Curhat: Pak Menteri, Kami Jenuh!

freepik

Oleh Vania Callista Artanti*

Pendidikan
dan ilmu pengetahuan merupakan unsur penting yang harus ada di dalam setiap
diri manusia tanpa harus memandang  gender,
agama atau stratifikasi sosial lainnya. Siapa aja boleh belajar kepada siapa
saja, baik secara teoritis maupun perjalanan empiris seseorang yang bisa
dimaknai sebagai suatu pembelajaran dan hikmah. 

Menurut saya,
memandang fungsi pendidikan akan mengarah pada fungsi membangun serta mengembangkan
minat dan bakat individu demi kepuasan pribadi dan kepentingan umum, yang nantinya
mampu membentuk karakter sesuai cita-cita dalam karakteristik manusia
ber-Pancasila. Hal ini sejalan dengan dengan UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional, bahwa:

 โ€œTujuan pendidikan
nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawabโ€
.

Dalam
mewujudkan tujuan pendidikan tentu sangat diperlukan perangkat dan pendukung
yang benar-benar maksimal menjalankan sistem pada pendidikan tersebut. Akan
tetapi pada abad ini kita berada di masa-masa sulit,  mengingat tahun ini adalah tahun kedua sejak wabah
Covid-19 mewabah di Indonesia dan saya sebagai seorang siswa pasti merasakan
hal sama seperti siswa pada umumnya, yakni sama-sama dalam merasakan jenuh yang
luar biasa dengan adanya Covid-19 ini.

Pendidikan tahun ini sangatlah berbeda,
perbedaannya pun sangat signifikan. Sebagai seorang siswa yang sedang menempuh
pendidikan di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), dalam menerima materi pelajaran
harus dikurangi dari segi waktu (jam pelajaran) dan keterbatasan ruang yang
hanya mengandalkan perantara aplikasi bernama whatsapp yang digunakan untuk
melangsungkan pembelajaran daring yang dibawakan oleh masing-masing guru mapel
setiap harinya.

Seorang
guru dengan segala upaya, berusaha agar pendidikan tetap bisa terlaksana
meskipun dalam situasi yang saya yakini juga merasakan banyak kesulitan
mengingat para guru juga baru pertama kali memiliki pengalaman untuk
melaksanakan pembelajaran dengan sistem daring, belum lagi adanya perubahan
kurikulum dan metode belajar pun juga harus berubah.

Di sisi lain siswa
mengalami keterbatasan waktu dan ruang, menyebabkan setiap siswa harus berpikir
lebih keras yang membuat pikiran manusia harus bekerja dua kali lebih
melelahkan untuk memahami setiap materi-materi pelajaran yang ada dengan waktu
yang begitu singkat.

Belum lagi jika KBM yang berlangsung berjalan dengan tidak
efektif, hal demikian semakin membuat proses belajar tidak menemukan maknanya.
Keterbatasan waktu dan jarak serta cara penyampaian yang kurang efisien benar-benar
membuat siswa jenuh.

Yang
menjadi kegelisahan saya di sini, tentang kapan sekolah tatap muka seperti biasanya
dan setiap siswa bisa belajar dengan layak dan kondusif. Pandemi memang tidak
bisa ditebak arahnya, namun satu hal perlu diketahui bahwa tidak mungkin
generasi bangsa Indonesia itu tumbuh dengan cara sistem pendidikan seperti hari
ini, bagaimana psikososial dan mental kami? 

Hal ini yang perlu diperhatikan
jika sampai Covid-19 menyebabkan panjangnya waktu pembatasan sosial. Jangan
sampai pemerintah lengah dan abai, karena risiko yang ditanggung untuk
melahirkan generasi harapan bangsa sesuai tujuan pendidikan nasional akan kecil
kemungkinan terealisasi.

Bagaimana dengan Mental kami?

Pada
bulan Maret 2019, sekolah mulai memberlakukan sistem pembelajaran daring atau online
learning
dalam strategi belajar untuk menyikapi banyaknya tingkat kasus
positif Covid-19. Kebijakan demi kebijakan diambil untuk menangkal corona virus mulai dari kebijakan PSBB,
PPKM Mikro, PPKM darurat, dan sekarang kita berada di masa-masa PPKM Level 4
yang semua kebijakan tersebut menjadi strategi mengurangi untuk kluster
pernyebaran virus selama perjalanan dua tahun lebih sejak munculnya corona virus di Indonesia sejak Maret
tahun 2019.

Namun perlu digarisbawahi, bahwa hal tersebut belum menemukan hasil
yang baik dalam menuntaskan kasus positif Covid-19 bahkan rumah ibadah pun ikut-ikutan ditutup akan tetapi hasilnya
sama saja bukannya berkurang malah semakin bertambah. Tidak perlu penulis
sertakan data, karena setiap media dan bahkan satgas Covid-19 pun menyuguhkan
data yang valid.

Dalam
situasi yang genting tersebut, tentunya juga akan berimbas pada dunia
pendidikan yang menyebabkan sekolah tidak bisa berfungsi sebagaimana fungsinya.
Saya tahu bahwa pemerintah khususnya pak menteri pendidikan mengedepankan kesehatan dan keselamatan
peserta didik, keluarga, dan masyarakat secara umum yang pada problem ini masih
menjadi prioritas utama yang harus dipertimbangkan selama masa pandemi. 

Jika
pembatasan sosial masih berlanjut dengan jangka waktu yang lama, maka tidak
menutup kemungkinan setiap anak bahkan orang dewasa akan mengalami penyakit
mental akibat pandemi. Seperti yang disampaikan oleh
Hendriati Agustiani
seorang pakar psikologi dari Universitas Negeri Padjajaran yang mengatakan bahwa situasi pandemi dapat memunculkan
ketakutan yang berlebihan, stigmatisasi dan xenophobia yang merupakan respon
terhadap situasi sulit. Diikuti juga dengan kemungkinan adanya perilaku
maladaptif, emosi dan reaktif defensive.

Tidak
sampai di situ saja, dengan keadan darurat nasional yang diakibatkan oleh Covid-19
bukan tidak mungkin setiap siswa dan bahkan orang tua akan mengalami turunnya
motivasi dalam semangat belajar dan laku hidup bagi orang tua. 

Pada tahap ini
perhatian mental juga perlu menjadi titik yang harus diperhatikan. Selain itu
kegiatan belajar dari rumah berkaitan dengan ketidakpastian dan kecemasan
dikarenakan pembatasan terkait aktivitas fisik dan kesempatan bersosialisasi di
sekolah. 

Rutinitas dapat terganggu karena tidak adanya kegiatan yang terkonsep
dan tersistem seperti ketika setiap siswa bisa belajar di sekolah. Siswa akan
cederung menjadi irritable (lekas
marah), clingy (melekat), mencari
perhatian dan lebih tergantung pada orangtua karena adanya pergeseran rutinitas
atau dalam kata lain jika pandemi berlanjut dalam jangka waktu yang lama maka
akan menjadi kecenderungan yang menyebabkan mengalami penyakit mental yang juga
akan menjadi ancaman yang tidak kalah bahaya nya dari Covid-19.


 BIODATA
PENULIS


Penulis
bernama lengkap Vania Callista Artanti, seorang siswi di SMA Negeri 1 Prajekan
dari Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Penulis lahir pada tanggal 01 Agustus
2004. Saat ini aktif sebagai penulis opini di beberapa media.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa Rahman Kamal

Petani itu Pekerjaan Paling Enak di Dunia, Tapi Kenapa Gak Diminati Gen Z?

Apacapa

Belajar, Bermain, Bergembira melalui Media Digital

Apacapa Opini

Bagaimana Jika Situbondo Menjadi Kota yang Ramah Bahasa Indonesia?

Imam Suwandi Puisi

Puisi – Subuh yang Terjarah

Apacapa Permata Kamila Situbondo

Arebba: Mendoakan Para Leluhur

Penerbit

Buku: Rumah dalam Mata

Amaliya Khamdanah Buku Resensi Ulas

Resensi: Melintasi Zaman di Kudus Melalui Novel Sang Raja

Puisi Syukron MS

Puisi: Kapsul Cinta

Cerbung Fikri Mored Moret

Cerbung: Fikri dan Kisah-Kasih di Sekolah (Part 2)

Buku Junaedi Resensi Ulas

Merekonstruksi Ulang Ketidakadilan Spasial dan Politik Kewargaan Desa

Film/Series Muhammad Rizal Ulas

Resensi: Kembang Api

Moh. Gufron Cholid Puisi Sastra Minggu

Kitab Cinta dan Puisi Lainnya

A. Warits Rovi Cerpen

Cerpen: Lelaki Yang Bercita-cita Jadi Tukang Sihir

Cerpen Yuditeha

Cerpen: Berhenti Bekerja

Apacapa apokpak N. Fata

Memperkuat Kemanusiaan Generasi Digital

Ahmad Maghroby Rahman Apacapa takanta

Selamat Molang Are Takanta.id

Apacapa Esai Kakanan Wilda Zakiyah

Pedasnya Jihu Tak Sepedas Rindu

Cerpen Gusti Trisno

Cerpen – Runtuhnya Pertahanan Kunti dan Perang Pandawa Lima

Achmad Nur Apacapa

Pesantren di Tengah Cengkeraman Kapitalisme Global

Apacapa Sejarah Situbondo

Diskusi Penyelamatan Cagar Budaya: Sebuah Ikhtiar Membuka Mata Pemerintah Situbondo