Membaca Telembuk; Membaca Cinta yang Keparat

Beberapa waktu lalu, seorang teman meminjamkan bukunya pada saya Buku itu bersampul warna putih agak kebiru-biruan dengan gambar seorang perempuan tengah memegang mikrofon. Di tengah-tengahnya, tulisan Telembuk dicetak tebal dan barulah saya ‘ngeh’ kalau itu judul buku. Novel, lebih tepatnya.


Oleh: Ahmad Zaidi



Buku ini ditulis oleh Kedung Darma
Romansha. Alasan mengapa saya mereviewnya, nanti saya ceritakan lebih lanjut.


Saya membaca buku ini tanpa ada maksud
lain, seperti belajar gaya penulisan baru atau gaya-bercerita-seperti-yang-saya-lakukan-pada-biasanya.
Tidak. Saya hanya membaca. Tanpa menandai kalimat-kalimat penting yang ‘quotable’,
tanpa berusaha mengingat nama tokoh, tempat kejadian dan hal-hal yang membuat
kenikmatan membaca berkurang. Hasilnya, saya membaca buku ini dengan puas dan
tuntas. Cara membaca yang bagi saya teramat menyenangkan dan saya suka buku
ini.

Hingga pada suatu hari, seorang Imam
Besar yang bajinguk, memaksa saya mereview buku yang sudah saya kembalikan. Ya sudah,
terpaksa saya mesti mengingat apa yang telah saya baca: tokoh, nama tempat,
peristiwa dan segala macam hal dalam buku tersebut.

Jadi, beginilah hasilnya….

Telembuk bercerita tentang kehidupan
yang terkadang masih dirasa tabu untuk kita perbincangkan. Tentang dangdut,
tentang sebuah kampung yang dihuni oleh anak-anak muda bengal dan kurang
kerjaan serta kehidupan seorang perempuan bernama Safitri sebagai penyanyi
organ tunggal merangkap sebagai PSK.
Ini adalah lanjutan dari novel Kedung sebelumnya
yakni Kelir Slindet. Itu dijelaskan pada bagian awal secara singkat untuk
mengantarkan pembaca dan mungkin supaya pembaca tidak kebingungan.

Mengambil latar di tempat kelahiran penulisnya
sendiri, membuat kehidupan tokoh-tokoh di dalam kisah ini begitu hidup, dekat
dan sangat nyata seolah kejadian-kejadian yang berkelindan itu sedang terjadi
di hadapan mata kepala pembaca. Perpaduan kejadian tragis dan menggelitik
begitu seimbang dan penulis berhasil membawa saya ke pertujukan organ tunggal,
melihat penyanyi sedang meliuk dan suara-suara nyanyian khas dangdut.

Kedung menghadirkan juru kisah yang
apik. Seorang bernama Aan yang menyajikan sebagian besar cerita dalam Telembuk.
Terkadang tokoh-tokoh lain muncul pula sebagai pencerita. Ada beberapa sudut
pandang yang dijajaki oleh Kedung secara bergantian. Dan hati-hati, di bab-bab
tertentu pembaca akan dikejutkan dengan berkumpulnya semua tokoh juga penulis yang
terlibat dalam percakapan. Itu menarik. Cerita yang dibumbui dengan  bau parfum murahan, umpatan kotor, adegan panas
tetapi tidak vulgar dan juga kisah cinta yang benar-benar keparat.

—–

“Lalu bagaimana cerita dalam buku ini?”
Tanya Imam Besar pada saya.

“Silakan baca
sendiri, Kirik.”


 @annisafyz






Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa

Dilema PRT : Antara Musim Hajatan Dan Profesionalisme Kerja

Ihda Asyrofi Puisi

Puisi: Menaksir Zikir

prosa

Tamu Kenangan

Apacapa Denny Ardiansyah

Menjelajah Selawat Nariyah di Situbondo

Advertorial Apacapa Moh. Imron

Ji Yoyok Peduli Disabilitas

Apacapa Fadhel Fikri

Gus Miftah dan Dakwah yang Merendahkan: Sebuah Kritik dari Perspektif Teologi Antroposentris

Buku Muhamad Bintang Resensi Ulas

Resensi: Hikayat Kadiroen

Buku Ulas

The Old Man and The Sea: Karya Sastra Yang Memukau

Apacapa Nur Husna

Bullying Bukan Budaya Kita

Apacapa Jamilatul Hasanah

Sports-Sciences: Kolaborasi Pembelajaran Olahraga dan Fisika

Apacapa Dedi Andrianto Kurniawan Kampung Langai

Festival Kampung Langai dalam Pembacaan Masyarakat

Buku Junaedi Resensi Ulas

Merekonstruksi Ulang Ketidakadilan Spasial dan Politik Kewargaan Desa

Prosa Mini Sastra Yudhianto Mazdean

Surat untuk Bapak

Edo Sajali Komik

Komik: Si Babal dan Kekasihnya

Apacapa fulitik kenalmasrio

Mas Rio Ajak Anak Yatim Bergembira di Navara Waterpark Bondowoso

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Situbondo Makin Dingin Akhir-Akhir Ini, Tapi Tidak Bagi Imron

Apacapa

Film Pendek Lastarè: Sebuah Perjalanan Batin Korban Perundungan

Apacapa

Yusuf and Beny Siap Menyambut Tour Manca Negara Pertama di Malaysia

Puisi Tjahjono Widarmanto

Ayat Nostalgia dan Puisi Lainnya Karya Tjahjono Widarmanto

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Situbondo Dik, Patennang!