Cerita: Kaset Pita dan Cinta

Sekitar tahun 80an akhir, seorang laki laki kurus jangkung sedang menunggu seseorang di gang kampung.
Di tangannya sudah ada sepucuk surat, bersama sekotak kaset pita berisi lagu lagu Lionel Ritchie yang ia rekam dari radio. Di sampulnya tertulis: Untuk Gadisku yang Manis.

36 tahun kemudian, laki laki itu memutar Hello, milik Lionel Ritchie lewat pemutar musik di mobil yang ia kendarai, bersama anak, menantu, cucu-cucu, serta istrinya yang masih mengingat momen manis dalam surat dan kaset pita itu.

Ayah dan Ibuku, dua pemeran utama dalam kisah di atas, hidup di era perekaman kaset pita, hingga hari ini, era unduh praktis.
Sebagai anak, aku mewarisi banyak artefak bersejarah yang berhubungan dengan masa lampau, yang masih tersimpan dengan baik. Kebetulan saat itu ayah berteman dengan seorang penyiar radio, yang memiliki privilege merekam musik musik hits dari radio.

Dahulu, tidak pernah ada permasalahan soal hak cipta sebagaimana yang kita pahami hari ini. Rekaman lagu dari radio ke kaset pita adalah praktik lumrah, bahkan romantis, dan tidak dianggap melanggar hukum. Justru di situlah terletak nilai musik populer. Ia hidup bukan hanya karena diproduksi oleh industri, tetapi karena diadopsi, diedarkan ulang, dan dimaknai ulang oleh pendengar biasa.
Di Indonesia pada tahun 80-an, akses terhadap rekaman asli sangat terbatas, baik karena harga maupun ketersediaan. Maka, pita kaset hasil rekaman dari radio menjadi medium utama untuk mendekati dunia musik global. Melalui praktik yang ‘ilegal’ itulah musik bisa mengakar dalam kehidupan sehari-hari.
Perdebatan soal hak cipta baru mengemuka ketika musik mulai dipandang sebagai komoditas murni, membawa serta perubahan cara kita memperlakukan musik.

Musik selalu hidup karena pertemuan antara produsen dan pendengar. Tanpa praktik kaset rekaman, tanpa mixtape buatan tangan, banyak lagu mungkin tidak akan punya ingatan kolektif.

Hak cipta, distribusi, dan medium hanyalah lapisan luar. Yang lebih penting adalah bagaimana musik itu hidup di tangan pendengarnya. Kaset pita Ayah adalah bukti bahwa musik populer menjadi bermakna justru ketika keluar dari logika pasar, dan masuk ke ruang-ruang intim keluarga.

Penulis

  • Raisa Izzhaty

    Raisa Izzhaty mengawali kecintaannya terhadap dunia tulis menulis sejak menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah SWARA SMASA. Ia melanjutkan studi di Fakultas Sastra di Universitas Negeri Malang serta Language Faculty Chiang Mai University, Thailand. Sempat menjadi tutor BIPA untuk mahasiswa asing, beriringan dengan aktivitasnya belajar menulis di Pelangi Sastra Malang dan Komunitas Penulis Muda Situbondo. Beberapa tulisan nya beredar di beberapa media massa, antologi, serta buku tunggal yang diterbitkan secara indie.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Agus Hiplunudin Apacapa Esai Feminis

Rumah, Sumber Penderitaan Bagi Perempuan?

Ahmad Aqil Al Adha Mored

Cerpen Mored: Kesatria Berbantal Ombak, Berselimut Angin

Apacapa Madura Syaif Zhibond

Rèng Lakè’ Pernah Alebhele

Apacapa Thaifur Rahman Al-Mujahidi

Regiulisitas-fundamental dari Kaum Milenial untuk Indonesia

Cerpen

Cerpen: Seorang Perempuan dan Tengkorak di Pelukannya

Azinuddin Ikram Hakim Cerpen

Cerpen: Pada Suatu Dermaga

Uncategorized

Memaknai Langgar Dalam Perspektif Sosiologi Agama

Cerpen Moh. Jamalul Muttaqin

Cerpen: Pelangi

Alex Cerpen Puji M. Arfi

Cerpen: Ingar-bingar Pemakaman

Apacapa Imam Sofyan

Pandemi dan Air Mata Driver Aplikasi Joker

Dhafir Abdullah Puisi Syi’ir

Muharrom sè Moljâ

Kakanda Redi Puisi

Puisi – Aviory

Puisi Safari Maulidi

Puisi-puisi Safari Maulidi: Pasar Malam yang Hilang

Buku Dani Alifian Ulas

Ulas Buku: Wajah Pantura, dan Kisah Seks Komersial

Apacapa Rahman Kamal

Besuki Membaca: Dikira Jualan Buku sampai Mendirikan Rumah Baca

Agus Hiplunudin Buku Ulas

Politik Agraria Petani Vs Negara dan Neoliberalisme

Apacapa MA Marzuqin

Apacapa: Ngobrolin Gus Dur: “Gus Dur, Sastra dan Wanita”

Cerpen Muhtadi ZL

Cerpen: Dengan Rasa

Apacapa

Kumpul Komunitas: Merdeka Belajar dan Belajar Merdeka

Puisi Ratna Kuatiningsari

Puisi: Doa-Doa Semak Belukar