Dadang Wigiarto; Bupati Religius itu Berpulang

Oleh
Mohammad Farhan*

Azan
isya baru saja selesai berkumandang ketika sirine ambulan berbunyi di kejauhan. Bunyi sirine itu, pelan-pelan merayap semakin dekat. Saya dan istri berlari
kecil menuju Jalan Kenanga. Di tepian jalan, orang-orang berjejer terpisah
berseberangan jalan. Sebagian membuka gawai dan menyorotkannya ke tengah jalan.
Sekian detik kemudian iring-iringan mobil jenazah, polisi, dan beberapa mobil pribadi
melintas.

“Ya
Allah Pak…..”

“Pak
Dadang….”

“Pak
Bupati…..Ya Allah” 

Mata
saya seketika berkaca-kaca. Dada saya terasa sesak mendengar rintih haru
orang-orang yang hatinya dihinggapi rasa kehilangan itu. Sebuah rintihan yang
punya makna mendalam: masyarakat Situbondo kehilangan pemimpinnya. Juga isyarat
bagaimana jasa dan pengabdian seorang pemimpin dikenang di mata
rakyatnya. 

****

Saya
belum pernah bertemu dan bicara langsung dengan Pak Dadang. Namun, tiga bulan
terakhir saya rutin membaca berita-berita tentang Pak Dadang dan Pemkab
Situbondo. Hal ini berangkat dari keterlibatan saya bersama Mas Lutfi, Mas
Jaya, Mbak Titin, dan Zaidi dalam penyusunan buku yang mendokumentasikan rekam
jejak kepemimpinan beliau. Khususnya pada periode kedua ini, yakni bersama Pak
Yoyok Mulyadi.

Sejak
dilantik pada 6 September 2010, Pak Dadang konsisten dengan gaya kepemimpinan
yang agamis. Hal ini terlihat dari dua kebijakan berupa kewajiban PNS/ SKPD
muslim salat berjamaah dan pembacaan selawat nariyah di acara formal kedinasan.

Mulanya,
kebijakan ini menjadi pro kontra di masyarakat karena dianggap tidak
mengakomodasi semua golongan. Namun, melalui kesabaran dan komunikasi antar
lini yang intens dan dilakukan dengan cara-cara persuasif, pada periode kedua
kepemimpinannya, pembacaan selawat nariyah berterima untuk dilaksanakan
bersama. Bahkan dipakai untuk menyambut tamu dari luar daerah hingga manca
negara.

Langkah
Pak Dadang memformalkan selawat nariyah bukan tanpa alasan. Pak Dadang memegang
betul wasiat yang disampaikan almarhum Kiai Ahmad Sufyan Miftah kepada Kiai
Kholil As’ad Syamsul Arifin. Mengutip Fathullah Uday, Kiai Sufyan bercita-cita
pembacaan selawat nariyah rutin dilaksanakan di seluruh pelosok desa dan kota
di Situbondo. Tujuannya untuk terus menyambungkan diri dengan Rasulullah guna
memeroleh syafaatnya. Juga agar aktivitas duniawi jadi lebih mudah dan berkah.

Pak
Dadang merealisasikan cita-cita Kiai Sufyan sebagai wujud kecintaannya terhadap
ulama. Mengingat peran ulama tidak bisa dikesampingkan dalam dinamika
pembangunan di Situbondo. Kontribusinya sangat sentral dan strategis dalam
menjaga kerukunan umat di Situbondo. Disamping itu, secara historis, Pak Dadang
juga hendak mengapresiasi eksistensi pondok pesantren dan langgar-langgar yang
membentang dari Banyuglugur hingga Banyuputih sebagai wadah yang konsisten membumikan
selawat nariyah di Situbondo.

Dalam
konteks pemerintahan, pemformalan pembacaan selawat nariyah digunakan untuk
mencegah dan mengurai persoalan-persoalan tata kelola kota. Karena ketika
terjadi perselisihan, orang-orang yang berselisih akan diingatkan oleh dirinya
sendiri bahwa mereka sudah membaca selawat yang secara substantif mereka
berjanji menjaga perilaku baik di hadapan Allah dan Rasulullah. 

Rutinitas
membaca selawat nariyah itu berdampak pada mental-mental aparat pemerintahan di
Situbondo. Pada masa pemerintahan Pak Dadang, kenakalan oknum pejabat dan
pegawai semakin berkurang. Tidak ada lagi pegawai yang menyelewengkan jabatan,
mempersulit urusan orang, menghambat program, hingga perilaku korup yang selama
ini banyak dialamatkan pada pejabat di instansi daerah.


Reformasi birokasi melalui penerapan pembacaan selawat nariyah itu berbuah
manis. Pemkab Situbondo selama sepuluh tahun pemerintahan Pak Dadang menerima
berbagai macam penghargaan. Pada awal 2020 lalu, Situbondo meraih penghargaan predikat
A dalam laporan kinerja Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan
(SAKIP). Mundur setahun yakni pada 2019, Berdasarkan keputusan Menteri Desa
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi RI, Nomor 79 Tahun 2019 pada 31
Juli 2019, Kabupaten Situbondo telah terlepas dari status daerah tertinggal. Situbondo juga meraih prestasi Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) empat tahun
berturut-turut sejak 2016-2019 dalam laporan pemeriksaan keuangan daerah. Dan masih banyak lagi
prestasi yang sudah ditorehkan oleh Pak Dadang.

Pak
Dadang membuktikan bahwa kekuatan membangun ada pada gotong-royong. Keberhasilan
yang diraih itu adalah buah dari kebersamaan yang mesra. Kolaborasi ulama,
umara serta peran aktif masyarakat merupakan pilar-pilar yang menyangga
tegaknya bangunan bernama Situbondo.

                                                                        ****

Pak,
segala pencapaianmu itu kini menjadi kenangan. Namun, narasi
pengabdian dan jasa yang tulus itu akan terus hidup di hati orang-orang yang
mencintaimu.

Semoga
selawat nariyah yang kau hidupkan di ruang-ruang kerjamu itu terus menyala dan
menerangi ruangmu di alam sana. 

Kau sudah menanam sebaik-sebaiknya, Pak. Dan
kau berhak mendapatkan tempat terbaik di sisi Tuhan Yang Maha Esa.

Selamat
jalan, Pak Dadang.

 _____________________

*)
Pemimpin Redaksi takanta.ID

Penulis


Comments

5 tanggapan untuk “Dadang Wigiarto; Bupati Religius itu Berpulang”

  1. Hiks..
    Semoga husnul khotimah..

  2. Terimakasih pak Dadang
    Alfatihah

  3. Avatar Hamid farannissa
    Hamid farannissa

    Semoga engkau dikumpulkan dg orang orang sebelummu yg jg cinta dan gemar membumikan sholawat, satu hal sahabat, insya Allah engkau ada di perhatian Rasul, maka berbahagialah engkau bersama sang guru Kyai Ahmad Sufyan di tempat terbaik disisi sang maha penyayang, selamat jalan sahabat, aku jg segera menyusulmu

  4. Meskipun sya bukan kelahiran situbondo,semoga husnul khotimah pak dadang, trimakasih atas semua pengabdianmu… Amiin

Tinggalkan Balasan ke Rr_Anggraini Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kakanda Redi Puisi

Puisi – Aviory

Advertorial

Teknisi Generator Set Handal di Indonesia

Apacapa Imam Sofyan

Pak Kepala Desa, Belajarlah dari Film Dunia Terbalik!

Buku Sutrisno Ulas

Kekerasan Budaya Pasca 1965

Apacapa

Belajar Jurnalistik melalui SEMEJA DARING

Cerpen Gusti Trisno

Cerpen : Joe di Persimpangan Jalan Karya Gusti Trisno

Advertorial

Memiliki Banyak Rekening Bank, Memangnya Perlu?

Agus Hiplunudin Apacapa Esai Feminis

Perempuan dalam Pusaran Konflik Agraria di Indonesia

Cerpen Sukartono

Cerpen Gelisah

Cerpen Yudik Wergiyanto

Lelaki di Tepian Pantai yang Memandang Gunung

Apacapa Buku Muhammad Fadhil Alfaruqi Resensi Ulas

Resensi: Si Anak Cahaya

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Karya Rupa Generasi Mawas Diri

Apacapa Mei Artanto

Komunitas Biola Situbondo: Sebuah Capaian dan Tantangan

Buku Ulas

Cinta Tak Pernah Tepat Waktu; Menemani Kesepian

Apacapa fulitik Mohammad Farhan

Mara Marda Institute Gandeng Bank Indonesia Gelar Pelatihan Inkubator Industri Kreatif

Apacapa Moh. Imron

Bolatik: Menyimak tim Preman Pensiun di Selowogo

Agus Karyanantio Apacapa

Menanggapi Hari Jadi Kabupaten Situbondo

Agus Hiplunudin Buku Feminis Ulas

Ulas Buku – Politik Gender karya Agus Hiplunudin

Apacapa Uwan Urwan Wisata Situbondo

Bukit Pecaron

Apacapa Madura Totor

Bâbitthèl