Hantu Kunti Lanak dan Kelong Wewek Mencitrakan Karakter Perempuan

Oleh : Agus Hiplunudin
Citra perempuan memang selalu menarik untuk dibahas, yang
terkadang berbau amis seksualitas, makhluk perayu, kaum munafik, pribadi yang
emosional, dan bahkan makhluk irasional. Jika diruntut dalam tradisi filsafat
semenjak zaman Yunani Kuno dimana keberadaan perempuan telah menjadi perdebatan
para filsuf. Plato sedikit memulyakan perempuan; dengan argumentasinya bahwa
perempuan juga seperti halnya laki-laki, ia memiliki akal sehat—karena
berpotensi menjadi filsuf raja (pemilik kebijaksanaan). Bahkah Plato menyatakan
suatu negara yang hanya mendidik kaum laki-laki dan tidak mendidik kaum
perempuan, serupa dengan orang yang hanya melatih tangan kanannya, dan
membiarkan tangan kirinya tidak berfungsi. Namun, hal tersebut dipatahkan oleh
Ariestoteles, yang berasumsi bahwa perempuan merupakan laki-laki yang tidak
sempurna, dengan kata lain perempuan diciptakan tidak sengaja atau makhluk
cacat.

Manusia dikaruniai imajinasi, lantas manusia berimajinasi
mengenai perempuan, dan imajinasi tersebut tercitrakan pada hantu-hantu
berjenis kelamin perempuan, adapun hantu yang dimaksud di antaranya Kunti Lanak
dan Kelong Wewek. Pertanyaan yang kemudian muncul; Benarkah Kunti Lanak dan
Kelong Wewek mencitrakan karakter perempuan?
Kita mulai dari Kunti Lanak. Hantu Kunti Lanak merupakan
salah satu jenis hantu yang populer di Indonesia. Hantu ini berjenis kelamin
perempuan dengan ciri-ciri; berambut panjang menjulur hingga melewati pantat,
gigi bertaring, matanya melotot, tidak memakai baju dan kutang kedua payu
daranya berukuran besar dan panjang—bergelantungan, jika tertawa melengking dan
cekikikan, suaranya serak, dan kebiasaan buruknya mencuri bayi yang baru
dilahirkan—lalu bayi tersebut dilahapnya.
Secara psikologis perempuan memiliki selera yang baik
terhadap bayi, dan perempuan memiliki jiwa keibuan—sehingga pada umumnya setiap
perempuan penyayang anak. Namun, kenapa perempuan dicitrakan dalam wujud Kunti
Lanak?
Hal yang cukup ironik, aborsi banyak dilakukan oleh kaum
perempuan—sehingga tak heran jika perempuan diidentikkan dengan Kunti Lanak
(pembunuh bayi). Tambah pula, dalam kepasrahan ketika terjadi keterpurukkan
seringkali perempuan melampiaskan kejengkelannya pada anaknya, bahkan ada pula
perempuan yang tega menyiksa anaknya bahkan mencekik anaknya hingga anak itu
tewas—dan lagi perempuan memiliki relevansi dengan karakter Kunti Lanak. Biasanya
jika marah perempuan membentak anaknya sehingga kecenderungan seorang anak
takut pada ibunya—sosok ibu menampakan karakter menakutkan seperti Kunti Lanak.
Uraian di atas menunjukkan bahwa Kunti Lanak merupakan
perwujudan dari karakter perempuan. Namun, tidak adil rasanya jika tidak
ditelaah hingga ke akar permasalahannya.
Seperti yang telah penulis singgung dasar psikologis
perempuan adalah pencinta anak. Pertanyaan yang kemudian muncul; kenapa
perempuan berkarakter Kunti Lanak? Apa akar masalahnya?
Kasus
aborsi
. Biasanya perempuan
berkehendak atau melakukan aborsi disebabkan oleh hubungan seksual di luar
nikah, hal tersebut terjadi karena laki-laki si kekasih perempuan itu—tidak mau
bertanggung jawab. Di sini patriarki jelas terlihat memainkan peranannya, kuasa
lelaki di atas kuasa perempuan. Lagi pula jika perempuan hamil di luar nikah
yang tersudutkan jelas perempuan, dan laki-laki memiliki kebebasan untuk lepas
tanggung jawab—faktanya budaya kita masih berwajah maskulin (kelaki-lakian).
Dari sudut pandang Freud atau psikoanalisis semenjak
kecil anak perempuan iri terhadap anak laki-laki; penyebabnya anak laki-laki
memiliki penis sedangkan perempuan tidak. Karenanya penis memiliki peranan yang
besar dalam pembentukan budaya patriarki, hal ini kian relevan jika dihubungkan
dengan kasus aborsi dan sangsi sosial terhadap perempuan yang hamil di luar
nikah. Dengan demikian secara gender pencitraan perempuan pada sosok Kunti
Lanak terlalu menyudutkan kaum perempuan. Sebab, dasar psikologisnya semua
perempuan memiliki watak keibuan—sehingga hampir dapat dipastikan pada dasarnya
semua ibu penyayang anak, terlebih bayi.
Selanjutnya Kelong Wewek. Hatu ini sebetulnya mirip
dengan dengan Kunti Lanak. Namun, Kelong Wewek tidak memakan bayi, Kelong Wewek
hanya memilki kebiasaan buruk—suka iseng menyembunyikan anak kecil (baik laki-laki
maupun perempuan).
Secara mitologis; Kelong Wewek merupakan gambaran
kesedihan seorang perempuan. Mulanya Kelong Wewek merupakan seorang perempuan
yang mengidamkan seorang pangeran (lelaki tampan lagi kaya raya). Namun, hari
berganti, bulan berlalu, dan tahun-tahun terus melaju, akan tetapi pangeran
yang ia tunggu tak pula datang. Pada akhirnya ia menjadi perawan tua. Dan lagi
budaya patriarki menghakimi perawan tua (perempuan yang sudah mentruasi namun
belum pula menikah). Akhirnya untuk menutup kesedihannya perempuan tersebut
mencuri anak-anak untuk diasuhnya. Cukup menyedihkan hingga mati si perawan tua
tetap sendiri—dan menjadi hantu Kalong Wewek—hantu yang suka menyembunyikan
anak kecil ketika petang menjelang.
Hantu Kalong Wewek jelas-jelas merupakan prodak nyata
dari budaya patriarki, dan lagi perempuan harus menderita karena ini. Perempuan
seolah tidak dapat berlari dari realitas biologisnya, ketika ia telah mentruasi
dituntut untuk mencari seorang lelaki dan menikah. Jika umur seorang perempuan
sudah mencapai 25 tahun, namun ia belum pula menikah—melekatlah padanya julukan
“perawan tua” dan masyarakat dengan budaya patriarki akan mencibirnya,
membulinya, bahkan sinis.
Penulis sepakat dengan argumentasi yang digagas Milett
penulis buku The Politics Sexsual;
bahwa budaya patriarki harus di lawan, sebab hal itu menghambat perkembangan
psikologis dan mental pada kaum perempuan. Hal ini senada dengan Beuvoir
seorang feminisme libertarian—perempuan memiliki kebebasan termasuk menentukan
kapan ia menikah, jika perlu perempuan memiliki kebebasan untuk tidak menikah.
Hak seorang perempuan sama halnya dengan laki-laki. Jika
laki-laki memiliki kapasitas untuk mengembangkan diri, pola pikir, bakat dan
minat—demikian pula dengan perempuan.
Kembali pada tema tulisan ini; “Hantu Kunti Lanak dan
Kalong Wewek Mencitrakan Karakter Perempuan” sekali lagi penulis ingatkan kedua
jenis hantu tersebut merupakan prodak langsung dari budaya patriarki. Namun,
imajinasi mengenai Kunti Lanak dan Kalong Wewek telah mengakar dalam benak kita
(khususnya putra-putri Indonesia) imajinasi tersebut dapat dilawan oleh
kecerdasan; salah satu caranya melalui jalur pendidikan. Sebagaimana Socrates
percaya “pengetahuan yang baik akan
mengarah pada perilaku yang baik pula
”.
Jika ada selogan; “perempuan
tidak punya kapasitas untuk berpikir, namun perempuan memiliki kapasitas tidak
terbatas untuk menderita
” kini selogan tersebut telah menjadi jenazah dan
terkubur—mustahil untuk bangkit lagi apalagi menjadi hantu. Perempuan masa kini
telah bangkit dan melawan mitos-mitos tentang dirinya, termasuk melawan mitos
tentang Kunti Lanak dan Kelong Wewek.
Banten, 18 Juni 2018
Biodata Penulis
Agus  Hiplunudin 
1986  lahir  di 
Lebak-Banten,  adalah  lulusan 
Fakultas  Ilmu Sosial  dan 
Ilmu  Politik  Universitas 
Sultan  Ageng  Tirtayasa 
Serang-Banten, Jurusan ADM Negara sudah lulus dan bergelar S. Sos. Dan,
pada April 2016 telah menyelesaikan studi di sekolah Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, Jurusan Ketahanan Nasional, bergelar M. Sc. Kini
bergiat sebagai staf pengajar Mata Kuliah Filsafat Ilmu di STISIP Stiabudhi
Rangkasbitung sekaligus sebagai Kepala Studi Pengembangan Wawasan Kebangsaan dan
Pancasila STISIP Setia Budhi Rangkasbitung-Banten Adapun karya penulis yang
telah diterbitkan yakni:
Buku yang Telah Dipublikasikan
Politik Gender 2017, Calpulis: Yogyakarta
Politik Identitas di Indonesia
dari Zaman Kolonialis Belanda hingga Reformasi 
2017, Calpulis: Yogyakarta
Politik Era Digital  2017, Calpulis: Yogyakarta
Kebijakan   Birokras  
dan   Pelayanan   Publik  
Suatu   Tinjauan   Kritis  
Ilmu Administrasi Negara
2017, Calpulis: Yogyakarta
Filsafat Eksistensialisme 2017, Graha Ilmu: Yogyakarta
Filsafat Politik Plato dan Ariestoteles 2017, Graha Ilmu
Yogyakarta.
Prosiding Seminar Nasional yang Telah diikuti
Jurnal: “Partisipasi Pemuda
dalam Pelestarian Seni Budaya Tradisional Debus Banten, di Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa-Banten
Jurnal: Pelestarian Seni Budaya
Tradisional Debus Banten dan Imlikasinya Terhadap Ketahanan Budaya Daerah, di
STISIP Setia Budhi-Rangkasbitung-Banten
Jurnal: Hegemoni Budaya Politik
Suku Jawa pada Pilkada 2019
Pemateri Seminar Nasional
Pemateri: Pemanfaatan Internet
dan Ketahanan Nasional bersama Kominfo RI di Ciamis-Jawa Barat
Pemateri: Pemanfaatan Internet
oleh Masyarakat, bersama Roy Suryo anggota DPRRI di Yogyakarta
Keilmuan yang sekarang ditekuni, yakni; Ilmu Politik,
Filsafat, Pelayanan Publik, Ilmu Budaya, Kebijakan Publik dan Kewarganegaraan.
Alamat Sekarang:
Kp Parakan Mesjid, RT 04/04, Kec. Rangkasbitung,
Lebak-Banten.
Email             : agus.hiplunudin@yahoo.com
Hp                  : 081-774-220-4

Facebook       : @Agus
Hiplunudin

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa Della Nindah R Dennisa Virgin C Dian Tiara F Dini Irmawati Heri Setiawan Y

Wawasan Orang Tua Berpendidikan Rendah dengan Media Sosial: Bagaimana dengan Peran Anak?

Cerpen Levana Azalika

Kutu dan Monyet

Mored Moret Puisi Nur Akidahtul Jhannah

Puisi Mored: Jeritan Pantai Peleyan dan Puisi Lainnya

Apacapa Nanik Puji Astutik

Ada Apa Denganmu, Mantan?

Amaliya Khamdanah Buku Resensi Ulas

Resensi: Melintasi Zaman di Kudus Melalui Novel Sang Raja

Nurillah Achmad Puisi

Puisi: Mata Air Kehidupan

Cerpen Nur Diana Cholida

Cerpen: Bianglala dan Sisa Aroma Tequila

Tips/Trik

Sabun Mandi Bisa Membuat Kulit Kering, Fakta atau Mitos?

Alexong Aliurridha Cerpen

Cerpen: Rajam

Apacapa Nanik Puji Astutik

Menikah Tanpa Sepeser Uang

Advertorial Tips/Trik

Jaga Kesehatan Tubuh dengan Mencegah Penyakit Sistem Pencernaan

Nida Nur Fadillah Puisi

Puisi: Angin Misterius

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Karya Rupa Generasi Mawas Diri

Buku Resensi Ulas Wardedy Rosi

Resensi: Distopia dalam Fiksi Individutopia

Apacapa Baiq Cynthia

Angin yang Berembus Rumor Mantan di Bulan Agustus

Pantun Papparekan Madura Sastra Situbondo

Pantun Madura Situbondo (Edisi 4)

Arian Pangestu Cerpen

Cerpen – Gulistan

Hamidah Mored Moret

Cerpen Mored: Hutan Lindung

Alif Febriyantoro Cerpen

Cerpen: Kota Air Mata

Ahmad Zaidi Cerpen

Cerpen: Malam yang Dingin, Pantai, dan Senja