
Di kota yang dibangun dari kekonyolan ini, akan tuan temui seorang lelaki bermata keruh yang saban waktu ke sana-ke mari hanya untuk bercerita. Di jalan-jalannya yang lengang dan selamat dari kemacetan, lelaki kerempeng itu dengan keceriaan di wajahnya akan mengayuh sepeda tuanya. Ia akan berhenti setiap ada orang-orang yang berkumpul di taman-taman kota, warung kopi, dan di pondokan kecil yang mulai banyak dibangun di sepanjang jalan untuk menjajakan kesedihan.
Sebelum memulai ceritanya, biasanya ia akan terlebih dahulu menyapa dengan panggilan puan atau tuan atau nyonya atau nona atau adik dan setelah panggilan itu ia menambahkan sebutan ‘yang berbahagia’ disusul dengan kalimat panjang ‘bersediakah Anda mendengarkan saya bercerita?’
Tetapi, orang-orang yang ia jumpai hanya menggeleng, dan tak jarang melemparkan koin ke arahnya sambil menggerutu.
“Heran. Masih segar bugar begitu kerjanya malah mengemis.”
“Ngamen bukannya nyanyi malah bercerita. Apa-apaan.”
“Mungkin dia sudah gila.”
“Mungkin dia gagal nyaleg pada pemilu kemarin. Kemudian stres.”
“Mungkin dia dulunya seorang cerpenis gagal. Makanya ketika tua jadi seperti itu.”
Begitulah. Lelaki itu akan tersenyum atas penolakan dari orang-orang yang ditemuinya. Ia akan pergi dan kembali mengayuh sepeda tuanya menyusuri jalan-jalan kota dan terus mencari satu-dua orang untuk mendengar ceritanya. Hampir setiap orang di kota ini mengenalnya. Namun tak ada yang peduli.
Banyak desas-desus yang mengatakan bahwa lelaki itu adalah seorang pensiunan tentara yang hampir terbunuh di medan perang. Dihantui ingatan buruk tentang kawannya yang mati, suara-suara tembakan dan rintihan kesakitan juga kota-kota yang hancur membuatnya kembali ke kota ini. Ketenangan kota ini membantunya menghilangkan mimpi-mimpi buruk dari sebuah peperangan.
Kabar lain mengatakan, lelaki itu dulunya adalah seorang buronan yang menghabiskan malam-malam penuh ketakutan di laut. Kapal yang ditumpanginya dihantam badai. Seluruh awak kapal itu lenyap. Ia adalah satu-satunya yang selamat. Terdampar sendirian di sisi utara kota ini, di sebuah perkampungan nelayan miskin, yang seluruh penduduknya terlilit utang pada tengkulak dan saban hari ditipu petugas pelelangan ikan. Hingga setelah peristiwa yang samar-samar di kepala orang-orang, entah apakah benar-benar terjadi atau tidak, lelaki itu mulai menyusuri setiap sudut kota ini menggunakan sepeda tuanya. Katanya, ada sebuah rahasia yang harus orang-orang ketahui. Namun sejak saat itu, orang-orang sudah kehilangan kepercayaan terhadap segala hal yang berbentuk cerita apalagi berita. Sejak saat itu, orang-orang lebih banyak menghabiskan waktunya di warung kopi dan taman-taman kota daripada di depan televisi. Tapi ada hal ganjil yang menghalangi mereka untuk bicara dengan akrab. Kecurigaan. Setiap selesai membaca koran atau tanpa sengaja menyaksikan potongan-potongan berita, orang-orang akan berseru, “ini pasti bohong… itu pasti bohong.”
Lalu, segala hal yang ada di kota ini tampak seperti kebohongan yang terlalu dibesar-besarkan.
Hingga secara tak sengaja, aku mendengar lelaki itu berbicara sendirian sembari menangis tersedu di sebuah halte pada tengah malam yang kuyup di bawah guyuran hujan. Dengan suara serak dan berat, ia bertanya apakah aku bersedia mendengarkannya bercerita. Ia berjanji tidak akan lama cerita itu selesai. Aku melihat matanya sembap. Seperti ada penyesalan yang ingin ia keluarkan, namun tidak tahu harus dengan cara apa.
“Apa yang sebenarnya ingin kau sampaikan kepada orang-orang kota ini, Pak Tua?”
“Penyesalan, Nak.”
“Apa yang salah dengan sebuah penyesalan?”
“Penyesalan membuatku harus kembali ke kota ini. Kau tahu, aku dikutuk tetap berada di kota ini sampai penyesalanku hilang.”
“Memangnya kau tinggal di mana?”
“Nanti kau tahu sendiri.”
Maka, laki-laki itu pun bercerita.
Pada sebuah pagi yang riuh di pelabuhan kecil kota ini, laki-laki itu berdiri di haluan kapal yang tak lama lagi akan menyentuh bibir pantai. Ia adalah ketua regu pasukan khusus yang ditugaskan untuk memantau sebuah gerakan rahasia yang mengancam keamanan negara. Gerakan itu mula-mula terbentuk dan merekrut banyak orang di kota ini.
Di hari pertama kedatangannya, orang-orang kota ini menyambutnya, membantu ia dan kawan-kawannya. Mendirikan markas berupa bangunan sederhana dari kayu dan bambu, membangun pos-pos penjagaan di sepanjang pesisir pantai. Saat itu, kehidupan di kota ini benar-benar membuat siapa saja betah. Sejauh mata memandang, tuan akan menyaksikan pemandangan agung bagaimana kota ini dipeluk bebukitan juga pantai. Orang-orang saling sapa dengan gembira, seolah mereka semua lahir dari rahim yang sama: kota ini.
Namun semua itu luluh lantak disapu desas-desus yang menabur kecurigaan satu sama lain. Orang-orang mulai takut untuk bertegur sapa. Saling menghindar agar tidak dicap sebagai pemberontak. Perlahan, kota ini tenggelam dalam ketakutan juga kecemasan. Tanpa ada yang tahu siapa yang mulai merusak ketenangan kota ini.
Sampai pada suatu ketika, laki-laki ini menerima perintah dari seseorang untuk menggelandang paksa orang-orang yang di depan rumahnya diberi simbol tertentu. Pada malam laknat dan terkutuk itu ia beserta regu pasukannya membawa truk hilir-mudik di jalan-jalan kota. Menggelandang paksa orang-orang yang tidak tahu apa kesalahan mereka, diangkut naik ke truk. Truk itu pergi dan lenyap. Paginya, keanehan melanda orang-orang di kota ini yang bersikap biasa saja. Seperti tidak terjadi apa-apa. Sesuatu seolah merampas ingatan mereka. Sampai saat ini, tidak ada yang tahu apa yang terjadi dengan orang-orang malang itu.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Pak Tua?”
Aku memberanikan bertanya demikian, ketika melihat tubuh laki-laki di hadapanku gemetar. Ia menangkupkan wajahnya pada kedua tangannya.
“Aku mencuri ingatan orang-orang di kota ini. Aku mengambilnya. Merampas sesuatu yang seharusnya mereka miliki.”
Laki-laki itu menerawang ke arah langit yang menumpahkan gerimis. Lalu ia melanjutkan ceritanya.
“Kau tahu, malam itu di sebuah hutan yang dulunya berada persis di bagian timur kota ini, orang-orang yang sebenarnya tidak tahu alasan kenapa mereka ditangkap dibariskan di dekat liang yang memang telah dipersiapkan sebelumnya.”
“Lalu?”
“Orang-orang itu dikubur hidup-hidup.”
“Kenapa setelah peristiwa itu tidak ada yang mempermasalahkannya?”
“Tak lama setelah itu kota ini dilumat api kemarahan. Gedung-gedung. Rumah-rumah. Tempat-tempat ibadah semuanya habis terbakar. Dalam kobaran api yang menghabisi kota inilah, aku memutuskan menyelamatkan orang-orang dari kegilaan yang sengaja diciptakan penguasa waktu itu. Sebelum ingatan orang-orang dilenyapkan oleh penguasa, aku yang lebih dulu mengambilnya.”
“Apakah ingatan itu tidak bisa dikembalikan?”
“Sebentar lagi, anak muda. Seisi kota akan menyadari apa yang selama ini disembunyikan dari mereka.”
“Kapan?”
“Nanti, setelah urusanku selesai. Apakah kau bersedia membantuku?”
“Apa?”
“Tembak aku!”
“Kau sudah gila?”
“Tolonglah! Aku ingin segera bebas dari kutukan ini.”
“Jangan tolol, Pak Tua.”
Tapi,belum selesai aku mencegahnya, laki-laki itu mengajakku berjalan ke sebuah bangunan yang temboknya telah dipenuhi lumut. Seperti sarang hantu. Di belakang bangunan itu, aku mencium anyir darah dan aroma kayu terbakar. Laki-laki itu berdiri menghadap tembok. Ia melemparkan sepucuk revolver tua dari saku celananya.
“Tolong, tembak aku sekarang.”
Tepat setelah peluru itu menembus kepalanya, laki-laki itu tersenyum dan mengatakan sesuatu dalam gumaman yang lambat. Seolah sedang membaca doa. Lalu di antara sisa hujan, tubuhnya beringsut pudar. Seperti dalam sebuah cerita fiksi.
Sekarang aku ingat bahwa kota ini pernah terbakar oleh api kebencian dan kemarahan. Aku ingat semuanya. Aku ingat bagaimana setiap sehabis subuh kakek akan pergi dari rumah, bersembunyi di hutan dan akan kembali pada malam hari untuk makan sebentar lalu beringsut pergi lagi karena diburu penguasa. Aku ingat ayah temanku yang hilang pada suatu malam. Sampai sekarang jasadnya tak pernah ditemukan. Aku ingat bagaimana suara tangis orang-orang pada malam itu, suara deru truk, sumpah serapah dari orang-orang yang tak berdaya melawan penguasa.
Dari sisi gelap kota, sudut-sudut gang, dan dari arah bebukitan aku mendengar bunyi angin yang ganjil dan menyayat. Berulang. Ketika suara-suara itu hilang, aku dan orang-orang menyadari sesuatu: kota ini sedang menangis. []
Tinggalkan Balasan