Hancur oleh Kata

Bullying tidak selalu datang dalam bentuk kekerasan fisik. Justru seringkali luka paling dalam datang dari kata-kata. Dari ejekan. Dari sindiran. Dari chat yang sengaja dikirim untuk merendahkan. Dari komentar yang dibiarkan ramai di media sosial tanpa ada satu pun yang peduli pada perasaan orang yang menjadi sasaran. Tidak ada yang pernah tahu seberapa lama seseorang berusaha bertahan, sembari berharap dunia tetap menjadi tempat yang aman untuk ia jalani.

Dilansir dari berbagai unggahan di media sosial TikTok, banyak pengguna yang ramai membahas kasus seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Bali yang menjadi korban bullying, seorang mahasiswa yang setiap harinya harus membaca hinaan dan cemoohan di group WhatsApp dan media sosial. Orang-orang menganggap itu biasa, menganggap itu candaan, menganggap itu sekadar lelucon. Padahal, yang mereka anggap lelucon itu sedang merobek sisi paling rapuh dalam diri seseorang. Tidak ada yang tahu bahwa setiap kalimat yang dilemparkan kepadanya perlahan-lahan menekan jiwanya seperti batu yang makin hari makin berat.

Di luar, ia masih terlihat normal. Masih tersenyum kecil, masih hadir kuliah, masih menjawab pertanyaan orang ketika ditanya kabar. Ia masih berusaha menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja, seolah ia tidak pernah merasa kalah. Tapi di dalam dirinya, ia terus bertanya apakah ia benar-benar pantas untuk tetap bertahan hidup. Kata-kata itu berubah menjadi pisau yang tidak pernah henti ditancapkan setiap hari. Dunia seolah semakin sempit dan udara semakin sulit dihirup. Dan ketika ia tidak menemukan lagi ruang aman untuk berlindung, ia akhirnya mengambil keputusan paling pahit dalam hidupnya, mengakhiri hidupnya sendiri.

Bullying bukan hanya soal apa yang dilakukan di depan mata. Tapi tentang bagaimana kita sebagai manusia memandang harga diri orang lain. Kadang kita tidak sadar bahwa satu kalimat yang kita anggap sepele bisa menjadi alasan seseorang merasa dirinya tidak bernilai. Karena bagi korban, kata-kata itu tidak pernah dianggap “sepele.” Kata-kata itu bisa menghancurkan pondasi hidup seseorang pelan-pelan dari dalam.

Kita tidak bisa menghidupkan kembali mereka yang sudah hilang. Tapi kita bisa mencegah tragedi yang sama terulang. Kita bisa mulai dari hal yang paling sederhana, berhenti mempermalukan orang lain demi hiburan. Gunakan kata dengan sadar. Karena kata-kata bisa menjadi penyembuh atau bisa menjadi penghancur hidup seseorang.

Empati tidak membutuhkan banyak teori. Yang dibutuhkan adalah kesediaan untuk memahami bahwa manusia rapuh dan setiap orang sedang berjuang dengan cara yang tidak selalu terlihat oleh mata. Dan siapa tahu, dari empati kecil itu, kita bisa menyelamatkan seseorang dari luka yang selama ini ia tanggung sendirian.

Penulis

  • Ratna Hamidah

    Ratna Hamidah kerap disapa dengan Ratna. Saya lahir di Kota Boyolali, ya benar kalau kata orang-orang adalah kota susu, saya lahir pada hari Selasa tanggal 6 April 2004. Saya merupakan salah satu mahasiswa dari progam studi Tadris Bahasa Indonesia di Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta. Hobi saya memasak, menurut saya memasak adalah hal yang menyenangkan dan seru.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cerpen Syarif Nurullah

Cerpen: Bagaimana Cara Kita Berkenalan?

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Percakapan Iwoh dan Saydi

Mored Moret Nur Akidahtul Jhannah Puisi

Puisi Mored: Bunga Perkasa dan Puisi Lainnya

Apacapa fulitik

Menggugat Integritas Pejabat Publik

Cerpen Mochamad Nasrullah

Cerpen: Jejaring Mimpi

Apacapa

Tirtho Adhi Soerjo, Detik.com dan Berita Hoax

Catatan Perjalanan Ngaleleng Nur Faizah Wisata Situbondo

Gunung Panceng Adventure

Apacapa Mbak Una

Selamat Hari Buku Nasional

Apacapa

Situbondo Ghumighil: Nèmor Sudah Tiba

MH. Dzulkarnain Puisi

Puisi: Kampung Halaman

Mahesa Asah Puisi

Puisi: Di Taman Aloska

Apacapa Marlutfi Yoandinas Situbondo

Refleksi September Hitam

Apacapa Moh. Imron

Alternatif Nama Pendopo Selain Aryo Situbondo

Amaliya Khamdanah Buku Resensi Ulas

Resensi: Melintasi Zaman di Kudus Melalui Novel Sang Raja

Gladis Adinda Felanatasyah Mored

Puisi Mored: Harapan Kalbu

Apacapa

Ngaji Syair: Merawat Sastra Keimanan

Buku M Ivan Aulia Rokhman Ulas

Perjalanan Tiga Pendaki untuk Memaknai Kehidupan

Apacapa

Agus Rajana: Selamat Jalan Pendekar Musik Madura

Irwant Musik Ulas

Lek Marni dan Interpretasi Perasaan

Buku Ulas

The Old Man and The Sea: Karya Sastra Yang Memukau