuddin Masser

Puisi: “Status 1: Apa yang Anda Pikirkan?”

abdul wahab Apacapa

Menguak Potensi Ecotrail Desa Sumberanyar

Buku Cahyo Saputro Resensi Ulas

Resensi: Lelaki, Cinta, dan Masa Lalu

Ahmad Zaidi Apacapa

Sebuah Perjalanan : Tentang Kayumas Bersastra

Advertorial

Perkembangan Tipe-tipe Kamar Mandi

Pantun Papparekan Madura Sastra Situbondo

Pantun Madura Situbondo (Edisi 2)

Apacapa Wahyu Umattulloh Al’iman

Langganan Kebakaran Hutan dan Alih Fungsi Lahan, Derita atau Bahagia

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Eeufemisme: Antara Maling dan yang Kurang Maling

Polanco S. Achri Puisi

Puisi: Di Belakang Pondokan Teringat Du-Fu

Buku Monique Clariza Resensi Ulas

Resensi: Jejak Kelahiran Manusia Lewat Adaptasi Grafis

Puisi Rudi Santoso

Setan Rindu dan Puisi Lainnya Karya Rudi Santoso

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Situbondo Makin Dingin Akhir-Akhir Ini, Tapi Tidak Bagi Imron